Situasi politik nasional yang begitu dinamis terutama kontestasi menuju pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 tidak hanya monopoli elite politik, tapi sudah menyentuh pada akar rumput. Indikasi tersebut dilihat dari maraknya tagar 'jokowi2periode' dan '2019gantipresiden' di media sosial, selain marak tindakan persekusi di berbagai tempat. Puncaknya melibatkan institusi negara, seperti yang terjadi di Provinsi Riau, terhadap salah satu pegiat yang akan melakukan konsolidasi pandangan demokrasinya.
Akibat tindakan tersebut, kelompok sipil banyak yang melakukan kecaman terutama pandangan untuk tidak memanfaatkan elemen-elemen kekuasaan dalam upaya membendung penyebarluasannya gagasan demokrasi, selain "perang" di media sosial. Di sisi lain, KPU dan Bawaslu RI memiliki pandangan yang konstruktif dengan menyebut kedua tagar tersebut masih dalam bingkai demokrasi dan ranah kebebasan sipil dalam menyampaikan pandangan asasinya.
Situasi Biner
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan yang terjadi belakangan ini merupakan imbas dari situasi biner yang terjadi sejak 2014 lalu. Pengalaman politik di Indonesia dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lalu membuat masyarakat membelah menjadi lawan atau sahabat, hanya karena perbedaan pilihan politiknya.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung Yasar Amir Pilliang menekankan bahwa cara pikir biner adalah menilai kita menggunakan oposisi biner, friend-unfriend, like-dislike, leave-join, on-off, follow-unfollow. Tindakan tersebut diperparah adanya media sosial yang mempengaruhi pola pikir biner, hanya mengenal dua hal hitam dan putih. Sampai lahirnya berbagai sebutan tidak pantas seperti "kampret" dan "kecebong". Kondisi ini selalu berimbas pada berbagai komentar, meme-meme, dan opini terbuka para pendukung yang menunjukkan bahwa kesadaran dan penghargaan terhadap kemanusiaan dan martabatnya tampaknya bukan lagi menjadi prioritas masyarakat kita.
Hal lain yang perlu menjadi kekhawatiran, dengan pemikiran biner maka pemahaman atau rasionalitas kita menjadi kerdil. Pandangan ini menihilkan objektivitas dan daya kritis, bagi pendukung Joko Widodo maka semua yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dinilai tepat, meskipun banyak variabel yang tidak selaras dengan janji kampanyenya. Demikian juga bukan berarti benar, pandangan kelompok yang tidak mendukung pemerintah saat ini dengan memberikan penilaian negatif terhadap keseluruhan progam serta capaian dalam pembangunan yang dilakukan.
Tampaknya bagi kedua belah pihak perlu membuka ruang pemikiran baru. Bagi pendukung pemerintahan perlu menyampaikan sikap kritis dan memberikan korektif, jika ada kebijakan dan program pemerintah yang tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 terutama dalam mengimplementasikan tujuan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, terhadap kelompok di luar pemerintahan, perlu menyampaikan kritik dan pandangan yang objektif sebagai bagian check and balance yang merupakan nadi dari demokrasi itu sendiri. Jika ada ada capaian-capaian yang fantastis dari kinerja pemerintahan saat ini, kiranya perlu mendapat respons positif bagi kemajuan bangsa.
Mengacaukan Logika
Salah satu hal yang paling krusial dari lahirnya pemikiran biner adalah pengaruhnya terhadap cara pandang dan sikap masyarakat terhadap dunia politik, terutama menuju 2019 yang semakin dinamis. Pemikiran biner juga mengacaukan logika masyarakat, bagaimana bisa menetapkan pilihan dan pandangan politik ketika program kerja dan konsep pembangunan belum ditawarkan dari para kandidat, kecuali hanya rekam jejak bagi yang berkuasa dan sentimen atas kondisi faktual yang tidak sesuai harapan masyarakat bagi pihak lainnya.
Guna memastikan demokrasi berjalan, menghargai perbedaan pandangan politik dan tidak terjebak dalam pandangan biner maka perlu dilakukan beberapa strategi. Pertama, mendorong lahirnya sikap keteladanan dari elite, terutama tokoh-tokoh politik dan pejabat yang menduduki jabatan publik. Diperlukan perilaku, perbuatan, pernyataan, dan narasi apapun yang ditampilkan ke publik agar lebih berbobot dan mencerminkan kecerdasan dengan semangat membangun kebangsaan.
Elite yang berada dalam komunitas 'jokowi2periode' maupun '2019gantipresiden' dituntut menonjolkan gagasan program, visi-misi, dan konsep untuk membangun bangsa dan negara dalam bingkai NKRI, terutama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan terlibat secara aktif dalam peradaban dunia dengan politik yang bebas aktif.
Elite yang berada dalam komunitas 'jokowi2periode' maupun '2019gantipresiden' dituntut menonjolkan gagasan program, visi-misi, dan konsep untuk membangun bangsa dan negara dalam bingkai NKRI, terutama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan terlibat secara aktif dalam peradaban dunia dengan politik yang bebas aktif.
Kedua, peningkatan peran KPU dan Bawaslu untuk memberikan pengawasan terhadap elite partai ataupun pasangan calon peserta Pemilu 2019 untuk menjaga harmoni demokrasi, meskipun bersaing untuk memperebutkan kekuasaan. Satu hal yang paling penting adalah sikap kenegarawanan untuk tidak menggunakan politik identitas, diskriminasi, dan berbagai metodologi yang kotor untuk mendapatkan perhatian dari para pemilih. Jika politik identitas diutamakan dan dipengaruhi pemikiran biner ini, maka kecenderungan agresivitas dan kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung akan meningkat. Dan, melunturkan nilai-nilai keragaman yang menjadi kekuatan bangsa.
Ketiga, mendorong agar kepolisian dan elemen pemerintahan lainnya untuk lebih netral dan tidak memasuki wilayah politik terhadap diskursus 'jokowi2periode' maupun '2019gantipresiden', mengingat kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat adalah kondisi paling penting untuk pelaksanaan yang efektif dari hak untuk memilih dan harus dilindungi sepenuhnya oleh negara. Tindakan "penertiban" dapat dilakukan sepanjang penyampaian gagasan tersebut disertai dengan praktik kekerasan dan diskriminasi terhadap ras dan etnis tertentu.
Keempat, meningkatkan pendidikan bagi para pemilih (voters education), pendidikan kewarganegaraan (civic education), serta penyebarluasan program literasi digital agar masyarakat mampu dan memiliki keterampilan dalam menyikapi setiap informasi terutama di dunia nyata sehingga tidak menjadi korban hoax dan kampanye hitam yang mendiskreditkan martabat kemanusiaan.
Kelima, mendorong agar masyarakat kembali bermasyarakat dan berkomunitas dengan rasional bahwa berbeda pilihan adalah kewajaran. Pilihan berbeda bukan berati musuh, karena masih banyak hal lain dalam hidup dari sekadar urusan kontestasi, meskipun pemilihan pemimpin melalui pemilu adalah pilihan yang paling demokratis dan akan mempengaruhi wajah pembangunan selama 5 (lima) tahun ke depan.
Agus Suntoro Analis Perlindungan Hak Sipil dan HAM, Komnas HAM RI
(mmu/mmu)