Game of Thrones (GoT) mendadak menjadi trending topic setelah Presiden Jokowi mengutip dalam pidato pertemuan IMF-World Bank di Bali. Presiden Jokowi mengandaikan situasi ekonomi global hari ini seperti serial GoT di mana dalam serial tersebut digambarkan bahwa peperangan antarklan dalam Great House berperang untuk memperebutkan The Iron Thrones.
Presiden Jokowi lebih lanjut dalam pidatonya "menyindir" negara-negara superpower yang bertindak dengan hanya mementingkan kepentingan nasionalnya dengan menempatkan kerja sama dalam fondasai zero sum game (menang-kalah).
Relevan memang, mengingat semakin hari situasi global memang sesuai dengan diskurus realisme dalam hubungan internasional seperti yang digambarkan Thomas Hobbes sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesama manusianya). Pidato yang memikat, ditutup oleh presiden Jokowi dengan seruan moral bahwa dalam peperangan baik yang menang maupun yang kalah sama-sama mengalami kerugian.
Lalu, apakah hanya berhenti pada seruan? Kalkulasi kepentingan nasional setidaknya dalam waktu dekat akan menjadi pertimbangan negara-negara superpower. Artinya, perang dagang --bahkan perang mata uang (currency war)-- akan terus membayangi ekonomi global.
Apabila skenario yang berlaku demikian, apa yang harus dilakukan segera dan apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi problem krusial hari ini di antaranya; pertama, dunia dalam situasi turbulensi ekonomi yang mulai menjalar di negara berkembang seperti Argentina, Turki, dan mulai merembet ke Afrika Selatan. Posisi IMF dalam me-manage potensi krisis dan sistem peringatan dini untuk mengendalikan efek rembetan krisis menjadi titik tekan paling krusial. Setidaknya dalam satu dekade belakangan ini, intensitas terjadinya krisis terus meningkat.
Kedua, efek rembetan dari kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh The Fed telah membuat ekonomi emerging market bergejolak. Dari situasi yang demikian diperlukan adanya arsitektur ekonomi global yang mampu menjawab. Mencari jalan keluar dan formula baru atas dampak interdependensi atas kebijakan The Fed mendesak untuk dibicarakan pasca IMF-World Bank Meeting di Bali.
Ketiga, turbulensi ekonomi akibat destruksi ekonomi terutama ekonomi berbasis digital. Karena, bagaimanapun ekonomi digital akan menjadi tantangan ke depan sehingga arsitektur ekonomi global dituntut untuk mampu beradaptasi dengan kemajuan inovasi.
Berdasarkan latar belakang yang demikian, Indonesia perlu mendorong reformasi institusi bretton woods terutama IMF perlu didiskusikan secara serius. IMF sebagai lembaga multilateral perlu diperkuat agar mampu "mengintervensi" ketika alarm sebuah negara sudah berbunyi yang menandakan ancaman krisis. Tentu, desain yang demikian akan sulit mengingat setiap negara akan selalu mengikuti logika kedaulatan bahwa kedaulatan harga mati "sovergnity first".
Namun, apabila posisi IMF seperti sekarang yang hanya datang ketika krisis sudah terjadi maka yang terjadi kemudian seperti penanganganan krisis 1998 di mana obat IMF yang sebenarnya bagus menjadi buruk karena tidak tepat waktunya. Ambiguitas dan kompleksitas serta meningkatnya ancaman krisis mensyaratkan penanganan krisis yang proaktif mulai dari pencegahan sampai penanganan pascakrisiss. Dengan menguatkan pencegahan, maka akan meminimalisasi efek rembetan krisis yang sangat destruktif.
Selain penguatan peran, reformasi IMF juga pada kuota dan suara yang mewakili lembaga tersebut. Karena, bagaimanapun dengan arsitektur yang sekarang --dengan kuatnya dominasi negara-negara G-7 di dalamnya-- membuat IMF selalu dianggap bias dan dicurigai sebagai alat kepentingan Barat.
Pertemuan IMF dan World Bank di Bali seharunya menjadi awal yang baik untuk mendesak dilakukanya pembicaraan mitigasi "bencana" yang terjadi di emerging market akibat kenaikan suku bunga The Fed. Perlu adanya kerangka kerja sama yang komperhensif antarbank central secara global untuk meminimalisasi risiko kebijakan The Fed.
Tantangan interdependensi ekonomi yang sangat dalam dan kompleks serta penyakit bawaan arsitektur sistem moneter seperti yang digambarkan Model MundellβFleming dengan "Trilema" atau ketidakmungkinan untuk menerapkan nilai tukar tetap, pergerakan modal bebas dan kebijakan moneter yang independen dalam satu waktu memerlukan kuatnya kerja sama bank central secara global dalam memitigasi risiko. Turbulensi ekonomi sejak 2013 tidak bisa dipisahkan dari kebijakan tappering off The Fed. Kebijakan yang berorientasi domestik memiliki pengaruh kuat secara global sehingga penyelesaianya tidak hanya domestik, tapi secara global.
Destruksi akibat ekonomi digital ke depanya akan semakin besar dan meluas yang perlu disikapi bersama. Meluasnya Fintech dan eksperimentasi virtual currency berbasis blockchain belakangan ini telah menunjukkan bahwa inovasi selalu lebih cepat dari regulasi. Sifat ekonomi digital yang menghendaki adanya borderless harus berhadapan dengan logika kedaulatan. Virtual currency misalnya, akan menganggu monopoli negara atas uang. Besarnya potensi sekaligus ancaman menjadi tantangan industri terutama keuangan konvensional untuk terus beradaptasi.
Ekonomi global memasuki fase pelik. Ketidakseimbangan global di tengah revolusi industri membuat situasi tidak menentu dan serba ambigu. Mesin ekonomi global memerlukan lokomotif baru. Asia adalah lokomotif yang paling kuat untuk membawa gerbong ekonomi global, dan sekarang adalah momentum bagi Indonesia untuk mulai menata ulang posisinya dalam ekonomi global.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)