Pasca diundangkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 14/2008 tentang Pencalonan Anggota DPD, dan PKPU Nomor 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, perdebatan di ranah hukum dan politik terus berlanjut. Para pendukung menghendaki semua pihak mematuhi dan melaksanaannya. Wujudnya, KPU dan jajaran telah menyatakan tidak memenuhi syarat pencalonan partai politik yang masih memasukkan mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba dari dalam daftar calon sementara.
Kelompok yang menolak PKPU mengajukan sengketa ke Bawaslu terkait pencoretan bakal calon legislatif. Pihak Bawaslu yang sejak awal menolak substansi pengaturan larangan tersebut menganulir PKPU a quo. Melalui sengketa ajudikasi di Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi, Bawaslu mengabulkan permohonan pemohon dan memerintahkan KPU untuk menerima pencalonan para mantan napi tersebut.
Bawaslu mendalilkan bahwa PKPU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Bawaslu juga berargumentasi bahwa putusan mereka dalam rangka menegakkan supremasi hukum pemilu meskipun mengabaikan PKPU 20/2018 dan PKPU 14/2018. Alhasil, seolah tak mau kalah KPU bersikukuh untuk tetap berpegang pada kedua PKPU tersebut. KPU kemudian mengeluarkan surat edaran bagi KPU daerah yang bersengketa ajudikasi untuk menunda (bukan tidak melaksanakan) terlebih dahulu pelaksanaan putusan Bawaslu sampai dengan keluarnya putusan uji materi di Mahkamah Agung (MA). Di lain pihak Bawaslu menyatakan jika KPU tidak melaksanakan putusan mereka, maka berdasarkan Pasal 15 huruf j UU Pemilu, KPU dapat dianggap telah melanggar UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seolah saling sandera akhirnya sikap kedua lembaga telah sampai pada titik kebuntuan. Bahkan bukan tidak mungkin berujung pada laporan dugaan pelanggaran etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Polemik demikian sebenarnya tidak perlu terjadi manakala semua pihak taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perdebatan tentang dugaan pertentangan norma PKPU dengan UU yang lebih tinggi haruslah diselesaikan melalui uji materi di MA. Sayangnya, pihak Bawaslu tidak meggunakan hak mereka utuk menjadi pemohon dalam uji materi PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu. Bawaslu berdalih bahwa mereka bukanlah pihak yang dirugikan, padahal dalam konteks uji materi tidak melulu harus ada kerugian langsung bagi Bawaslu. Dugaan adanya pertentangan norma sudah cukup untuk dijadikan dasar bagi Bawaslu dalam mengajukan uji materi.
Keengganan Bawaslu untuk uji materi justru diimplementasikan dalam bentuk melakukan penafsiran sendiri bahwa PKPU telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Buktinya Bawaslu tidak menjadikan PKPU sebagai pertimbangan dalam sengketa ajudikasi. Bawaslu seolah lupa dan abai dengan asas persumptio iustae causa atau vermoeden van rechtmatigheid yang intinya suatu keputusan/peraturan selalu dianggap sah sebelum ada keputusan baru yang membatalkan atau mencabutnya. Pembatalan dimaksud menurut UU hanya dapat dilakukan oleh MA.
Sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menguji PKPU, MA justru terjebak pada argumentasi formalistik. MA berdalih tidak dapat memutus permohonan uji materi PKPU oleh para mantan napi dikarenakan UU Pemilu yang menjadi batu uji sedang diuji di MA. Alih-alih menyelesaikan masalah, MA justru melakukan pembiaran atas ketidakpastian hukum yang terjadi.
Menerobos Kebuntuan
Atas sikap MA, terdapat beberapa hal yang harus dikritisi. Pertama, terkait batu uji, apakah batu uji yang digunakan pemohon semata-mata UU Pemilu? Jika iya, maka argumentasi MA dapat diterima. Namun, jika tidak, setidaknya MA maupun pemohon dapat menggunakan UU lain sebagai batu uji semisal UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, apakah MA memang harus menunggu proses uji materi UU Pemilu selesai di Mahkamah Konstitusi (MK)? Pasal 55 UU MK sebagai pijakan MA menyatakan bahwa: Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Persolannya adalah khusus dalam pengujian PKPU, Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu memberikan limitasi kepada MA memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima oleh MA. Pasal a quo menurut saya harus dipahami sebagai lex spesialis dari Pasal 55 UU MK. Dengan berdasar pada UU Pemilu, MA sebenarnya dapat mengabaikan Pasal 55 UU MK. Pada sisi lain, jika MA tidak memutus dalam kurun waktu dimaksud atau melewati batas waktu 30 hari sejak permohonan diterima, maka putusan MA dapat dianggap daluwarsa.
Apabila dikaitkan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat 3 UU Kekuasaan Kehakiman), maka tidak ada alasan bagi MA menunda-nunda memeriksa uji materi PKPU. Hal ini dipertegas melalui Pasal 4 (2) UU KK menyatakan: Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Persolannya adalah khusus dalam pengujian PKPU, Pasal 76 ayat (4) UU Pemilu memberikan limitasi kepada MA memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima oleh MA. Pasal a quo menurut saya harus dipahami sebagai lex spesialis dari Pasal 55 UU MK. Dengan berdasar pada UU Pemilu, MA sebenarnya dapat mengabaikan Pasal 55 UU MK. Pada sisi lain, jika MA tidak memutus dalam kurun waktu dimaksud atau melewati batas waktu 30 hari sejak permohonan diterima, maka putusan MA dapat dianggap daluwarsa.
Apabila dikaitkan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat 3 UU Kekuasaan Kehakiman), maka tidak ada alasan bagi MA menunda-nunda memeriksa uji materi PKPU. Hal ini dipertegas melalui Pasal 4 (2) UU KK menyatakan: Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Selain itu dalam ketentuan Pasal 55 UU MK, setidaknya terdapat 2 (dua) pandangan. Pertama, MA dapat saja menafsirkan bahwa sepanjang yang diuji di MK bukanlah pasal UU yang menjadi batu uji PKPU di MA, maka MA dapat melanjutkan pemeriksaan uji materi tanpa menunggu putusan MK. Kedua, MA tidak boleh melanjutkan uji materi PKPU sepanjang uji materi di MK dilakukan terhadap pasal UU yang menjadi batu uji di MA, dan apabila pasal UU yang diuji di MK patut diduga merupakan pasal jantung dari UU tersebut. Maksudnya, pasal yang jika dibatalkan dapat menggugurkan keberlakuan UU secara keseluruhan.
Dengan menggunakan anasir pertama, sangat dibutuhkan keberanian MA dalam menerobos kebuntuan hukum saat ini. Bukankah hakim wajib melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemanfaatan dan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan? Kalaupun kita hendak berandai-andai bahwa MA berani menerobos Pasal 55 UU MK dengan memeriksa uji materi PKPU tanpa menunggu putusan MK, maka setidaknya putusan tersebut telah menyelesaikan perdebatan antara KPU dan Bawaslu. Putusan demikian lebih baik dibandingkan tidak memutus sama sekali. Bagaimanakah implikasinya?
Pertama, putusan MA tentang uji materi PKPU berlaku dan mengikat sejak diputuskan. Artinya, KPU dan Bawaslu wajib melaksanakan. Kedua, kalaupun nanti ada pembatalan terhadap Pasal UU Pemilu yang menjadi batu uji di MK yang berimplikasi pada batalnya PKPU, maka putusan a quo tidak akan berlaku surut. Artinya, segala keputusan KPU dan Bawaslu yang didasarkan atas PKPU dan Putusan MA sebelumnya tetap berlaku.
Dengan menggunakan anasir pertama, sangat dibutuhkan keberanian MA dalam menerobos kebuntuan hukum saat ini. Bukankah hakim wajib melakukan penemuan hukum berdasarkan asas kemanfaatan dan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan? Kalaupun kita hendak berandai-andai bahwa MA berani menerobos Pasal 55 UU MK dengan memeriksa uji materi PKPU tanpa menunggu putusan MK, maka setidaknya putusan tersebut telah menyelesaikan perdebatan antara KPU dan Bawaslu. Putusan demikian lebih baik dibandingkan tidak memutus sama sekali. Bagaimanakah implikasinya?
Pertama, putusan MA tentang uji materi PKPU berlaku dan mengikat sejak diputuskan. Artinya, KPU dan Bawaslu wajib melaksanakan. Kedua, kalaupun nanti ada pembatalan terhadap Pasal UU Pemilu yang menjadi batu uji di MK yang berimplikasi pada batalnya PKPU, maka putusan a quo tidak akan berlaku surut. Artinya, segala keputusan KPU dan Bawaslu yang didasarkan atas PKPU dan Putusan MA sebelumnya tetap berlaku.
Pada akhirnya, andaikata MA masih saja tetap bertahan dan enggan memeriksa perkara uji materi PKPU sebelum uji materi UU-nya diputus oleh MK, maka terhadap silang pendapat KPU dan Bawaslu dapat diselesaikan melalui fatwa MA. Berdasarkan Pasal 22 (1) UU Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan. Fatwa MA setidaknya dapat menjadi solusi sementara menunggu keluarnya putusan uji materi PKPU. Fatwa MA diharapkan memberikan penyelesaian terhadap pelaksanaan putusan Bawaslu yang ditunda oleh KPU. Sebaliknya, juga memberikan kepastian terhadap desakan agar Bawaslu menunda sementara proses ajudikasi.
Jika semua pihak taat pada koridor hukum, maka KPU dan Bawaslu tinggal menyesuaikan putusan uji materi dengan keputusan masing-masing lembaga. Jika PKPU dinyatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tiggi, maka wajib hukumnya mencoret para mantan napi korupsi dengan tetap memberikan hak kepada partai untuk mengajukan pengganti. Sebaliknya, jika PKPU dibatalkan, maka KPU harus mencantumkan para bacaleg yang dicoret tersebut dalam Daftar Calon Tetap. Dengan demikian tahapan pemilu tetap dapat dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Charles Simabura dosen Hukum Tata Negara dan peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Saksikan juga video 'Margarito Sebut PKPU Harusnya Juga Batasi Pemfitnah untuk Nyaleg':
(mmu/mmu)
Charles Simabura dosen Hukum Tata Negara dan peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Saksikan juga video 'Margarito Sebut PKPU Harusnya Juga Batasi Pemfitnah untuk Nyaleg':












































