Pendidikan Kebencanaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Pendidikan Kebencanaan

Senin, 01 Okt 2018 11:00 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Kita semua tidak suka pada kenyataan ini. Tapi, suka atau tidak kita harus menerimanya sebagai kenyataan. Negeri kita ini rawan bencana. Karena itu, kita harus bersiap untuk menghadapinya. Ada bencana yang bisa diramalkan kedatangannya, ada yang tidak. Persiapan menghadapi bencana akan menentukan apakah kita akan selamat atau tidak. Dalam jangka panjang persiapan menghadapi bencana itu berupa pendidikan kebencanaan.

Perilaku orang saat terjadi bencana menunjukkan bahwa sebagai bangsa kita tidak siap menghadapi bencana. Pemerintah tidak siap, rakyat juga tidak siap. Dari generasi ke generasi kita mengalami banyak jenis bencana, tapi kita tidak mendapat pendidikan yang layak soal kebencanaan.

Saat terjadi gempa ringan di gedung kantor tempat saya bekerja, misalnya, segera timbul kepanikan. Orang tidak bertindak mengikuti prosedur keselamatan. Saat diminta keluar dari gedung, masih sangat banyak yang turun dengan lift, padahal itu dilarang. Saat terjadi tsunami, masih banyak orang yang berdiri di dekat pantai, menonton dan mengambil gambar, bukan lari mencari tempat aman. Sikap-sikap semacam ini merupakan indikasi bahwa banyak orang yang tidak cukup terdidik dan terlatih dalam menghadapi bencana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kelalaian ini harus segera dihentikan. Pendidikan kebencanaan harus dimasukkan ke kurikulum pendidikan kita. Hal penting pertama yang harus jadi materi pendidikan adalah kesadaran atas kenyataan bahwa kita memang hidup di daerah rawan bencana. Harus ada penyadaran bahwa bencana terjadi karena kondisi daerah yang kita tempati memang rawan. Kita berada di Cincin Api, daerah yang selalu kena gempa, juga letusan gunung berapi. Secara geografis memang begitulah kenyataannya.

Kesadaran itu akan membangun sikap dasar, bahwa bencana itu terjadi karena kondisi alam, bukan faktor lain. Bukan, misalnya, sebagai akibat kemarahan Tuhan. Salah dalam cara berpikir soal bencana akan menyebabkan kita salah dalam membuat persiapan.

Setiap daerah menghadapi ancaman bencana yang berbeda. Selain pengetahuan yang bersifat umum, para pelajar perlu dididik untuk mengenali potensi bencana di daerah tempat mereka tinggal. Sepanjang garis pantai selatan Jawa dan Sumatera adalah daerah rawan gempa. Demikian pula wilayah Indonesia bagian timur. Dengan demikian gempa adalah bencana utama yang harus dikenali. Beberapa daerah berada di dekat gunung berapi. Pola bencana yang ditimbulkannya khas, berbeda dengan gempa bumi.

Ada pula daerah yang rawan banjir, tanah longsor, angin topan, dan sebagainya. Semua perlu dikenali dan disikapi dengan cara yang khas sesuai potensi ancamannya. Karena itu pelajar perlu dididik untuk mengenal potensi bencana khas daerah mereka masing-masing.

Itu kemudian diikuti dengan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan tentang bagaimana bersikap saat terjadi bencana. Sikap adalah keterampilan. Basisnya bukan pengetahuan yang diajarkan secara verbal di kelas. Keterampilan dihasilkan dari latihan berulang. Pelajar harus dilatih mencari tempat perlindungan saat serangan bencana terjadi. Mereka harus bertindak tepat agar selamat. Tanpa pengetahuan dan keterampilan, mereka akan bersikap keliru yang membahayakan diri.

Itulah yang terjadi selama ini. Pendidikan kita berpusat pada aktivitas mengajarkan pengetahuan, minim dalam pembentukan sikap. Selama ini banyak orang yang sudah tahu soal bencana yang ia hadapi, tapi tidak bersikap sesuai. Bahkan saat mendapat peringatan dalam kejadian bencana pun mereka tetap tidak mengubah sikap.

Yang tak kalah penting adalah persiapan dan sikap untuk menghadapi keadaan pascabencana. Ketika bencana terjadi, semua berubah total. Bahan makanan yang biasanya berlimpah ruah, jadi sirna dan sulit didapat. Jalur-jalur pemasokan barang terputus. Dalam keadaan tidak ada barang, berapa pun uang yang kita punya jadi tidak berguna. Apalagi uang yang tersimpan di rekening bank, yang otomatis terputus dari jangkauan kita.

Sikap apa yang penting untuk keadaan itu? Dalam standarnya, kita harus menyediakan bahan pangan untuk keperluan darurat. Tapi, adakah itu dipraktikkan di daerah-daerah rawan bencana? Tidak. Situasinya sama seperti saat terjadi bencana tadi. Orang tahu, tapi tidak mewujudkan pengetahuan itu dalam sikap.

Ancaman berikut setelah ancaman bencana utama adalah ketiadaan bahan dalam kondisi darurat, terutama bahan pangan. Korban bencana langsung berhadapan dengan ancaman kelaparan dan kekurangan air minum. Itu akibat tiadanya persiapan, yang merupakan akibat lanjutan dari tiadanya pendidikan kebencanaan.

Sadar bencana dan potensinya akan berpengaruh ke pola pikir yang efeknya tidak hanya pada pribadi. Saat kelak mereka belajar merancang bangunan, mereka akan terpikir soal aspek antisipasi bencana. Saat belajar membangun kota, hal itu ikut dipikirkan. Saat merumuskan kebijakan, hal itu menjadi bagian yang dipertimbangkan. Kita harus mendidik generasi yang berbeda dengan generasi kita, yang nyaris buta dan tuli terhadap ancaman dan kenyataan bencana.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads