Menyelamatkan Pemilih Pemula

Kolom

Menyelamatkan Pemilih Pemula

Achmad Fachrudin - detikNews
Rabu, 03 Okt 2018 13:00 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu memberikan jaminan bagi pemilih pemula yang pada 17 April 2019 genap berusia 17 tahun guna menyalurkan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Secara kuantitatif, jumlah pemilih pemula cukup besar dan berkontribusi signifikan bagi kemenangan Pasangan Calon Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD atau Pemilu Legislatif (Pileg). Namun demikian, dalam aktualisasi hak pilih mereka masih mengandung masalah dan bahkan potensial menyebabkan pemilih pemula kehilangan hak pilihnya. Masalah ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan dicarikan solusinya untuk menyelamatkan jutaan hak pilih kelompok potensial ini pada Pemilu 2019.

Data-data mengenai jumlah pemilih pemula beragam. Dirjen Dukcapil Zudan Arif Farullah pernah menyebutkan, dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) terdapat pemilih pemula yang akan berusia 17 tahun tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan 17 April 2019 sebanyak 5.035.887 jiwa. Data Ketua KPU Arif Budiman menyebutkan adanya potensi pemilih pemula atau pemilih yang baru 17 tahun pada hari pemungutan suara sebanyak lebih dari 7 juta. Dalam kesempatan lain Arif menyebut, ada sekitar 5 juta pemilih pemula yang sudah akan berusia 17 tahun dalam kurun waktu Januari hingga April 2019. Sementara, Komsioner KPU Viryan Aziz menyebut, jumlah pemilih pemula lebih kecil lagi yakni 1.262.878 jiwa.

Mengacu data pemilih versi Viryan, urutan 10 data pemilih pemula terbanyak berturut-turut: Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 212.749 jiwa dari DPT 32.636.846 per 30 Agustus 2018; Jawa Timur sebanyak 174.558 jiwa dari DPT 30.554.761 jiwa per 30 Agustus; Jawa Tengah 154.188 jiwa dari DPT 27.430.269 jiwa per 30 Agustus; Sumatera Utara 81.034 jiwa dari DPT 9.426.220 jiwa per 3 September; Sulawesi Selatan 50.497 jiwa dari DPT 5.972.161 jiwa per 1 September; Banten 46.260 jiwa dari DPT 7.452.971 jiwa per 29 Agustus; Lampung 45.873 jiwa dari DPT 5.914.926 jiwa per 29 Agustus; Sumatera Selatan 40.697 jiwa dari DPT 5.821.160 jiwa per 29 Agustus; Nusa Tenggara Timur 35.257 jiwa dari DPT 3.289.174 jiwa per 31 Agustus; dan, DKI Jakarta 33.855 jiwa dari DPT 7.211.891 jiwa per 30 Agustus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kendala dan Problema

Sejumlah kendala dan problem yang melingkupi pemilih pemula dewasa ini di antaranya pertama, pemilih pemula yang pada 17 April 2019 berumur 17 tahun dan ingin mengikuti Pemilu masih banyak yang belum melakukan perekaman dan pencetakan e-KTP, alias belum memiliki e-KTP. Kedua, syarat perekaman, penerbitan, dan pemberian e-KTP baru bisa dilakukan pas di hari ketika penduduk berusia 17 tahun. Sementara bila dilakukan perekaman dan penerbitan e-KTP tepat di hari pemungutan suara pada 17 April 2019 --meskipun dijanjikan Mendagri Tjahjo Kumolo bisa dilakukan hanya dalam waktu satu jam jika seluruh persyaratan terpenuhi-- bisa dianggap melanggar aturan dan sangat riskan dilakukan. Apalagi di hari libur karena dipastikan seluruh rakyat Indonesia yang memenuhi syarat pemilih tengah berkonsentrasi untuk mengikuti Pemilu 2019.

Ketiga, dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu diatur mengenai Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Atau, pemilih yang telah terdaftar dalam DPT di suatu TPS yang karena keadaan tertentu Pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar dan memberikan suara di TPS lain. Syaratnya, harus menunjukkan e-KTP atau Surat Keterangan (Suket) dan salinan bukti telah terdaftar sebagai Pemilih dalam DPT di TPS asal dengan menggunakan formulir Model A.A.1-KPU (PKPU No. 11 tahun 2018, Pasal 37 ayat 1). Jadi, meskipun pemilih pemula sudah masuk dalam DPT, jika tidak mempunyai e-KTP atau Suket, tidak dapat menyalurkan hak pilihnya.

Selain problem administratif, problem lainnya di antaranya pertama, pemilih pemula rawan dipolitisasi dan dijadikan komoditas politik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas kontestan Pemilu, baik Pilpres maupun Pileg. Kedua, pemilih pemula rawan didekati, dipersuasi, dipengaruhi, dimobilisasi, dan sebagainya untuk bersedia mengikuti kampanye yang dilaksanakan. Padalah sebelum ini, para kontestan Pemilu tersebut tidak jelas kepeduliannya terhadap pemilih pemula.

Ketiga, pemilih pemula masih banyak mengidap penyakit labilitas dan emosionalitas. Dalam kontek Pemilu, mereka berada dalam pusaran antara antusiasme politik dengan apatisme politik. Pada satu sisi sangat bersemangat dan ingin mengetahui seputar Pemilu, khususnya melalui media sosial. Namun, belum tentu antusiasisme tersebut simetris dengan realitas perilaku politiknya. Bahkan tidak sedikit kalangan pemilih pemula, termasuk mahasiswa, lebih memilih tidak menyalurkan hak pilihnya alias Golput. Dengan kata lain antusiasisme politik kalangan muda, khususnya pemilih pemula di politik lebih merefleksikan suatu fenomena romantisme politik atau sensate democracy.

Keempat, pemilih pemula sering menjadi sasaran empuk politik transaksional, atau politik uang. Politik uang dalam konteks pemilih pemula bisa berangkat atas inisiatif dari partai politik, tim kampanye, dan para calo politik (political broker). Tetapi, bisa juga berasal dari inisiatif pemilih pemula itu sendiri. Jangan lupa, di antara pemilih pemula juga sudah mengenal politik uang serta sumber-sumber dari politik uang tersebut. Hanya saja politik uang di kalangan pemilih pemula cenderung hanya dalam jumlah terbatas, recehan atau eceran. Bukan dalam jumlah besar, glosiran, partaian, atau kardusan.

Kelima, pemilih pemula belum berpengalaman dalam mengikuti kegiatan Pemilu, khususnya pemberian suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kegiatan ini gampang-gambang susah. Terlebih pada Pemilu Serentak 2019 di mana surat suara (ballot paper) yang harus 'dicoblos' oleh pemilih cukup banyak, yakni: (1) untuk Capres dan Cawapres, (2) anggota DPR, (3) anggota DPD, (4) anggota DPRD Provinsi dan (5) untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota (di Jakarta tidak ada DPRD Kabupaten/Kota). Bukan tidak mungkin, pemilih pemula tidak mengetahui sah dan tidak sahnya pencoblosan surat suara.

Langkah Penyelamatan

Dengan peta problem pemilih pemula seperti itu, semua pihak diharapkan terlibat aktif untuk mencarikan solusi dan terobosan dengan tujuan untuk menyelamatkan pemilih pemula agar tidak kehilangan hak pilihnya. Solusi dan terobosan yang bisa dilakukan sebagai berikut. Pertama, Kemendagri harus memerintahkan Dukcapil di seluruh Indonesia untuk segera melakukan perekaman dan penerbitan e-KTP kepada pemilih pemula yang pada 17 April 2019 genap berusia 17 tahun paling lambat tuntas akhir Desember 2018. Agar tidak melanggar aturan, sebelumnya dikeluarkan Petunjuk Teknis atau Surat Edaran.

Jika sampai pada Desember 2018 perekaman dan penerbitan e-KTP bagi pemilih pemula tidak tuntas, dalam arti masih ada pemilih pemula belum memiliki e-KTP, Kemendagri melalui Dukcapil se-Indonesia melalui Kepala Satuan Pelaksana (Kasatpel) di masing-masing Kelurahan/Desa dengan sebelumnya berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari KPU, DPR dan Bawaslu, harus menerbitkan dan membagikan Surat Keterangan (Suket) bagi pemilih pemula sebagai pengganti dokumen kependudukan yang bisa digunakan saat pemungutan suara. Penerbitan Suket ini ada dasar hukumnya, yakni PKPU No. 11 tahun 2018 Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu Pasal 39 ayat 3.

Kemudian, jajaran KPU harus secara gencar mensosialisasikannya kepada seluruh jajarannya hingga di level bawah, khususnya kepada mereka yang bakal bertugas sebagai anggota Kelompok Kerja Pemungutan Suara (KPPS). Sosialisasi intens harus juga dilakukan kepada masyarakat luas melalui berbagai bentuk media massa dan Alat Peraga Sosialisasi (APS Sosialisasi) secara masif. Saat bersamaan KPU dan Dukcapil harus memikirkan cara untuk mengeliminasi dan mencegah penggunaan Suket tidak disalahgunakan/dipalsukan.

Ketiga, untuk mencegah terjadinya politisasi terhadap pemilih pemula, maraknya politik uang, minimnya pemahaman terkait dengan teknis penandaan atau pencoblosan, dan lain sebagainya KPU harus lebih intens melakukan literasi politik dengan cara melakukan pendidikan pemilih kepada pemilih pemula agar menjadi pemilih cerdas. Pemilih cerdas adalah pemilih yang lebih mengedepankan rasionalitas (bukan emosionalitas) dalam menentukan pandangan dan sikap politiknya. Dalam pendidikan pemilih tersebut juga harus diberikan pemahaman dan keterampilan teknis pencoblosan yang sah agar kehadiran pemilih pemula ke TPS tidak sia-sia atau percuma.

Keempat, Bawaslu dan partai politik tidak bisa tinggal diam untuk menyelamatkan nasib jutaan pemilih pemula. Untuk itu, Bawaslu harus mendorong dan memastikan agar KPU dan Kemendagri melakukan langkah-langkah pasti, baik secara aturan maupun dalam pelaksanaannya. Pun demikian partai politik, harus ikut berpartisipasi mensosialisasikan hal ini kepada konstituen dan anggotanya. Sebab bisa jadi, di antara konstituennya ada yang berasal dari segmen kalangan pemilih pemula. Hal ini harus segera dilakukan agar pemilih pemula mengetahui hak dan kewajibannya pada Pemilu 2019.

Kelima, menurut informasi dari Dukcapil, pemilih pemula namanya sudah masuk dalam DP4 yang artinya berpeluang untuk dapat mengikuti Pemilu 2019. Yang belum dimiliki oleh sebagian pemilih pemula adalah e-KTP, sebagian lagi tengah melakukan perekaman dan memiliki e-KTP, dan sebagian lagi belum melakukan perekaman, apalagi mendapatkan e-KTP. Baik yang sudah, tengah, dan belum memiliki e-KTP, atau hanya bermodalkan asumsi sudah masuk dalam DPT, disarankan untuk mengecek apakah namanya sudah masuk DPT atau belum. Jika belum, segera melapor ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) terdekat untuk segera dimasukkan ke dalam DPT dengan melampirkan bukti resi surat keterangan perekaman, e-KTP, atau informasi kependudukan lainnya yang dianggap perlu.

Achmad Fachrudin pengkaji pemilu, partisipan Jaringan Demokrasi Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads