Eks Koruptor dan Ambiguitas KPU
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Eks Koruptor dan Ambiguitas KPU

Kamis, 13 Sep 2018 12:00 WIB
Agus Hilman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Eks Koruptor dan Ambiguitas KPU
Jakarta -

Ikhtiar KPU mewujudkan pemilu berkualitas dengan melarang eks koruptor menjadi calon legislatif benar-benar tidak berjalan mulus. Berhasil meyakinkan DPR dan pemerintah tidak serta merta pelarangan eks koruptor tanpa hambatan. Terhangat, pelarangan eks koruptor nyaleg melalui PKPU No.20/2018 tersebut menapaki jalan terjal setelah Bawaslu dan Panwaslu mengabulkan 11 gugatan caleg eks koruptor yang sebelumnya masuk daftar tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Bawaslu memutuskan mereka memenuhi syarat (MS). Konflik kelembagaan bisa mengemuka.

Terlepas dari dasar hukum masing-masing lembaga untuk tetap bertahan dalam keputusannya, polemik kelembagaan antara KPU dan Bawaslu untuk isu pelarangan eks koruptor ini sangat sehat dalam memperkuat diskursus kepemiluan. Tapi, KPU harus terus meyakinkan masyarakat bahwa kebijakannya melarang eks koruptor merupakan kebijakan yang benar, baik secara sosiologis maupun yuridis. Banyaknya politisi parlemen yang terlibat dalam praktik korupsi berjamaah dapat dijadikan oleh KPU sebagai momentum alasan pelarangan eks koruptor menjadi caleg.

Pada dasarnya, langkah KPU patut diapresiasi sebagai upaya menutup lubang-lubang anomali demokrasi elektoral yang melahirkan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang seakan membuka pandora mimpi lahirnya pemilu berkualitas. Sekalipun, tidak ada jaminan seorang caleg yang tidak pernah terlibat korupsi tidak akan melakukan tindakan korupsi saat menjadi anggota legislatif. Apalagi perilaku korupsi merupakan problem sistemik (Indriati, 2014:154). Tapi, langkah KPU patut diapresiasi.

Hanya sayangnya, KPU terkesan kurang total dan bertindak standar ganda. Berbanding terbalik dalam memperlakukan calon legislatif, KPU justru tidak tegas dalam menjaga institusinya sendiri dari peluang masuknya para mantan koruptor, mantan penjahat narkoba dan seksual. Dalam PKPU No.27 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No.7/2018 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, KPU tidak melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai anggota komisioner di KPU, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Tahun lalu, pada akhir masa jabatan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2012-2017 merilis jumlah aduan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu (KPU dan Pengawas) sepanjang lima tahun sejak 2012 sebanyak 2.578 aduan. Dari data tersebut, aduan terbanyak ada di kabupaten/kota. Pelanggaran kode etik cenderung meningkat di tahun pemilu dan pilpres dibandingkan dengan pada tahun pilkada.

Pelanggaran di kabupaten/kota juga mengalami peningkatan aduan. Dari 163 aduan pada 2012 melonjak hampir sepuluh kali lipat menjadi 1.376 aduan pelanggaran pada 2013. Pada tahun politik 2014, aduan pelanggaran KPU pun semakin melesat ke angka 1.994 aduan. Setelah itu berturut-turut mengalami penurunan aduan dari 1.241 (2015), 813 (2016), dan 551 aduan pada 2017. Karenanya, wajar jika kekhawatiran mencuat pada Pemilu Serentak (Pilpres dan Pileg) 2019 tahun depan, akan banyak pelanggaran terjadi.

Rilis DKPP menyebutkan bahwa pelanggaran yang yang sering diadukan dari angka di atas terkait adanya uang sogokan, baik dari pasangan calon di pilkada maupun dari caleg saat pemilu. Hal ini menunjukkan penyelenggara pemilu, pelembagaan KPU maupun Bawaslu di kabupaten/kota masih lemah dan mudah melakukan tindakan korupsi. Di sinilah salah satu pintu masuk yang nantinya melahirkan anggota legislatif yang korup. Alasan ini pulalah, mengapa penyelenggara memainkan peranan penting dalam menciptakan pemilu berkualitas dan berintegritas.

Oleh karenanya, sikap mendua KPU yang tidak tegas tersebut dalam melarang eks koruptor menjadi anggota KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota seolah mengandaskan belum totalnya KPU dalam menghadirkan kesetaraan di mata hukum terhadap kejahatan luar biasa dan pemilu berkualitas. Penyelenggara yang bersih dan berintegritas merupakan langkah fundamental membangun pemilu berkualitas, tidak hanya menyuguhkan pilihan (caleg) yang bersih kepada masyarakat. Mereka benteng utama untuk menghadirkan wakil rakyat yang kredibel.

Mencantumkan pelarangan eks koruptor dalam rekrutmen anggota KPU, baik di provinsi maupun kabupaten/kota menjadi sangat penting. Bahkan jauh lebih penting daripada melarang eks koruptor menjadi caleg. Langkah itu juga untuk menegaskan totalitas komitmen KPU mewujudkan pemilu berkualitas dan kesetaraan hukum terhadap pelaku kejahatan luar biasa (kejahatan seksual, narkoba, dan korupsi). Bagaimanapun, masa depan negara dan demokrasi bangsa ini untuk lima tahun mendatang berada di tangan KPU.

Agus Hilman peneliti pada Pusat Ketahanan Demokrasi (Puked), Jakarta

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads