"Melawan" dengan Tagar 'Crazy Rich Surabayan'
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Melawan" dengan Tagar 'Crazy Rich Surabayan'

Jumat, 21 Sep 2018 16:02 WIB
Murdianto An Nawie
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Mindra Purnomo/Infografis
Jakarta -

Twitter diramaikan dengan tagar 'Crazy Rich Surabayan' beberapa hari yang lalu. Barangkali guyon terhadap gaya hidup dan perilaku orang tajir Surabaya bisa ditafsirkan sebagai lucu-lucuan semata, namun ada yang lebih dari itu semua. Kita mencermati ada semacam semangat tersembunyi dalam #CrazyRichSurabayan yakni perlawanan kelompok sosial tertentu secara tersembunyi. Warganet yang mayoritas kaum muda kelas menengah dan (sedang terancam turun kelas), rupanya sedang menetralisasi rasa sakit dan ingin membangun perlawanan tersembunyi terhadap kesenjangan sosial yang ada dengan status guyonan dan lucu-lucuan pada dinding media sosialnya.

Praktek perlawanan kelompok sosial ibarat oposisi seorang editor surat kabar yang bekerja di bawah sensor yang ketat dari atasannya. Posisinya yang lemah membuat kelompok sosial harus berlaku sedemikian rupa sehingga ia tetap bisa menyampaikan pesan yang dikehendakinya tanpa terlihat menantang norma yang hidup di masyarakat. Dibutuhkan upaya uji coba tanpa henti dan kreativitas menggunakan semua celah untuk mengekspresikan misi dan perlawanannya atas situasi sosial yang sedang terjadi.

Saat suara kelompok sosial tertentu, dianggap menyinggung kelompok sosial lain dan dapat dinilai sebagai tindakan melawan norma, mengguncang stabilitas dan kenyamanan sosial, maka muncul apa yang disebut sebagai perlawanan tersembunyi. James C Scott dalam buku yang telah klasik yakni Weapon of Weak (1985) telah menggambarkan apa yang disebut sebagai 'perlawanan tersembunyi'. Setidaknya ada tiga bentuk perlawanan tersembunyi tersebut yakni anonimitas (anonymity), penghalusan ungkapan (euphemism), dan kadang berupa perlaku menggerutu (grumbling).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam era informasi digital saat ini, anonimitas muncul sangat nyata dalam bentuk penyamaran profil pelaku perlawanan di balik identitas lain atau bahkan disembunyikan sepenuhnya dengan apa yang sebut sebagai akun anonim. Bentuk ini ibarat orang yang menembak musuh dari persembunyian. Menyembunyikan jatidiri ini adalah langkah dari kelompok sosial marginal yang seringkali menyembunyikan suara hatinya yang sesungguhnya karena takut terhadap pembalasan kelompok dominan, namun mereka mencari celah untuk tetap bersuara sambil menyembunyikan dirinya.

Kelompok marginal memiliki cara yang cukup beragam untuk menyembunyikan identitas dirinya sambil pada saat yang sama tetap bersuara kritis. Teknik-teknik yang biasa dilakukan adalah membuat gosip, melakukan serangan hacker melalui dunia maya atau bahkan menggunakan jasa paranormal, sampai membuat rumor yang terkadang jatuh pada penyebaran hoax.

Anonimitas pelaku melalui dunia digital dan internet pada saat ini akan mudah mendapatkan balasan, selain karena mudah dilacak, pelaku biasanya melakukan perlawanan terlalu agresif sehingga mudah untuk ditemukan. Namun, ada cara lain penghalusan kata (baca: plesetan) semacam viral #CrazyRichSurabayan. Jika yang pertama yang disamarkan adalah messenger atau pemberi pesannya, maka yang kedua ini yang disamarkan adalah message-nya (pesan). Jika anonimitas bisa berupa perlawanan vulgar, maka eufemisme menunjukkan perlawanan dengan "kehalusan" bahasa.

Bentuk ketiga perlawanan kelompok marginal adalah gerundelan (grumbling). Kita barangkali sudah teramat terbiasa mendengar gerundelan pada komunitas para pekerja di ruang pekerjaannya. Gerundelan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk dari komplain terselubung. Seringkali, tujuan di balik gerundelan adalah untuk mengkomunikasikan ketidakpuasan tanpa harus melakukannya secara terbuka dan spesifik. Ia mungkin sangat jelas bagi pendengarnya jika dilihat dalam satu konteks tertentu, namun melalui gerundelan, pelaku menghindari suatu insiden dan jika ditekan, dia bisa mengingkari tujuan gerundelannya.

Barangkali ada yang menganggap ekspresi perlawanan tersembunyi ini bukan sebagai perlawanan yang sesungguhnya. Memang, perlawanan ala "tagar-tagaran" semacam #CrazyRichSurabayan ini bisa jadi belum memenuhi persyaratan perlawanan yang bersifat organik, sistematik, memiliki prinsip dan tidak mementingkan diri sendiri, dan tak berdampak pada suatu tindakan berkonsekuensi revolusioner. Namun, justru karena warganet dengan tagar ini bergerak tak terkoordinasi, perlawanan ini justru memiliki kelenturan dan ketahanan diri. Di sinilah letak keunggulan perlawanan tersembunyi ini.

Barangkali warganet dengan tagarnya tidak dapat memusnahkan kesenjangan sosial yang mereka hadapi. Namun, kenyinyiran warganet ini dapat menghabiskan tenaga kelompok lain yang dikritiknya. Warganet yang sedang bergerak dengan #CrazyRichSurabayan barangkali tidak akan dapat mengubah kesenjangan sosial yang nyata di hadapan mereka. Namun, dengan itu mereka akan dapat bertahan hidup dengan tersenyum dalam sistem yang tak adil tersebut.

Bisa jadi pula upaya-upaya mereka yang terus-menerus untuk memberi kritik terhadap gaya hidup kaum tajir mungkin tidak membawa hasil yang memuaskan. Tapi, bisa jadi mereka bisa mengurangi rasa sakit mereka dalam hidup serba terbatas, mereorganisasi batas-batas dominasi kelas atas, bahkan bisa mengubah perilaku kelompok sosial elite, dan bahkan arah kebijakan kekuasaan.

Murdianto An Nawie mengajar di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads