Agenda Pencegahan Korupsi yang Tertunda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Agenda Pencegahan Korupsi yang Tertunda

Kamis, 20 Sep 2018 14:15 WIB
Fahrudin Ibnumuntholiby
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -

Dicabutnya larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg) dalam Peraturan KPU (PKPU) No. 20 tahun 2018 tentang pencalegan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota oleh Mahkamah Agung (MA) telah menyudahi perseteruan antara KPU dengan berbagai pihak. KPU sebelumnya mendasarkan bahwa penerbitan PKPU No. 20 tahun 2018 tersebut telah sah secara formal karena telah diundangkan dan melalui proses pembahasan yang cukup panjang.

Salah satu penyelenggara pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga ikut memberikan dasar argumentasi penolakan yaitu bahwa PKPU bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu. Implikasi dari penolakan tersebut adalah terdapat setidaknya 38 bakal caleg mantan narapidana korupsi yang diloloskan di sejumlah daerah dari berbagai macam partai politik.

Terdapat sejumlah argumentasi lain yang mendukung penolakan atas PKPU tersebut. Pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan putusan bahwa mantan narapidana boleh mencalonkan diri kembali dengan catatan harus mengumumkan kepada publik bahwa dirinya telah dipidana (bersyarat). Kedua, secara Konstitusi pembatasan hak hanya boleh dilakukan melalui undang-undang. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa "dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan oleh Undang-Undang." Sehingga, tidak dibenarkan pembatasan tersebut melalui peraturan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang PKPU tersebut? Pertama, KPU memahami idealnya pembatasan tersebut ada dalam undang-undang. Tapi, ketika disampaikan kepada pembuat undang-undang justru tidak ditanggapi secara serius. Kedua, KPU telah mendorong agar ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), tetapi upaya tersebut juga tidak membuahkan hasil. Ketiga, KPU pada akhirnya mencantumkan norma tersebut dalam PKPU yang didasarkan pada Pasal 249 ayat (3) Undang-Undang Pemilu yang menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan KPU." Inilah yang menjadi dasar kewenangan (delegasi) KPU untuk menerbitkan PKPU larangan mantan narapidana korupsi dalam tahap verifikasi pencalonan.

Secara teoritik, KPU adalah lembaga independen sehingga dia dapat mengatur dirinya sendiri (sel-regulatory organization). Kewenangan membuat peraturan dapat dilakukan sebagai pelengkap dari peraturan yang ada, ataupun dapat mengisi kekosongan atau ketidakjelasam aturan yang telah ada.

Apapun perdebatan yang terjadi pada akhirnya kita harus menghormati putusan MA yang mengabulkan uji materiil atas PKPU yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif. Di sisi lain sesungguhnya publik sangat mengapresiasi terhadap KPU yang telah membuat peraturan yang "progresif" untuk mencegah korupsi yang kian hari kian terlihat masif, dan tentu harapan pemberantasan korupsi itu tertunda dengan adanya putusan MA yang telah mencabut larangan tersebut.

Semakin Membesar

Survei oleh Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun oleh Transparency International Indonesia (TII) pada 2017 menunjukkan sebagian besar masyarakat mempersepsikan lembaga DPR sebagai peringkat pertama lembaga terkorup. Selain itu data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam rentang 2007-2018 KPK telah menangani kasus korupsi yang melibatkan 205 anggota DPR dan DPRD. Data tersebut belum termasuk data korupsi anggota DPR dan DPRD yang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Apalagi baru-baru ini terungkap tsunami korupsi yang dilakukan oleh 41 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur.

Realitas tersebut menunjukkan bahwa korupsi di tubuh wakil rakyat tidak kunjung berhenti dan semakin hari semakin membesar. Korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari proses awal pencalonan. Mahalnya cost politic dan masifnya money politic menjadi salah satu penyebab wakil rakyat berlomba-lomba untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam proses pencalonannya. Di poin inilah partai politik mempunyai peran penting dan strategis untuk melakukan seleksi kelayakan terhadap anggotanya yang akan dicalonkan sebagai calon legislatif baik ditingkat pusat dan daerah. Jika partai politik gagal dalam tahap ini, maka secara otomatis akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang korup.

Ada atau tidaknya PKPU yang melarang mantan narapidana korupsi ikut kembali menjadi calon legislatif, partai politik seharusnya tetap pada posisi (standing position) untuk melakukan seleksi secara ketat terhadap anggotanya yang akan dicalonkan sebagai wakil rakyat. Salah satunya dilihat dari rekam jejak dalam hal pernah atau tidak melakukan korupsi. Bukan hanya dilihat dari elektabilitas dan modal yang dimiliki. Dari situlah publik dapat melihat partai politik memiliki niat ataukah tidak dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sehingga, demokrasi dilihat bukan dalam maknanya yang formal tetapi dalam maknanya yang substansial. Yaitu, menghasilkan wakil-wakil rakyat yang memiliki integritas dan sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan golongan.

Sayangnya, partai politik kita hari ini sebagian besar permisif dengan kondisi ini. Berbagai macam argumentasi disampaikan mulai dari soal pelanggaran hak asasi manusia sampai soal rasionalisasi hukuman yang telah dijalani oleh narapidana sehingga patut untuk kembali diberikan kesempatan.

Masih Ada Upaya

Kita tidak boleh terlalu lama dirundung kesedihan atas putusan MA tersebut. Masih ada banyak upaya lain yang dapat dilakukan agar agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi tetap berjalan secara efektif. Pertama, mengoptimalkan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh korporasi, salah satunya partai politik. Partai politik yang diduga mendapatkan aliran dana hasil korupsi yang dilakukan oleh DPR dan DPRD harus diberikan sanksi secara tegas. Misalnya, dengan mencabut haknya untuk ikut terlibat dalam kontestasi pemilu di tahun berikutnya. Apalagi MA telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No. 13 tahun 2016 tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi.

Kedua, memberlakukan perampasan atau pengembalian aset (asset recovery) yang telah dikorupsi kepada negara, termasuk melakukan pemiskinan terhadap koruptor. Dan, ketiga adalah mengoptimalkan penggunaan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, "Dalam hal pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan kepada pelaku apabila tindak pidana tersebut salah satunya dilakukan sebagai pengulangan. Artinya, jika mantan narapidana korupsi kembali melakukan tindak pidananya, maka pidana mati dapat dijatuhkan.

M. Fahrudin A Koordinator Malang Corruption Watch dan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads