TNI dan Kawasan Cincin Api

Kolom

TNI dan Kawasan Cincin Api

Fahmi Alfansi P Pane - detikNews
Jumat, 05 Okt 2018 14:00 WIB
Foto: Carl Court/Getty Images
Jakarta -

Peringatan HUT ke-73 TNI tahun ini terasa berbeda. Sebagian personel dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI sedang dikerahkan untuk melakukan operasi pencarian dan penyelamatan korban, penyaluran bantuan, dan pengamanan areal terdampak gempa tsunami Palu Donggala. Sebelumnya, TNI juga berada di barisan terdepan dalam penanganan fase tanggap darurat gempa Lombok.

Tapi, perbedaan perasaan tadi bukan hanya nuansa atau perbedaan yang sangat tipis dibandingkan dengan peringatan HUT TNI tahun-tahun sebelumnya, atau dibandingkan dengan peringatan ulang tahun angkatan bersenjata negara lain. Dalam soal bencana alam, Indonesia memang berbeda signifikan dibanding negara lain. Indonesia ditakdirkan berdiri di kawasan cincin api (ring of fire). Ini berarti kita hidup di lingkungan yang berisi banyak gunung berapi aktif, lempeng dan sesar bumi yang bergeser ke berbagai arah naik dan turun, yang saling bertumbukan, serta risiko bencana hidrometeorologi (gabungan faktor kondisi tanah, air dan cuaca).

Konsekuensinya, Indonesia akan selalu dan pasti menghadapi ancaman faktual bernama bencana alam, seperti gempa tsunami, tanah longsor, banjir, erupsi gunung berapi dan lain-lain. Dengan lingkungan yang sangat rentan bencana alam inilah bangsa Indonesia hidup dan harus beradaptasi. Sebagai tentara rakyat dan tentara nasional, TNI juga harus menyesuaikan diri. Adaptasi tersebut karena TNI berperan signifikan dalam penanganan pascabencana, utamanya pada fase tanggap darurat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih dari itu, berbagai unsur dalam postur pertahanan juga perlu dikalkulasi dengan memasukkan faktor risiko bencana alam. Misalnya, masih tepatkah membangun pangkalan kapal selam di pelabuhan yang rentan gempa tsunami dengan risiko tinggi? Jika lokasi tersebut merupakan lokasi terbaik dari aspek pertahanan, bagaimana mitigasi risiko bencananya? Bagaimana mereduksi dampak gempa tsunami, baik pangkalan, kapal, berbagai sarana dan prasarana, maupun personel, jika tetap berpangkalan di sana?

Dalam aspek kemampuan personel misalnya, bagaimana membekali prajurit TNI dengan kemampuan evakuasi korban pada medan yang sulit, seperti di antara reruntuhan bangunan, atau tanah berair dan berlumpur? Termasuk, untuk memahami kondisi terakhir korban dan cara penanganan terbaiknya. Bagi personel Batalion Kesehatan (Yonkes), kemampuan ini pasti dimilikinya. Namun, jika bencana sangat besar dan wilayah terlanda sangat luas, perlu dukungan dari prajurit selain Yonkes.

Sebagian daerah yang rentan bencana alam, termasuk gempa tsunami, juga masih menjadi daerah yang mengalami gangguan keamanan signifikan. Sulawesi Tengah masih menjadi daerah Operasi Tinombala saat gempa tsunami menerjang 28 September 2018. Papua dan Papua Barat juga merupakan daerah yang rentan gempa tsunami, dan pada daerah itu kelompok separatis bersenjata masih terus mengganggu keamanan publik dan pembangunan. Situasi ini menuntut TNI dapat bersiap menjalankan tugas menangani bencana alam dan pengamanan sekaligus.

Selain itu, saat sumber daya nasional tidak memadai, bantuan internasional dapat diterima. Tapi, seperti peran signifikan TNI dalam fase tanggap darurat, militer negara lain juga akan berperan jika diizinkan memasuki daerah bencana. Secara kasatmata, bantuan itu bersifat kemanusiaan tanpa pamrih. Namun, bantuan tersebut juga kerap dimanfaatkan sebagai instrumen soft power (daya bujuk) suatu negara terhadap negara lain. Citra suatu negara akan meningkat jika sukses membantu negara lain.

Bahkan, tidak jarang di balik bantuan kemanusiaan terselip pesan sponsor atau pemasaran produk. Salah satunya terlihat saat Malaysia menawarkan pesawat angkut A400M untuk membantu penanganan gempa tsunami Palu Donggala. Dalam akun Twitter Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) tanggal 4 Oktober 2018 mereka menyatakan mengirimkan A400M buatan konsorsium Eropa tersebut karena menilai barang-barang yang akan diangkut berukuran besar dan sangat berat yang tidak cocok diangkut dengan pesawat angkut C130 Hercules. Padahal, TNI AU mengoperasikan sedikitnya sepuluh unit Hercules buatan Amerika Serikat untuk penanganan gempa tsunami Palu Donggala. Militer Indonesia juga belum memutuskan membeli A400M, meski mungkin akan terlibat jika itu dibeli oleh kementerian/lembaga lain.

Berat maksimum saat lepas landas (maximum take off weight/MOTW) memang salah satu parameter penentuan kapabilitas pesawat angkut. Namun, itu bukan satu-satunya parameter untuk membandingkan produk. Kemampuan pesawat lepas landas dan mendarat di landasan yang pendek dan kurang bagus juga harus dipertimbangkan, terlebih pesawat digunakan di daerah yang terlanda gempa tsunami. Lebih dari itu, kurang tepat jika bencana alam menjadi ajang promosi produk secara terselubung, apalagi membandingkan dengan produk kompetitor secara eksplisit.

Situasi ini sulit diidentifikasi oleh mereka yang tidak berlatar belakang militer atau sains pertahanan, manajemen bencana, dirgantara dan semacamnya. Padahal, adanya sisipan di antara bantuan kemanusiaan hampir selalu terjadi dan memerlukan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Karena itu, kehadiran personel TNI dan atau mereka yang berlatar belakang sains yang relevan sangat dibutuhkan untuk menghadapi arena diplomasi kemanusiaan. Semua ini memerlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai, dan seharusnya terencana dengan baik dalam pembangunan postur pertahanan.

Berbagai bencana alam sebagai konsekuensi hidup di kawasan cincin api sudah seharusnya menjadi faktor penentu dalam perencanaan pembangunan, mulai dari tata ruang, mitigasi bencana, pendidikan sejak usia dini, hingga perencanaan postur pertahanan, utamanya TNI sebagai komponen utama. Terlebih, berbagai bencana itu terjadi sebelum pengambilan keputusan RAPBN Tahun 2019. Faktor bencana juga harus lebih dikalkulasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, yang akan paralel dengan perencanaan pembangunan postur kekuatan minimal esensial (minimum essential force/ MEF) TNI tahap III.

Penyesuaian rencana MEF TNI semakin perlu karena lebih mematikan daripada terorisme sekalipun. Sebagai contoh, jumlah korban jiwa serangan terorisme sepanjang 2018 mencapai 25 orang, termasuk para pelaku. Namun, jumlah korban jiwa gempa Lombok mencapai 564 jiwa, sedangkan gempa tsunami Palu Donggala telah melampaui 1.400 orang hingga 4 Oktober. Terlebih, karena kita hidup di kawasan cincin api, bencana alam yang besar pasti akan terjadi. Manusia hanya tidak tahu kapan dan di mana persis kejadiannya.

Fahmi Alfansi P Pane alumnus Pascasarjana Manajemen Pertahanan, program kolaborasi Universitas Pertahanan Indonesia dan Cranfield University, Inggris

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads