Sebagai Duta Besar negara adikuasa yang banyak menentukan peta politik dunia, bahkan mengaku sebagai negara polisi dunia, seorang Duta besar negara itu menjadi pusat perhatian. Setiap pergantian dan siapa yang menggantikan menjadi bahan diskusi panjang di lingkungan korps diplomatik Jakarta. Setiap orang yang ditempatkan di pos Kedutaan Besar AS di Jakarta tentunya orang pilihan, karena negeri dengan 200 juta penduduk, nomor empat di dunia setelah China, India, dan AS ini mengalami proses revolusi, transformasi, dan reformasi tak berkesudahan.
Di masa Orde Lama, dinamika politik sedemikian tinggi sehingga pimpinan negara dalam hal ini Sukarno, yang suatu ketika menjadi teman paling dekat Presiden Kennedy, pada awal tahun 60 an berubah menjadi musuh nomor satu yang membakar kedutaan, mengambil alih, dan membakar gedung USIS, Papfias dan Kedutaan Besar Inggris. Bahkan keluar dari PBB yang dituduhnya menjadi organisasi yang mewakili dan disetir oleh AS
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Howard Jones diganti karena dianggap terlalu lemah ketika situasi politik yang memanas tahun 1965 oleh Marshall Green, seorang diplomat yang dikenal keras dan bertemperamen dingin. Di Jakarta ia segera dihadapkan pada situasi politik Indonesia yang berubah dan semangat "ganyang" Amerika dan pembentukan poros Jakarta, Hanoi, Beijing, dan Pyongyang yang tinggi. Bung Karno tengah asyik memajukan Indonesia sebagai kekuatan utama The New Emerging Forces. Marshall Green yang ketika menjadi Duta Besar AS di Bangkok dianggap "sukses" melawan pengaruh kominis di negara itu, menghadapi situasi yang berubah ini dengan kepala dingin. Hanya setahun setelah ia menempati posisinya sebagai Duta Besar Jakartra, Peristiwa G 30 S meletus.
Para analis kiri menyatakan peranan Marshall Green bagi pematangan kudeta PKI yang berakhir dengan pembubaran partai itu amatlah besar. Ia dituduh sebagai penyebar Dokumen Gilschritch yang menyebut adanya Gerakan Dewan Jendral untuk melakukan kudeta terhadap Bung Karno, yang waktu itu sedang sakit-sakitan.
Di masa Orde Baru ada seorang duta besar yang begitu dikenal luas namanya, Paul Wolfowitz, yang amat dekat dengan wartawan dan kalangan budayawan. Istrinya bahkan fasih berbahasa Jawa dan menjadi penari Jawa sekaligus penulis yang tangguh. Ketika saya menjadi Kepala Stasiun TVRI Yogyakarta tahun 1987, ia mengajak saya mendaki Gunung Merapi sampai ke puncaknya. Sayang saya sedang tidak ada di Yogya, tapi ia sempat mampir ke TVRI Yogya waktu itu.
Paul Wolfowitz sekarang menjadi orang kedua setelah Menteri Luar Negeri Collin Powel yang turut merancang strategi penyerangan ke Irak tahun sebelumnya.
Kembali ke Ralph Boyce, ia memikat hati banyak elite politik Indonesia atas kegiatannya yang luar biasa menjaga hubungan negaranya dengan Indonesia yang tidak berada pada posisi baik, terutama setelah Indonesia dianggap gagal mengadili Perwira Tinggi yang dituduh melanggar HAM dalam berbagai kekerasan khususnya di Timor Timur tahun 2001. Kedutaan Besar AS juga paling sering menjadi arena demonstrasi dan ancaman teror bom terhadapnya.
Di masa jabatannya ia mengalami tiga teror bom yang ditujukan terhadap kepentingan Amerika dan sekutu dekatnya. Bom Bali tahun 2002, bom di Hotel Marriott Jakarta tahun 2003, dan bom di Kedutaan Australia setahun kemudian. Namun, ia tetap santai menghadapi permasalahan itu dan lebih sering bermain musik ketimbang melayani permintaan berbagai diskusi politik dan wawancara.
Saya sering bertemu dengan Boyce setiap kali latihan band Jumat malam di rumah Pak Agum Gumelar. Boyce adalah pemain drum di band The Ambassador's", bersama dengan Duta Besar Inggris, Chili, dan Italia. Band ini beberapa kali melakukan pertunjukan untuk mencari dana bagi korban bencana alam.
Tatkala menghadiri perpisahan untuknya yang diadakan oleh Kompas, ia mengatakan, "Saya menabuh drum untuk menghilangkan stres, sepanjang tiga tahun tugas saya di negeri yang indah ini. Dua hal yang akan saya lakukan setelah ini. Pertama menulis buku setebal buku Howard P Jones maupun Marshall Green, karena saya berada pada ambang peralihan kepemimpinan paling demokratis di Indonesia, dan kedua datang kemari satu bulan sekali untuk bersama teman The Ambassador's bermain musik untuk amal".
Mungkin Mr Boyce satu-satunya Duta Besar AS yang dikenal sebagai pemusik yang baik ketimbang Duta Besar yang baik. Dan, mungkin itu lebih baik.
Ishadi SK Komisaris Transmedia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini