Selanjutnya, drama politik terucap dari Ali Mochtar Ngabalin kepada Amien Rais --"mulut comberan". Masyarakat juga masih ingat pernyataan Amien Rais yang mengelompokkan dua kubu politik saat ini, "parpol Tuhan" dan "parpol setan". Pola politik semacam ini sudah menjadi candu di kalangan elite dan inilah deretan perilaku elite yang sama sekali tidak memberi manfaat.
Perang elite membuat wajah demokrasi penuh cacian. Parpol menjelma sebagai orkestra nyanyian sinisme. Elite-nya bak konduktor yang menginstruksikan nada-nada sekat dalamberkontestasi.Efeknya bukan sajian musik demokrasi yang harmoni, melainkan bibit perpecahan di masyarakat.
Jika melirik konstitusi, partai politik diperintahkan untuk menjalankan pendidikan politik. Undang-undang 2/2011 tentang Parpol menegaskan pentingnya pendidikan politik sebagai perekat persatuan dan kesatuan. Pendidikan politik harus dilakukan oleh parpol agar masyarakat sadar berpolitik dan berpartisipasi dalam pembangunan. Jika demikian ukurannya, parpol saat ini bisa terbilang gagal dalam menjalankan pendidikan politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberhasilan marketing politik saat pilgub di ibukota tampaknya menjadi "yurispurdensi" untuk diterapkan dalam pemilihan selanjutnya. Sinisme atau nyinyir terus beredar silih berganti seperti jenderal kardus, jenderal baper, jenderal kancil, isu mahar politik, politisasi agama, ataupun dikotomi kelompok kiri dan kanan, hingga provokasi menggunakan tagar di media sosial.
Pendidikan politik sudah berubah menjadi marketing politik karena cukup ampuh meraih suara dalam kontestasi. Isu agama misalnya, saat ini sedang laris-larisnya menjadi komoditas politik. Tokoh agama dengan mudah melabelkan dirinya sebagai representasi umat tanpa ada kualifikasi seberapa besar karyanya maupun pengorbanannya. Ada kecenderungan pihak penguasa maupun oposisi sama-sama menggunakan perangkat agama dalam permainan politik.
Satu pihak menyebut agama sebagai alat pembenar "ikhtiar" politiknya, sementara pihak lain menggunakan agama untuk memuluskan kekuasaannya. Kedua kubu pun serasa memiliki "mayoritas saham agama". Ironisnya perdebatan ini terus berulang akibat marketing politik yang kebablasan. Di titik inilah parpol gagal menjalankan tugas konstitusi untuk memberi pendidikan politik. Di titik ini pula parpol tergolong inkonstitusional karena bukan pendidikan politik yang dijalankan.
Apa yang salah dari fenomena ini? Apakah salah masyarakat yang tidak melek politik? Tentu tidak. Sindrom kekuasaan para elite parpol-lah pemicunya. Mereka terjangkit virus demagogisme, sebuah ungkapan kekhawatiran Aristoteles akan rusaknya demokrasi. Berdasarkan KBBI, kata serapan dari bahasa Yunani ini bermakna pemimpin yang pandai menghasut. Demagog dan marketing politik ibarat lingkaran busuk yang di dalamnya digerakkan oleh segelintir elite. Jika Aristoteles mengkhawatirkan perilaku demagog mengancam demokrasi, saat ini kekhawatiran itu kian nyata jika ada pembiaran pendidikan politik yang membuat masyarakat ikut kacau menilai kelakuan elite-nya.
Harus Dihentikan
Tren politik nyinyir atau sinisme yang dilontarkan parpol dan elite-nya sesungguhnya bisa dijerakan dengan konstitusi. Pasal 40 ayat 2 UU 2/2011 tentang Parpol mengatur larangan parpol melakukan "kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Sanksinya bisa pembekuan hingga pembubaran di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti diatur Pasal 48. Namun, klausul Pasal 40 ayat 2 terlalu mengambang karena tidak ada penjelasan konkret kegiatan seperti apa yang membahayakan keutuhan dan keselamatan negara.
Jika melihat situasi saat ini, MK bisa menafsirkan Pasal 40 ayat 2 bahwa segala bentuk sinisme dan propaganda yang dilakukan elite (pengertian elite melekat dengan parpolnya) masuk kategori kegiatan yang membahayakan keutuhan negara sehingga sanksinya bisa pada pembekuan dan pembubaran parpol. Efek dari politik sinisme bisa jangka panjang karena berdampak polarisasi. Jadi, tidak hanya kejahatan korupsi dan larangan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme yang membahayakan keutuhan negara seperti Pasal 40 ayat 5 UU Parpol.
Tren politik sinisme harus dihentikan dengan pidana yang berujung pembekuan atau bahkan pembubaran. Memang ada beberapa Peraturan KPU seperti larangan isu SARA, namun sejauh ini tidak menjerakan dan cenderung bersifat imbauan. Demikian halnya dengan keberadaan Bawaslu yang tak kuasa merevitalisasi fenomena ini. Jika terjadi pembiaran seperti, nilai demokrasi bergeser menjadi kontraproduktif.
Kini momentum pemilu sudah di depan mata. Nuansa sejuk harus didengungkan seperti momentum pencak silat pada Asian Games. Setiap elite parpol seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik dan mencerahkan masyarakat. Pertemuan rutin antar-elite ataupun lintas koalisi bisa menjadi solusi agar perpecahan tidak meluas. Masyarakat juga harus sadar memilih parpol maupun elite-nya yang bersikap negarawan bukan politikus sejati. Kalaupun toh tidak bisa berbenah, biarkan para "demagog" terus bernyanyi sinisme karena memang itulah kapasitasnya.
M. Nizar Kherid mahasiswa Magister Hukum Tata Negara Undip, peminat kajian konstitusi