Tapi, kebutuhan akal hal tersebut ternyata diakomodasi oleh web-web Islam tekstualis. Biasanya, website ini tak pernah menampilkan gambar perempuan. Atau, jika ada hanya berbentuk animasi perempuan berjilbab, itu pun seringkali tampak punggung saja. Apakah wajah perempuan semenakutkan itu ya?
Website Islam tekstualis memang jago di internet. Dalam soal perempuan, mereka telah mendokumentasikan ribuan pertanyaan dan ribuan jawaban. Pertanyaan berformat: "Bagaimana hukum...?" dan "Bolehkah perempuan...?" dengan jawaban berformat boleh dan tidak atau halal dan haram, yang biasanya disusul beberapa ayat dan hadis atau pendapat beberapa imam sebagai penguat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Website Islam yang ujung-ujungnya jualan juga lihai sekali di internet. Dominasi website Islam mazhab jualan masuk pada ruang interaksi para ibu di keseharian. Sudah jadi budaya masa kini bahwa aktivitas mengantar anak sekolah kini bukan lagi sekadar aktivitas fisik yang hanya melibatkan peristiwa berkendara, lalu menunggu anak keluar dari kelas dan mengajaknya pulang. Peristiwa mengantar anak ke sekolah adalah peristiwa kebudayaan yang berpotensi menghasilkan fenomena sosial kekinian. Misalnya, seorang ibu muslimah berkerudung panjang jadi bahan gunjingan karena tidak memakai kaos kaki.
Menurut ibu muslimah lain, dandanan seperti itu begitu nanggung alias belum cukup syar'i. Rugi, sudah bergamis dan berkerudung melambai-lambai, kok ya nggak mau pakai kaos kaki. Dari hari ke hari, gunjingan kepadanya makin jadi saja. Seorang ibu mulai melancarkan sindiran maut pencabut nyawa. Kaos kaki itu murah, kenapa pula tak mampu beli, apa perlu dibelikan oleh orang lain? Begitu kalimat-kalimat yang bukan hanya terdengar ketika mereka berkumpul menunggu anak keluar kelas, namun tentu saja juga menyesaki grup-grup Whatsapp.
Sementara, ia yang jadi objek sindiran sesungguhnya tak mengerti apa masalahnya jika ia tak berkaos kaki. Ia merasa penampilannya telah sopan dan tak mengganggu siapapun. Yang tak ia mengerti adalah mengapa perkumpulan ibu-ibu pengantar sekolah tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan anak, iuran biaya operasional sekolah, atau rencana pengembangan ekstrakurikuler.
Tetapi, ia mengerti akhir-akhir ini ada banyak orang yang punya hobi berceramah kepada orang lain. Dari sosial media, ia tahu bahwa orang-orang dengan hobi ganjil ini digerakkan oleh prinsip "sampaikanlah walau satu ayat". Anehnya, mungkin mereka merasa bahwa ayat itu terbaca hanya oleh mereka saja, tidak oleh orang-orang lain. Dan, yang paling jelas barikade ibu penyindir itu ternyata berjualan kaos kaki yang ia sebut kaos kaki syar'i.
Sementara, seorang anak balita di sebuah kota besar trauma dengan sekolah. Ia tidak mau berangkat ke sekolah, bahkan berhenti sekolah selama tiga tahun sebelum akhirnya mau mendaftar ke TK lagi. Usut punya usut, si bocah adalah mantan siswa Paud IT yang menjanjikan program-program hafalan Quran untuk balita. Di rumah, si ibu terlalu terobsesi agar anaknya menjadi penghafal Al Quran sedini mungkin. Padahal si anak ingin bermain-main. Tetapi, sepulang sekolah, si ibu terus-terusan saja memaksa anaknya agar latihan membaca, menulis, lalu menghapal ayat juz amma. Si anak justru frustrasi berat, trauma dan jadi benci sekolahan.
Ibu-ibu yang tampak manis dalam memamerkan kebolehan anak dalam posting Instagram, eh ternyata galak pada anak hanya karena anaknya lama menghafal ayat. Apakah fenomena "sampaikan walau satu ayat" juga terkait dengan barisan ibu-ibu yang ingin anaknya cepat hafal ayat? Kita mungkin sudah melihat banyak TK-TK format lama tutup karena tidak laku. TK-TK masa kini harus berjualan program yang Islami jika ingin bernapas lebih panjang, seperti program hafalan Quran, nge-trip Islami, dan sejenisnya.
Begitulah gambaran bisnis muslimah di internet. Selain soal jilbab dan pakaian muslimah, isu pendidikan anak dalam Islam adalah hal paling genting yang dapat memecah belah dunia pergunjingan para ibu. Kuntowijoyo bilang, ayat Al Quran adalah grand theory. Al Quran perlu dibikin jadi middle range. Ilmu Islam harus bergerak dari tafsir ke metodologi ke tataran praktisnya. Kita perlu muslimah yang berbicara mulai berdasarkan lived realities sebagai muslimah yang memijak tanah Indonesia bersama masyarakatnya.
Website Islam mazhab dagang seringkali membicarakan pendidikan anak dalam Islam dengan cara yang amat barbar. Misalnya, sebab anak harus Islami sedini mungkin, maka baju anak, alat tulis anak, piranti makan anak, mainan anak, buku yang dibaca anak harus "Islami". Komik grafis cerita daerah atau sastra daerah tentu saja kurang Islami karena tidak ada gambar kerudung, celetukan dalam bahasa Arab, atau apapun bentuk Islami yang diasosiasikan dengan produk dagang komunitas ini.
Sebab anak harus Islami sejak dini, maka pergaulan anak harus dijaga, sehingga anak harus bersekolah di sekolah Islami meskipun yang mahalnya nauzubillah, dan hindarkan ia dari pergaulan yang bukan orang Islam. Ya, cerita-cerita lapangan tentang anak-anak yang telah anti bergaul dengan komunitas lain, sepertinya cukup sering kita dengar.
Perempuan perlu dibicarakan dengan konteks. Kita butuh generasi Islam yang menyadari kondisi khas perempuan dan pertimbangan sejarah perempuan secara sosial sebagai metode. Perempuan perlu menulis pengalamannya sendiri agar tidak melulu dianggap fitnah, atau dibebani peraturan yang mengontrol geraknya secara keterlaluan. Sejak dulu perempuan Indonesia turun ke ladang, mengedarkan dagangan di pasar, ikut melaut, juga jadi syaikhah. Orang-orang zaman dulu rupanya tak ketakutan seperti manusia zaman kini yang takut melihat perempuan beredar di jalanan di atas pukul sembilan malam, atau ngopi semeja bersama perempuan.
Muslimah masa kini perlu memiliki definisi sendiri soal pendidikan anak dalam Islam, pergaulan anak dalam Islam, dan bagaimana menjadi Ibu yang baik dalam Islam agar banyak ibu di luar sana tidak buru-buru tantrum dan khawatir berlebihan jika anaknya belum tampak "Islami" di usianya yang sekarang, apalagi jika islami itu justru Islami yang tidak organik alias terlalu dini setting-annya.
Muslimah masa kini juga perlu bertanya mengapa website Islam mazhab dagang jarang menawarkan dagangan kepada si bapak. Jika urusan memilih pakaian anak, mainan anak, tempat bekal anak dan sekolah anak juga seharusnya tanggung jawab bapak si anak, siapa tahu produk para pedagang ini tidak hanya menyasar ibu-ibu melulu, tetapi juga si bapak. Dengan begitu, yang jadi korban sindiran pemakaian kaos kaki hingga kecerdasan hafalan anak kelak jadi beban bersama-sama ketika pulang ke rumah.
Nasib jadi orang beragama di era industri yang banal. Sungguh, nasib...nasib!
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)











































