Skandal bermula dari serangan terhadap Sekretaris Jenderal Liberal Democratic Party (LDP) Tsutomu Takebe pada sebuah sidang di parlemen oleh anggota parlemen dari DJP bernama Hisayasu Nagata. Berdasarkan selembar kertas berisi cetakan email, Nagata menuduh anak Takebe menerima uang sebesar 30 juta yen dari Takafumi Horie. Uang itu untuk memuluskan jalan bagi Horie agar bisa mencalonkan diri dalam pemilihan umum mewakili LDP. Tapi, siapa Horie?
Takafumi Horie adalah superstar bisnis Jepang saat itu. Ia adalah pendiri dan CEO Livedoor, sebuah perusahaan internet dan multimedia. Mendirikan perusahaan dengan modal 6 juta yen pada 1996, dalam waktu relatif singkat Horie berhasil membuat Livedoor menjadi perusahaan besar dan terkenal. Ia pun kaya raya. Tak cukup dengan itu, ia merambah ke berbagai bidang, termasuk mencoba membeli dan menguasai saham sebuah perusahaan siaran TV.
Sukses di dunia bisnis, Horie mencoba memasuki dunia politik dengan memanfaatkan popularitasnya. Ia menjadi kandidat anggota parlemen dari LDP pada Pemilihan Umum 2005. Ketika itulah ia terlihat dekat dengan Sekjen Partai, Takebe. Pada sebuah kampanye untuk Horie, Takebe turun ke lapangan dan berpidato. Ia memperkenalkan Horie sebagai "anak laki-laki saya". Sayangnya Horie tak terpilih pada pemilihan umum itu.
Awal 2006 Horie kembali mengguncang Jepang. Kali ini ia ditangkap polisi karena perusahaannya melakukan kecurangan pada perdagangan saham. Kejadian itu adalah titik balik bagi Horie. Pamornya yang tadinya gemerlap menjadi suram. Banyak orang yang tak ingin dihubungkan dengannya. Suasana itulah yang hendak dimanfaatkan Nagata. Dengan menuding telah terjadi skandal kotor di LDP yang melibatkan petinggi partai, ia berharap dapat mengguncang partai yang sedang berkuasa.
Sesaat memang terjadi guncangan. LDP menghadapi krisis ketidakpercayaan dari publik. DJP mempersiapkan serangan dahsyat, yang menurut mereka akan membuat LDP terjungkal dari tampuk kekuasaan. Tap,i Nagata dan DJP sungguh celaka. Email yang isinya perintah Horie kepada stafnya untuk mentransfer uang ke rekening anak Takebe ternyata palsu. Nagata langsung dipecat dari kedudukannya sebagai anggota parlemen. Tidak hanya itu, ia dilarang berpolitik selama 3 tahun.
Skandal itu juga menyebabkan Ketua Partai Seiji Maehara mengundurkan diri. Lalu, krisis ketidakpercayaan publik berbalik menghantam DJP. Perdana Menteri Jepang saat itu, Junichiro Koizumi tidak lantas bertepuk tangan karena partai yang ia pimpin berhasil lolos dari serangan mematikan dari lawan politik. Ia juga tidak tertawa bahagia melihat oposisi makin terpuruk. Ia justru ingin agar oposisi memperbaiki diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kubu Prabowo lebih banyak memainkan narasi jenis kedua. Berbagai isu mereka siarkan untuk menjelekkan penguasa. Sayangnya, isu-isu itu sering tidak didasarkan pada data akurat. Penguasa dapat dengan mudah mematahkannya.
Serangan kubu Prabowo terhadap kubu Jokowi dengan isu penganiayaan Ratna Sarumpaet belakangan ini hampir identik dengan skandal politik Jepang yang terjadi 12 tahun yang lalu itu. Oposisi menganggap ada bahan yang bisa dijadikan senjata ampuh untuk mematikan lawan. Mereka memakainya. Tapi, ternyata bahan itu palsu. Justru mereka yang kini menerima akibatnya.
Bedanya, sistem dan moral politik Jepang sudah jauh lebih maju. Politikus yang ketahuan berdusta otomatis dipecat, dan dilarang berpolitik selama periode tertentu. Demikian pula pimpinannya. Pimpinan tidak bisa sekadar cuci tangan, menimpakan kesalahan pada anggotanya saja. Secara moral pimpinan ikut bertanggung jawab atas kesalahan anggota.
Membandingkan kedua peristiwa yang punya kemiripan tadi terasa seperti membandingkan langit dan bumi ketika kita lihat sikap para politikus setelah tahu ia salah. Politikus Jepang langsung kena sanksi, dan ikhlas menerimanya. Pemimpinnya tahu diri. Di sini, tidak ada sanksi yang diberikan. Pelakunya aman. Malah ia segera memulai dusta-dusta baru.
Berpolitik dalam definisi positifnya adalah membangun negara. Partai berkuasa menjadi pelaksana, sedangkan oposisi mengoreksi dan meluruskan. Ini adalah sebuah kerja sama. Keduanya tugas mulia. Dalam perspektif ini, tujuan membangun negara tidak tercapai bila satu pihak tidak baik kinerjanya. Bila oposisi buruk, peran koreksi terhadap kerja penguasa menjadi sangat lemah. Karena itu penguasa perlu membantu agar oposisi memperbaiki diri.
Tapi, di sisi lain kita semua tahu bahwa politik adalah pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan. Dalam perspektif ini, setiap langkah untuk menjatuhkan lawan, patut dilakukan. Saat lawan jatuh terjungkal, itu adalah saat bahagia, karena itu saat untuk merebut atau memperkokoh kekuasaan.
Dua sisi politik itu selalu ada. Apa boleh buat, politik kita masih lebih sering bermakna sebagai arena untuk berebut kuasa. Segala cara kotor dihalalkan untuk mendapat kekuasaan. Sisi membangun nyaris tak terlihat. Sungguh menjengkelkan, bukan?
Akankah pola-pola politik negatif ini makin menguat di masa depan? Mungkin saja. Tapi, mungkin juga tidak. Setelah berjalan sebulan lebih sejak penetapan pasangan calon presiden dan wakilnya, elektabilitas Prabowo tidak beranjak naik secara berarti. Angka 30% yang dipegang Prabowo saat ini bisa kita anggap sebagai jumlah pendukung fanatiknya, yang tetap akan memilih Prabowo apapun kesalahan yang ia buat. Artinya, pola kampanye negatif yang dijalankan Prabowo tidak efektif untuk menambah dukungan.
Kalau ia kalah, itu akan jadi pelajaran penting bagi politikus lain, bahwa berpolitik dengan cara buruk itu tidak akan efektif. Dengan begitu mereka akan bekerja lebih keras untuk berpolitik dengan cerdas. Semoga begitu.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)











































