Praktik memoles data untuk agar dilihat bagus oleh publik sudah terjadi secara terus-menerus sehingga lupa untuk membuat kebijakan makro yang nyata dan fokus pada masalah. Pelemahan nilai tukar selama 4 tahun terakhir adalah pelemahan yang terjelek. Menurut Faisal Basri, rata-rata nilai tukar tahun ini adalah terburuk sepanjang sejarah nilai tukar selama ini.
Lalu, muncul kontroversi mendadak tanpa melihat proses yang terjadi sebelumnya. Kontroversi apakah Indonesia akan mengalami krisis seperti tahun 1998 sangat mengemuka sebagai diskusi publik. Yang satu menganggap bahwa nilai tukar sudah masuk ke kawah panas krisis seperti tahun 1998, sementara ekstrem pihak satunya menganggap ekonomi baik-baik saja dan krisis tidak akan terjadi. Tetapi, yang jelas di dalam kontroversi tersebut terus keluar kampanye make up dan pencitraan terus-menerus tanpa mau fokus ke permasalahan sebenarnya. Pelemahan nilai tukar yang dalam sekitar 60 persen selama 4 tahun terakhir ini adalah tanda bahwa kebijakan makro tidak prudent, tetapi karena pencitraan publik melihat kebijakan yang ada begitu prudent.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semestinya pelemahan nilai tukar tidak kurang dari 60 persen selama beberapa tahun tersebut secara otomatis dapat menahan laju impor sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan. Tetapi, apa yang terjadi, kedua neraca yang sangat penting tersebut jebol karena memang terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untuk menahan tekanan eksternal terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia. Ketika rupiah terpuruk ke puncak 15 ribu rupiah per dolar, maka make up yang dilakukan adalah faktor eksternal. Ekonomi Indonesia baik-baik saja. Anehnya, yang diterima publik betul-betul make up dan pencitraan tersebut.
Kita punya masalah akut yang tidak mampu diperbaiki dan tidak ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya selama ini, yakni defisit neraca berjalan. Inilah sesungguhnya penyakit struktural yang tidak diatasi dan tidak pernah dicoba untuk dikurangi "magnitude" defisitnya. Pemerintah membiarkan saja penyakit struktural ini terus berjala sembari melakukan make up dengan menyatakan bahwa pengelolaan makro ekonomi dilakukan secara sangat berhati-hati dan prudent. Padahal defisit neraca berjalan tahun lalu mencapai tidak kurang dari 17,3 miliar dolar AS dan tahun depan diperkirakan lebih dari 24 miliar dolar AS jika kebijakan ekonomi dilakukan secara enteng seperti sekarang (as usual).
Penyakit struktural selain defisit neraca jasa sudah menjangkiti neraca perdagangan dimana pada saat ini kita mengalami defisit perdagangan tidak kurang dari 3 miliar dolar. Jadi, penyakit struktural ini jangan dianggap enteng dengan mengatakan kebijakan makro ekonomi sudah dijalankan secara berhati-hati dan prudent. Selama indikator makro tersebut memburuk, maka seribu kata prudent dan berhati-hati tidak akan punya makna karena ekonomi akan terus memburuk. Tetapi, karena hebatnya penguasaan media dan media sosial, maka kebijakan yang ada dinilai sangat berhati-hati dan prudent.
Selain sektor luar negeri, sektor pemerintah juga mengalami masalah yang sama, yakni defisit primer anggaran APBN. Defisit ini artinya APBN kita untuk membiayai pengeluarannya sendiri tidak cukup, apalagi untuk membayar utang. Karena kedalaman defisit ini, maka pemerintah harus mencari utang untuk tidak hanya menutup utang itu sendiri, tetapi juga menutup defisit dirinya sendiri. Karena itu, utang yang harus dibayar bunga dan pokoknya semakin besar dari tahun ke tahun. Pembayaran bunga tidak bisa dihindari, tetapi pembayaran pokok diurai ke depan dan ditunda pembayarannya sehingga akan menjadi beban pada pemerintahan selanjutnya. Apakah dengan kondisi seperti ini bisa dikatakan prudent dan sangat berhati-hati? Ekonom yang jernih jelas akan mengatakan tidak. Tetapi, ekonom yang bisa berbohong dengan statistik pasti bisa menampilkan sisi lain seolah indikator kelihatan bagus.
Kesimpulan, Presiden terlihat belum menyadari bahwa ekonomi sakit, mungkin karena para menterinya menyodorkan data yang dipoles atau dilihat dari sisi khusus sehingga ekonomi tidak kelihatan sakit. Jika dilihat dari data di atas, maka Indonesia sebenarnya sekarang tengah mengalami penyakit kritis ganda empat bidang, yakni defisit neraca jasa, defisit neraca berjalan, defisit neraca perdagangan, dan sekaligus defisit primer APBN. Indikator kritis ini adalah tanda-tanda ekonomi Indonesia bisa dan bukan tidak mungkin masuk ke dalam jurang krisis. Jangan bermain dan bohong dengan statistik sebab itu buruk untuk mencari solusi kebijakan yang sesungguhnya. Lebih baik kita mengatakan sakit sehingga kita bisa mencari obatnya daripada mengatakan tidak sakit padahal sakit sehingga lupa mancari obatnya.
Didik J Rachbini ekonom senior Indef & Ketua Dewan Pengurus LP3ES
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini