Adegan itu agaknya cukup menjadi sebuah awal yang baik untuk perjalanan kurang lebih tujuh bulan masa kampanye yang sudah bisa dipastikan akan sangat melelahkan --terlebih secara psikologis-- bagi publik.
Namun, harus diakui, kemeriahan Deklarasi Kampanye Damai tentu tidak memberikan garansi penuh bahwa tujuh bulan masa kampanye akan berjalan adem-ayem tanpa polemik. Meminjam teori dramaturgi Erving Goffman, apa yang tampak di panggung depan (front stage) acap tidak merepresentasikan suasana sebenarnya yang terjadi di panggung belakang (back stage).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di negeri ini, politik dan polemik adalah dua kata yang seolah sudah berjodoh sejak sebelum dilahirkan dan mustahil bisa dipisahkan. Jangankan di masa kampanye, di hari-hari biasa saja, polemik yang berawal dari isu politik adalah salah satu yang paling dominan mewarnai ruang publik kita.
Kampanye, menyitir pendapat Stephen Stockwell dalam Political Campaign Strategy merupakan aktivitas persuasif yang bertujuan untuk mempengaruhi pilihan politik sekelompok orang. Dalam sistem demokrasi, aktivitas kampanye umumnya merujuk pada upaya elite politik menggiring opini publik melalui serangkaian strategi dan mekanisme yang terencana. Lebih dari itu, dalam lingkup yang lebih luas, kampanye juga merupakan bagian penting dari pendidikan politik bagi publik.
Ideal kampanye seperti diungkapkan Stockwell tersebut harus diakui belum sepenuhnya dipraktikkan di Indonesia. Kampanye dalam kontestasi politik nasional masih lebih sering dimaknai semata sebagai upaya mendulang hak suara sekelompok orang oleh elite atau kekuatan politik tertentu demi meraih kekuasaan. Akibatnya, model kampanye yang mengarusutama adalah kampanye yang lebih menitikberatkan pada pendekatan transaksional.
Istilah kampanye transaksional merujuk pada praktik kampanye yang berbasis pada aktivitas pertukaran bernuansa ekonomis. Kampanye transaksional terjadi manakala elite politik menempatkan konsituen atau calon pemilih sebagai objek kontestasi politik yang hak suaranya bisa ditukar baik dengan barang maupun jasa.
Dalam kampanye transaksional, elite politik dan konstituen dipertemukan oleh kepentingan yang bercorak pragmatis-temporer. Elite politik di satu sisi membutuhkan suara sebagai tiket meraih kekuasaan. Di sisi lain, konstituen pun memiliki berharap imbalan atas hak suara yang diberikannya.
Kampanye dengan pendekatan transaksional dalam praktiknya telah melahirkan sejumlah persoalan. Salah satu yang paling mudah diidentifikasi ialah maraknya praktik politik uang dalam tiap hajatan politik. Politik uang, dalam berbagai bentuk dan modusnya, telah menjadi semacam problem laten dalam politik kita.
Selain politik uang, pendekatan transaksional juga melahirkan praktik kampanye yang lebih banyak diwarnai oleh politik pencitraan, politik kebencian, dan beragam kampanye negatif lainnya. Dalam politik pencitraan, para elite politik akan berupaya sekuat tenaga mengidentifikasi diri sebagai representasi kelompok masyarakat yang disasar suaranya. Segala cara dipakai, termasuk menggelontorkan uang untuk menyewa konsultan politik atau memasang iklan di media massa.
Politik pencitraan memang tidak sepenuhnya salah, terlebih dalam konteks demokrasi terbuka seperti dipraktikkan saat ini. Politik pencitraan menjadi kontraproduktif manakala elite politik lebih menonjolkan citra diri sebagai komoditas politik, ketimbang visi, misi, program, dan gagasan yang diperjuangkan.
Politik pencitraan akan menjebak para elite dalam perang jargon dan simbol. Calon pemilih dibuai dengan rangkaian orasi dan pidato yang nyaris seluruhnya berisi janji-janji imajiner yang tidak realistis. Fatalnya, ketika segala upaya mencitrakan diri itu dirasa belum berhasil meraih simpati massa, strategi kampanye hitam pun dilancarkan. Menebar fitnah, memproduksi berita bohong, mengeksploitasi ujaran kebencian, sampai memainkan politik identitas untuk menjatuhkan musuh politik menjadi hal yang lumrah.
Menjadi wajar di setiap musim kampanye, ruang publik kita selalu riuh oleh pertengkaran politik yang sebenarnya sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan sosial-kemanusiaan. Publik pun tidak mendapat pendidikan, apalagi pencerahan politik. Sebaliknya, kita digiring ke dalam perpecahan yang mengancam kohesi sosial.
Model kampanye yang demikian ini jelas merupakan ancaman bagi demokrasi, bahkan pada titik tertentu juga mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa yang heterogen. Para elite politik idealnya beranjak dari kampanye dengan pendekatan transaksional ke corak kampanye dengan pendekatan transformasional.
Kampanye transformasional memiliki jangkauan yang lebih luas ketimbang kampanye transaksional yang hanya berorientasi pada raihan suara elektoral. Meski tidak mengesampingkan capaian suara, kampanye transformasional memandang penting untuk membangun jejaring politik yang mapan antara elite atau parpol dengan konstituen. Keberhasilan kampanye transformasional tidak semata didasarkan pada perolehan suara, namun juga dari meningkatnya kesadaran politik masyarakat.
Kampanye transformasional mensyaratkan setidaknya tiga hal. Pertama, identifikasi persoalan krusial-substansial di tengah masyarakat yang mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar. Kedua, fokus pada isu-isu strategis-konkret sembari menawarkan berbagai alternatif solusi yang realistis dan memungkinkan untuk segera dieksekusi. Ketiga, berupaya mendulang simpati pemilih dengan komunikasi politik yang efektif tanpa mengeksploitasi praktik-praktik kampanye hitam.
Jika semua elite politik mempraktikkan corak kampanye transformatif, dapat dipastikan masa kampanye yang berbulan-bulan itu akan sepi dari lalu lalang fitnah, hoax, eksploitasi sentimen SARA, dan sejenisnya. Simpul-simpul polarisasi sosial yang dilatari pertikaian politik pun niscaya akan terurai dengan sendirinya. Kampanye, dengan demikian, akan menjadi sebuah festival ide dan gagasan yang layak dirayakan dengan penuh suka-cita.
Desi Ratriyanti bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini