Masalah logat harusnya bukan menjadi bahan ejekan atau tertawaan, tapi jadi berkah dan menunjukkan betapa Tuhan Maha Kuasa, menciptakan lidah yang sama, tapi kemampuan mengucapkan satu kata yang berbeda-beda antara satu suku dan lainnya. Jangankan orang Jawa yang jauh dari tempat diturunkan wahyu dan bukan jadi bahasa sehari-hari, orang Arab --tempat Rasulullah diberi wahyu-- pun mempunyai dialek yang berbeda-beda dalam melafalkan Quran, sehingga seseorang dari suatu suku (kabilah) cara baca Qurannya bisa berbeda dengan orang dari kabilah lainnya.
Saat saya kuliah di Libya dulu, ada mata kuliah wajib yaitu Ulumul Quran (ilmu-ilmu Alquran). Salah satu babnya membahas tentang perbedaan cara baca Alquran. Jadi, meski Alquran diturunkan di tanah Arab yang secara umum bahasanya sama, namun karena memiliki banyak dialek, maka huruf Alquran boleh dibaca sesuai lidah setempat. Kalau kita baca artikel atau buku bahasa Arab, nyaris tak ada perbedaan. Susunan kata dan gramatikanya sama. Tapi, ketika kita ngobrol langsung dengan orang Arab, maka kita akan tahu beda dialeknya. Orang Saudi dialeknya beda dengan Libya, Tunisia, Maroko, Syiria, Yaman, Emirate, dan sebagainya. Itu karena mereka terdiri dari bermacam-macam kabilah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak kampus tahu, bahwa masalah pembacaan Quran ini bakal menjadi "perang pendapat" antarmahasiswa yang notabene datang dari berbagai belahan dunia, yang semuanya menganggap cara baca Quran mereka yang paling benar. Maka, saat salat berjemaah, imamnya bergantian. Seringkali saat Salat Tarawih, imamnya ada dua. Tarawih pertama diimami oleh mahasiswa Afrika, tarawih selanjutnya diimami dari Indonesia, lalu hari berikutnya bergantian Pakistan, Arab, dan begitulah seterusnya, para mahasiswa dari berbagai negara itu diberi kesempatan yang sama menjadi imam masjid.
Saya yang mahasiswa baru dan masih duduk di tahun pertama saat itu kaget, salat jadi tidak khusyu', seraya membatin, "Kok bacaannya imamnya beda-beda?" Tapi, setelah banyak bertanya dan mendapat mata kuliah Ulumul Quran, saya jadi lebih paham bahwa semua bacaan imam itu benar.
Pun begitu saat mata kuliah Alquran, masing-masing mahasiswa disuruh menghafal dan membaca surat oleh dosen. Ketika giliran orang Cina, suara mereka cenderung sengau, bahkan kalau mereka sedang menghafal Quran, kalau tidak jeli mendengar, saya kira mereka sedang bercakap-cakap dalam bahasa Cina. Orang Asia Tengah (Uzbekistan, Tadjikistan, Kazakhstan), cara ngajinya lain lagi, cenderung seperti baca huruf V. Cara ngaji orang Afrika juga punya ciri khas, huruf kasrah yang biasa kita baca "i" terdengar seperti huruf "e". Tapi, toh dosen kami tidak menyalahkan, semua dianggap benar, tidak pernah dia bilang, cara orang ngaji orang Indonesia atau orang Arab paling benar, misalnya.
Jadi, hikmah adanya Qiroah Sab'ah salah satunya adalah untuk keberagaman. Islam adalah agama yang toleran, masing-masing harus menghormati perbedaan. Pun dalam Alquran sendiri tidak ada ayat yang menunjukkan bacaan suku A atau B yang paling benar, toh ilmu-ilmu Alquran sendiri seperti Qiroah Sab'ah diciptakan oleh para ulama dan sahabat.
Zaman Rasulullah, ketika beliau memperdengarkan Alquran, banyak sahabat yang mendengarkan, dan masing-masing dari mereka dari suku yang berbeda. Karena pendengaran juga dipengaruhi oleh faktor kebiasaan, maka pemahaman yang sampai di otak akan berbeda. Ini dalam ilmu Alquran lainnya disebut 'Ilmul Aswat (ilmu bunyi). Contoh konkretnya adalah ketika ayam berkokok, orang Amerika akan bilang suara ayam tersebut "cock a doodle doo", sedang orang Indonesia akan bilang "kukuruyuk".
Inti dari mempelajari Alquran bukanlah agar bacaan fasih, sehingga baca ain sampai sangat sengau seperti orang Arab, lalu mengejek orang lain yang bacaannya tak fasih dianggap dangkal agamanya, tapi lebih kepada pengamalan ajaran damainya. Bahkan saat Islam berjaya, Rasulullah menunjuk Bilal (yang notobene mualaf dan bukan dari bangsa Arab tapi dari Afrika (Etiopia) untuk adzan, padahal ia tidak fasih. Meski begitu ia dijamin masuk surga.
Terlepas dari itu semua, sudah saatnya kita lelah untuk mencaci hal-hal yang tidak substansial. Toh Pak Jokowi bacaan salatnya bagus. Hanya karena ia mempunyai lidah Jawa, sehingga spontan bilang "Alfateka" harus dipersoalkan? Orang Sunda melafalkan Allah (yang harusnya pelafalannya bagian tengah lidah menyentuh langit-langit mulut) tapi dibaca Alloh. Atau, orang Minang yang melafalkan kata Muhammad dengan Muamaik (tanpa h) atau Muhamaik, sedang orang Persia membacanya dengan (Mohammed) atau Ahmed. Apa salah? Tidak sama sekali. Semuanya benar, yang salah adalah mereka yang mengklaim dirinya dan kelompoknya yang paling benar beragama dan paling layak masuk surga. Wallahu'alam bis showab.
Anisatul Fadhilah alumnus International Islamic Call University, Tripoli-Libya dan Universitas Padjadjaran, Bandung
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini