Cita-cita Hebat Telkom
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Cita-cita Hebat Telkom

Senin, 15 Agu 2005 13:02 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Ingin menjadi international carrier, ingin meningkatkan kapitalisasi saham sampai 3 kali lipat. Cita-cita PT Telkom sungguh mulia. Cuma sayangnya BUMN yang dari luar kelihatan kokoh perkasa ini sebenarnya keropos di dalam. Kalau dibiarkan nasibnya bisa seperti banyak BUMN lain - merugi, dan menjadi beban masyarakat saja.Saat ini di Indonesia tak ada perusahaan yang prestasinya lebih hebat ketimbang Telkom. Untungnya paling gede. Kapitalisasi pasarnya tinggi (US$ 11 miliar, mengalahkan tak hanya perusahaan lokal semacam Astra International dan Gudang Garam tetapi juga perusahaan telkomunikasi internasional seperti Korea Telecom dan Telekom Malaysia). Oleh majalah bisnis terkemuka Amerika, Business Week, ia ditetapkan sebagai salah satu perusahaan IT terbaik di dunia tahun 2004 --peringkat ke 20.Tidak ada yang bisa membantah fakta-fakta hebat di atas. Cuma fakta-fakta tersebut belum bercerita seutuhnya. Sebab Telkom yang tampil di situ bukan Telkom asli melainkan Telkom plus, Telkom gabungan, yaitu Telkom setelah dikonsolidasikan dengan anak-anak perusahaannya. Kalau konsolidasian tersebut diurai, akan kelihatan betapa sebenarnya BUMN ini menyimpan problem, problem yang terpoles lenyap berkat prestasi salah satu anak perusahaan terbesarnya, Telkomsel. Menurut laporan keuangan yang baru saja diterbitkannya, pada 6 bulan pertama tahun lalu (2004) Telkom mencatat pendapatan telepon tidak bergerak (bisnis utamanya) Rp 5,43 triliun. Pada 6 bulan pertama tahun ini (2005): Rp 5,47 triliun, atau nyaris tidak ada pertambahan sama sekali. Pendapatan selular, yang merupakan hasil karya Telkomsel, sementara itu, naik dari Rp 4,96 triliun menjadi Rp 6,41 triliun. Lalu laba. Segmen bisnis sambungan tidak bergerak (kegiatan utama sang induk) mengalami penurunan laba usaha, dari Rp 3 triliun lebih menjadi Rp 2,6 triliun. Sementara itu segmen bisnis seluler (Telkomsel) laba usahanya meroket dari Rp 3,6 triliun menjadi Rp 5,3 triliun.Di Indonesia Anda tidak bisa punya perusahaan yang pendapatan usahanya stagnan. Perusahaan Anda ada diambang kematian kalau itu terjadi. Mengapa? Karena di Indonesia biaya-biaya bisa dipastikan selalu akan naik --karyawan setiap tahun selalu minta tambah gaji, inflasi selalu tinggi, PHK hampir tidak mungkin dilakukan, dan sebagainya. Perusahaan yang tidak bisa menaikkan penjualan labanya, akan terus menciut dan akhirnya mati. Kalau Telkom tidak segera dibenahi bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan hal tersebut akan menimpanya.Sebenarnya sangat janggal bahwa Telkom sampai harus menghadapi masalah seperti itu. Telekomunikasi, akibat perkembangan teknologi, adalah bisnis yang sedang boom. Peluang-peluang baru muncul tanpa henti. Telkom dengan dominasinya di bisnis telekomunikasi Indonesia bisa sangat leluasa memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut. Ia pun sudah memiliki lisensi sangat lengkap, paling lengkap di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Dengan lisensi-lisensinya itu --misalnya lisensi untuk telepon tidak bergerak termasuk fixed wireless, SLJJ dan SLI; selular baik GSM maupun 3G (melalui Telkomsel); multimedia (TV Kabel) dan konten; Internet; VOIP (voice over internet protocol), bahkan juga pengelolaan satelit-- ia bisa (dan sudah) memasuki bisnis telekomunikasi apa pun yang ia mau.Tetapi kenapa hasilnya tidak ada? Karena alih-alih merengkuh peluang-peluang baru dengan sepenuh hati, Telkom memilih memijakkan kakinya di masa lalu. Bukannya mengikuti perkembangan zaman, Telkom malah mati-matian berusaha --melalui lobi, melalui kelakuan monopolistis-- agar perkembangan berhenti dan ia bisa terus hidup nyaman di dunianya yang semakin ketinggalan.Akibatnya kecuali di selular, kisah Telkom lebih banyak diwarnai kegagalan. Meski ia bisa menjadi market leader di beberapa bidang baru tetapi karena posisi itu dicapai dengan memainkan kekuatan sebagai monopolis Telkom cuma menjadi leader di pasar yang tidak berkembang, di pasar yang dibuatnya kerdil. Yang rugi bukan cuma Telkom tetapi juga masyarakat Indonesia yang harus puas dengan layanan telekomunikasi yang mahal, tidak selalu tersedia, dan kualitasnya rendah.Contoh di mana Telkom gagal walaupun menjadi pemimpin pasar di bidang baru adalah internet. Telkom telah menjadi penyelenggara internet terbesar di Indonesia melalui Telkomnet Instan (dial up) dan Speedy (pita lebar berbasis ADSL). Tapi ini bisa terjadi karena medan permainan yang tak adil. Sebagai pemilik sambungan akhir ke rumah-rumah dan backbone antar kota, Telkom bisa mempersulit para pesaingnya. Akibatnya harga koneksi internet di Indonesia menjadi sangat mahal, salah satu yang termahal di dunia. Konsumen rugi dan pasar tidak berkembang sama sekali. Jadinya penetrasi internet di Indonesia sangat rendah. Di Cina, misalnya, saat ini ada lebih dari 40 juta pelanggan layanan pita lebar ADSL (dari sekitar 200 juta pelanggan telepon tidak bergerak). Di Indonesia baru sekitar 20,000 (dari sekitar 10 juta pelanggan telepon tetap). Di Cina harga ADSL unlimited (tanpa batas) tidak sampai Rp 300,000 per bulan. Di Indonesia layanan setara harganya Rp 3 juta (Rp 300,000 cuma mendapatkan 500 Mega Byte per bulan).Telkom tentu saja rugi dengan rendahnya penetrasi ADSL itu. Pendapatan internetnya tidak berkembang. Total (dial up, ADSL, dan layanan lain) selama 6 bulan 2005: Rp 442 miliar. Bayangkan kalau dia menurunkan tarif menjadi sama seperti di Cina (Rp 300,000 unlimited) dan mendapatkan penetrasi yang sama pula (20% total pelanggan telepon tidak bergerak, jadi sekitar 2 juta) per bulan pendapatannya dari ADSL saja sudah Rp 600 miliar. Per bulan: RP 3,6 triliun, belum termasuk dari dial up dan layanan lain! Anda bisa bayangkan betapa besar kesempatan yang dibuang percuma oleh Telkom.Yang lebih sulit dipahami adalah bahkan dalam bisnis aslinya, sambungan tidak bergerak, Telkom pun ketinggalan jauh dibanding perusahaan sejenis dari luar negeri. Penetrasi telepon di Indonesia, Anda pasti tahu, rendah sekali dan tidak juga beranjak membaik. Lihat data-data berikut ini (diambil dari Bisnis Indonesia 27 Juni berdasarkan data dari International Telecommunication Union).Pada 1998 penetrasi telepon tidak bergerak di Indonesia mencapai 2,73% dari total penduduk, lebih bagus ketimbang India (2,2%) dan Vietnam (2,25%). Tapi kini kita kalah. Pada 2003 penetrasi telepon tetap Indonesia 3,94% sementara India dan Vietnam sudah menjadi 4,63% dan 5,41%. Padahal India dan Vietnam secara ekonomi masih jauh di bawah Indonesia (PDB per kapita mereka cuma sekitar 60% Indonesia). Dibandingkan dengan Cina kita tak ada apa-apanya (penetrasi telepon tetap: naik dari 6,96% menjadi 20,9%). Sama seperti dalam kasus internet, salah satu faktor penghabat perkembangan penetrasi telepon tidak bergerak adalah harga/tarif yang mahal. Kalau di luar negeri tarif telepon lokal sudah lama menjadi murah (bahkan gratis, jadi pelanggan cukup membayar biaya abonemen) di Indonesia oleh Telkom terus dinaikkan. Tarif sambungan jarak jauh dan internasional (SLJJ dan SLI) yang terus turun itu pun sebenarnya masih sangat tinggi. Akibatnya, pendapatan Telkom dari SLJJ terus turun. Orang semakin enggan menggunakan SLJJ Telkom karena adanya alternatif (SMS, email). Saat ini konsumen bahkan lebih suka melakukan pembicaraan antarkota menggunakan telepon bergerak (yang tarifnya tetap untuk pembicaraan ke seluruh Indonesia, sekitar RP 1,500 per menit) ketimbang telepon tetap (Jakarta-Surabaya pada jam sibuk masih sekitar Rp 2,000).Kegagalan juga terjadi di bisnis komunikasi data. Semua orang (perusahaan) yang pernah mencoba menyewa jaringan data pasti merasakan betapa sulit (proses lama dan sering tidak tersedia) serta mahalnya (kalau tersedia) menyewa jaringan data dari Telkom. Dibandingkan dengan tarif di luar negeri tarif leased line Telkom bisa puluhan kali lebih mahal. Karena itu akhirnya banyak perusahaan memilih menggunakan VSAT, memanfaatkan teknologi wireless atau menyewa jaringan dari pihak lain yang kebetulan memilikinya (Kabelvision, Excelcom, dan PLN/Icon+). Pendapatan Telkom dari bidang ini pun jadi kecil sekali dan mengerut (Rp 118 juta pada 6 bulan pertama 2004 menjadi Rp 98 miliar pada 6 bulan pertama 2005).Kalau di bisnis-bisnis yang dia seharusnya mendominasi saja Telkom tidak berhasil, jangan dikatakan lagi di bisnis yang dari semula ia harus bersaing bebas. Misalnya, multimedia. Berapa pelanggan saluran kabel TV berlangganan Telkom (Telkom Vision)? 10,000? Mungkin. Mungkin juga kurang. Pokoknya tidak berarti karena sama sekali tidak disebutkan di laporan keuangannya. Pemain nomor satu di Indonesia, Kabelvision, punya pelanggan sekitar 200,000. Di India pelanggan kabel TV sudah mencapai 50 juta.Sangat jelas bahwa Telkom tidak bisa terus menerus mempertahankan bisnis modelnya saat ini (yang bertumpu pada voice). Penambahan jumlah pelanggan yang diperoleh dari layanan fixed wireless Flexy tidak akan membantu. Tahun ini, berkat Flexy, Telkom mungkin menambah lebih dari 2 juga pelanggan baru. Toh hasilnya tidak kelihatan: pendapatannya seperti sudah dikemukakan di depan tetap stagnan.Telkom harus berani meninggalkan mentalitasnya saat ini (main kasar sebagai monopolis) serta mengganti bisnis modelnya. Tinggalkan masa lalu, rengkuh masa depan. Secara agresif. Dan masa depan itu berarti: komunikasi data, internet, serta multimedia. Voice, di zaman internet ini, hanyalah layanan nilai tambah seperti halnya email dan game online, bukan layanan dasar.Saya kira manajemen Telkom tahu betul apa yang harus dilakukan sebagai implementasi bisnis model baru yang berorientasi data, internet dan multimedia tersebut. Pertama, Telkom harus serius mengembangkan backbone komunikasi Indonesia serta interkoneksi ke luar negeri. Kabel-kabel optik baru harus dia gelar sepanjang Indonesia karena sekarang ini yang dimilikinya masih sangat kurang. Setalah kapasitasnya menjadi besar, harga (SLJJ dan SLI untuk layanan voice serta tarif koneksi internet dan komunikasi data) diturunkan sehingga pasar menjadi besar.Sebagai contoh, dengan menetapkan tarif SLJJ (dan SLI) begitu mahal Telkom membuat pasar menjadi kecil. Kecuali perusahaan dan orang-orang kaya, siapa di Indonesia yang berani menelepon jarak jauh secara rutin? Tidak ada. Padahal kalau tarif SLJJ turun menjadi Rp 500 saja (sama untuk seluruh Indonesia) pasar akan meledak besar-besaran. Keluarga yang ditinggal di Indonesia akan rajin menelepon anggotanya yang jadi TKI di luar negeri. Mbak-mbak pembantu rumah tangga di Jakarta bakal rajin mengontak orangtuanya di desa.Kemudian, kalau sirkuit sewa untuk komunikasi data menjadi murah perusahaan akan ramai-ramai menyewanya. Mereka akan rajin membuat wide area network yang menghubungkan kantor-kantor cabang dengan kantor pusat. Bukan cuma perusahaan besar tapi juga perusahaan menengah. Para penyelenggara Jasa Internet (PJI) bakal ramai-ramai menyewanya. Telkom untung, perusahaan-perusahaan Indonesia maju dan masyarakat semakin makmur.Berikutnya, Telkom perlu segera membangun secara besar-besaran jaringan ADSLnya. Layanan internet pita lebar itu pada akhirnya harus tersedia di seluruh Indonesia dengan harga terjangkau (Rp 300,000 unlimited) karena layanan ini seperti terbukti di banyak negara lain telah menjadi sumber pendapatan utama baru operator telekomunikasi. Tak perlu takut layanan pita lebar itu akan dimanfaatkan untuk voice over IP oleh penggunanya karena hal ini tidak bisa dihindari. Lagi pula, kalaupun pendapatan dari suara turun sebagai akibatnya, pendapatan baru dari langganan ADSL lebih dari cukup untuk mengkompensasinya.Kalau Telkom tidak segera mengembangkan ADSL, segera ia akan terlindas oleh teknologi-teknologi pita lebar baru yang bakal mem-bypass jaringannya. Misalnya, teknologi nirkabel WiMax dan 3G. Akibatnya, bukan saja dia akan kehilangan kesempatan mendapatkan sumber pendapatan baru yang sangat potensial (ADSL) tetapi tetap akan kehilangan pendapatan dari suara (Wimax pun bisa dipakai untuk VoIP).Ketiga, dalam pengembangan jaringan last mile (ke rumah-rumah) Telkom harus berhitung betul bentuk jaringan seperti apa yang paling menguntungkan. Apakah fixed wireless seperti yang sekarang rajin dilakukannya, apakah tetap fixed line seperti sekarang ini atau sekalian saluran kabel TV. Yang penting adalah, jaringan ke rumah-rumah tersebut nantinya harus bisa dipakai untuk multilayanan, bukan cuma suara. Paling sedikit suara dan internet tetapi bisa juga suara, internet plus multimedia/TV (entah IPTV entah TV kabel).Dari berita-berita yang muncul di media masa, kelihatannya direktur utama Telkom saat ini, Arwin Rasyid, sadar akan kebutuhan untuk berubah itu. Ia misalnya, pernah mengatakan bahwa watak monopoli Telkom akan ditinggalkan. Ia pun menjanjikan tarif ADSL (Speedy) akan diturunkan dalam 3 bulan. Tentu ini berita bagus.Hanya saja mengubah orientasi organisasi yang karakternya sudah lama terbentuk seperti Telkom tentu saja tidak mudah. Naluri pegawainya sebagai bagian dari lembaga monopolis tidak bakal hilang hanya oleh keinginan pemimpin yang baru. Karena itu direksi yang sekarang harus rajin melakukan kampanye internal. Harus rajin berdialog dengan puluhan ribu karyawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika tidak, keinginannya hanya akan berhenti sebatas pada keinginan saja, tanpa hasil.Tetapi kalau ia berhasil mengubah watak Telkom, kalau ia bisa membuat gajah gendut itu menari mengikuti irama yang ditentukannya, sangat mungkin ia akan tercatat sebagai salah satu manajer bisnis terhebat Indonesia. Bukan saja Telkom akan menjadi besar dan kapitalisasinya naik 300% dalam 5 tahun seperti diharapkannya, masyarakat Indonesia pun, yang mendapatkan layanan telekomunikasi murah dan berkualitas, bakal sangat berterima kasih kepadanya. (/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads