Sumanang, Abdul Rachmat Nasution (ayah Adnan Buyung Nasution), bersama Adam Malik, Pandu Kartawiguna, dan AM Sipahutar adalah pendiri Kantor Berita Antara pada 13 Desember 1937. Di tengah ancaman tentara Jepang, tokoh-tokoh ini melalui Kantor Berita Domei, Jepang --karena Antara dibekukan Jepang-- secara sembunyi menyebarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pertama sekali ke seluruh dunia, sehingga sejumlah negara mengakui kemerdekaan RI.
Kongres XXIV PWI, 27-30 September 2018 diselenggarakan di Solo. Pilihan kota ini antara lain untuk mengembalikan semangat awal PWI --menjaga kedaulatan, kehormatan, dan integritas. Dalam iklim politik, yang rentan terhadap pengaruh politik, integritas wartawan sangat penting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini merupakan produk baru Kongres XXIV. Sanksi atas pelanggaran itu yakni skorsing hingga pemecatan," kata Ilham Bintang, yang secara aklamasi terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat periode 2018-2023.
Ini bagian dari cara PWI membentengi diri dari kepentingan politik, menjadi independen, dan bermartabat.
Setelah calon Ketua Umum PWI menandatangani Pakta Integritas, dilanjutkan proses pemilihan melalui pemungutan suara. Atal S Depari (Ketua Bidang Pembinaan Daerah) meraih 38 suara, sedangkan Hendry Ch Bangun (Sekretaris Jenderal) meraih 35 suara dari total 73 suara. Atal, Ilham Bintang, dan Margiono (ketua umum sebelumnya) ditetapkan sebagai formatur menyusun kepengurusan 2018-2023.
Generasi Baru
Sebelum kongres, ada lima nama yang muncul sebagai calon kuat, yakni Atal S Depari, Hendry Ch Bangun, Sasongko Tejo, Ahmad Munir, dan Teguh Santosa. Ada analisis menarik Ilham Bintang terhadap munculnya lima nama bakal calon ketua umum tersebut. Ketua Dewan Kehormatan ini membagi tiga klasifikasi generasi kepemimpinan PWI sejak berdiri 1946 lalu. Tiga generasi --Ilham menyebutnya rezim-- yakni, pertama para tokoh pergerakan, yang diawali oleh Soemanang SH sebagai Ketua PWI pertama, menyusul Usmar Ismail, Manai Sophiaan, BM Diah, Rosihan Anwar, dan lain-lain.
Sedangkan rezim kedua, yakni para tokoh pers yang sukses membangun industri media/dari grup media besar: Jacob Oetama, Harmoko, Zulharmans, Atang Ruswita, Sofyan Lubis, Tarman Azzam hingga Margiono.
Ketiga, berbeda dengan sebelumnya, lima tokoh yang muncul dalam kongres kali ini merupakan rezim baru PWI. Mereka wartawan murni yang berkarier dari bawah, bukan pemilik media, bukan pula pengambil keputusan di media tempat mereka bekerja masing-masing.
Dengan posisi sebagai wartawan murni --hidup dari dinamika medan pengabdian-- mereka sangat independen dari kekuasaan. Mereka bukan pemilik konglomerasi usaha, bukan pengusaha media pers. Tidak ada nilai materi yang dapat mereka kalkulasikan untuk takluk pada intervensi dan kooptasi. Mereka --rata-rata sudah berumur-- akan mengabdikan sisa hidupnya untuk kepentingan bangsa, sebagaimana semangat PWI didirikan 72 tahun lalu.
Lima tokoh PWI itu, menurut analisis Ilham, telah puluhan tahun merasakan pahit getir dan kesulitan dalam perjalanan karier. Dari pengalaman itu, tentu tidak mudah mereka menyerahkan organisasi untuk dikooptasi oleh penguasa. Mayoritas wartawan anggota PWI lebih yakin dengan posisi itu sebagai jaminan independensi pers di tangan tokoh-tokoh yang berlatar belakang wartawan murni itu. Dan, mereka dapat mengabdi tanpa risau dalam bersikap untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Analisis Ilham ini menarik di tengah fenomena kuatnya peran pemilik media dalam news room dan keterlibatan pemilik media dalam politik praktis. Dalam situasi tersebut independensi menjadi barang mewah.
Kepengurusan PWI mendatang tidak saja harus memperkuat semangat awal PWI --membela kedaulatan, kehormatan, dan integritas-- tapi juga memperjuangkan independensi ruang redaksi dari kepentingan politik pemilik modal. Ini tentu tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Selamat berjuang!
Asro Kamal Rokan wartawan senior
(mmu/mmu)