Pada setiap acara kampung, suguhan mereka ya cuma di antara kedua opsi itu: tahu, atau tempe.
Pemujaan mereka kepada makanan favorit masing-masing itu membuat segala perbincangan jadi sangat mudah. Terlalu mudah, tidak bikin pusing kepala, dan membawa manusia-manusia Nguntalsari mengistirahatkan otak dalam waktu yang amat lama. Sebab, tidak ada perdebatan apa pun lagi, tidak ada aliran sempalan yang bisa muncul sebagai kekuatan alternatif, misalnya dengan membicarakan bakwan atau pisang goreng sebagai pilihan ketiga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, kalau di forum arisan Yu Marsiyem mengatakan, "Kok tahu terus to, Bu bosen je. Minggu depan mbok kita bikin klepon atau risol yuk," jelas, Yu Marsiyem seketika langsung dicap jadi tempe lover. Klepon dan risol itu cuma kamuflase saja, begitu orang-orang melihatnya.
Dengan situasi psikososial Desa Nguntalsari seperti itu, lama-kelamaan kemampuan memasak warga menurun drastis. Mereka hanya mampu memasak tempe dan tahu saja. Kemampuan mengolah bahan-bahan lain dihilangkan, bayangan akan pilihan-pilihan makanan lain pun lambat-laun musnah dari pikiran.
Jika seseorang sudah jadi pemuja tahu, maka ia akan mewariskan kecintaan atas tahu kepada anak-anaknya. Kalau seseorang sudah jadi pencinta tempe, ia pun akan menurunkan pemujaan atas tempe hingga kepada cucu cicitnya.
***
Dongeng tentang Desa Nguntalsari itu memang krik-krik sekali. Maksa banget, karena saya memang tidak menemukan analogi lain untuk kekonyolan serupa. Tapi, jangan dikira yang konyol-konyol itu tidak hadir kasat mata di alam nyata.
Buktinya, baru saja seorang mantan Jagabaya alias Kaur Keamanan desa yang lain mengatakan dengan tegas di depan Yu Rosi dan jutaan pemirsa televisi.
"Tuntutan pencabutan TAP MPRS yang dibuat tahun 1966, siapa lagi kalau bukan PKI? Kemudian penghapusan sejarah pemberontakan PKI, siapa lagi kalau bukan PKI? Kemudian lagi, tentang penghentian pemutaran film yang selama ini (Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI), siapa yang minta itu kalau bukan PKI?"
Jadi, kalau ada orang mengkritik suatu jenis masakan tempe, eh, mengkritik satu sajian kebijakan publik yang tidak sejalan dengan sikap anti-PKI yang membabi buta, sudah pasti dia PKI. Titik. Tidak ada opsi kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Tak peduli bahwa Tap MPRS yang terbit pada 1966 itu mengandung pasal karet tentang pelarangan "setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan dan mengembangkan paham atau ajaran Komunisme", pokoknya siapa pun yang mengkritiknya berarti PKI. Masa bodoh bahwa pasal itu menyebabkan kegiatan-kegiatan intelektual yang menyentuh topik PKI dilarang atau digeruduk milisi sipil, pokoknya yang mengkritik pasal-pasal di Tap MPRS itu otomatis PKI.
Mau membela kemerdekaan berdiskusi, mau mendukung hak apresiasi karya seni film, asal di diskusi atau di film itu PKI atau komunis disebut-sebut, itu tak ada bedanya dengan penyebaran formulir cuma-cuma bagi keanggotaan PKI baru di bawah tokoh gaib Wahyu Setiaji.
Demikian pula, mau ada problem besar yang diakui oleh para akademisi dan para ahli, dengan pemaksaan narasi tunggal dalam buku babon resmi sejarah Indonesia tentang sejarah PKI dan rentetan Peristiwa 1965-1966, bodo amat dengan itu. Intinya, jika ada kritik sedikit saja atas pihak yang menghujat PKI, mau hujatan itu valid atau dongeng belaka, sudah otomatis pengkritiknya ya PKI.
Pasti PKI. Siapa lagi? Tidak mungkin ada yang lain kan?
Sama sekali tidak tersisa ruang bagi siapa pun yang bukan pemuja PKI, bukan keturunan PKI, secara ideologis pun tidak sejalan dengan PKI, untuk mempertanyakan sisi-sisi yang secara logika dan secara kemanusiaan tidak adil di dalam kebijakan terhadap PKI, terhadap mantan anggota PKI, terhadap mantan anggota organisasi-organisasi yang dianggap dekat dengan PKI, berikut terhadap anak-cucu mereka yang otomatis diyakini membawa DNA PKI. Pertanyaan-pertanyaan yang menggugat aturan anti-PKI tidak punya kemungkinan lain, selain dilontarkan cuma oleh PKI.
"Siapa lagi kalau bukan PKI?" begitu Pak Mantan Jagabaya bertanya, sekaligus berfatwa. Mudah sekali. Simpel sekali. Gamblang sekali. Sangat memanjakan otak, dan membuat kita tak perlu lelah-lelah berpikir lagi.
***
"You are either with us or against us!" Begitu sabda George W. Bush saat ia berorasi tentang perang melawan terorisme. Dia pun memberikan pilihan gampang dan tanpa beban, sebagaimana warga Desa Nguntalsari: tahu, atau tempe. Tidak ada bakwan, klepon, risol, atau pisang goreng.
Maka, siapa pun yang tidak bergabung dengan Bush dalam perang melawan apa yang ia sebut terorisme, atau perang melawan pihak mana pun yang ia tuding sebagai pelaku terorisme, sama dan sebangun dengan teroris itu sendiri.
"Tuntutan pengusutan kejahatan perang Amerika di Afganistan selepas kejadian Serangan 9/11, siapa lagi itu kalau bukan dari teroris? Orang-orang yang mengkritik Amerika karena penyerbuan ke negara-negara Timur Tengah dalam perang melawan terorisme, siapa lagi kalau bukan teroris?"
Rasanya, saya mendengar suara Pak Mantan Jagabaya muncul lagi, dengan redaksi kalimat yang disesuaikan untuk konteks Amerika. Amat simpel. Amat sederhana. Amat manis. Siapa pun yang tidak menyepakati penyerbuan oleh Amerika kepada negara-negara yang ia musuhi, sudah pasti tergolong teroris.
Kemudahan dalam berpikir seperti ini ternyata belakangan juga kita adopsi dengan kegembiraan luar biasa, mirip ajaran luhur Pak Mantan Jagabaya. Siapa pun yang mengkritik sikap sebuah partai Islam, maka dia pembenci Islam. Siapa pun yang tidak bersepakat dengan pembungkaman atas wacana khilafah, otomatis dia anti-Pancasila. Siapa pun yang tidak setuju dengan tindakan-tindakan rezim penguasa, otomatis dia membenci negara, dan karena itu dia harus meninggalkan Indonesia.
Hahaha. Gampang sekali. Simpel sekali. Sederhana sekali. Rumus-rumus kehidupan yang membuat kita tidak perlu repot-repot memakai otak lagi.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)