Kehadiran Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di panggung politik nasional cukup memberikan inspirasi bagi generasi milenial dalam melihat politik dari segi yang berbeda. Selama ini, para politisi telah mengubah mindset masyarakat dalam melihat politik. Korupsi yang merajalela membuat orang melihat politik seakan menjadi sesuatu yang kotor, keji, dan tidak manusiawi. PSI berangkat dari problem politik semacam itu.
Kehadiran PSI seakan memberi petunjuk bagi masyarakat yang apolitis, apatis, bahwa politik sejatinya adalah sesuatu yang baik sebab dibasiskan pada moral. Sehingga, PSI mencoba untuk mendekatkan politik kepada kebajikan. Melihat pandangan PSI membawa spirit pembaharuan terhadap politik Indonesia pasca-Reformasi, karena selama in, politik di Indonesia syarat dengan praktik koruptif, klientelisme, kartelisasi, serta kuatnya budaya patriarki.
Sampai di sini, saya jadi teringat dengan Soe Hok Gie yang mengatakan "politik itu kotor". Maka, bagi saya spirit pembaharuan PSI perlu dilihat dalam kaitannya dengan politik riil pasca-Reformasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan Politik
Terlepas dari pandangan ideasional PSI tentang politik, fakta politik Indonesia di era demokrasi dan desentralisasi, monopoli kekuasaan yang ditopang oleh praktik premanisme dan money politic menjadi problem kunci. Distribusi kekuasaan mengalir berdasarkan jaringan patronase, baik di tingkat pusat ataupun lokal. Melalui kontrol atas parlemen dan partai politik, aliansi bisnis terbangun dalam jaringan patronase. Di sinilah tantangan politik PSI.
Alih-alih ingin menolak kepentingan politik lama, justru dengan masuknya PSI ke dalam bangun koalisi pendukung Jokowi pada Pemilu 2019 sesungguhnya memperlihatkan pragmatisme dan oportunisme partai.
Tidak hanya itu, PSI juga mempertontonkan praktik komodifikasi terhadap tubuh perempuan. Bukan berbicara visi dan kebijakan ideologis yang hendak diperjuangkan, justru yang ada malah PSI mengeksploitasi tubuh perempuan dalam iklan politik untuk meraup dukungan. Suatu tindakan pragmatis yang selaras dengan logika kapitalisme mutakhir, di mana kecantikan menjadi propaganda sedemikian rupa hanya untuk kepentingan elektabilitas partai.
Tidak hanya itu, PSI juga mempertontonkan praktik komodifikasi terhadap tubuh perempuan. Bukan berbicara visi dan kebijakan ideologis yang hendak diperjuangkan, justru yang ada malah PSI mengeksploitasi tubuh perempuan dalam iklan politik untuk meraup dukungan. Suatu tindakan pragmatis yang selaras dengan logika kapitalisme mutakhir, di mana kecantikan menjadi propaganda sedemikian rupa hanya untuk kepentingan elektabilitas partai.
Dalam masyarakat kapitalis, tindakan PSI mengiklankan kecantikan kader sangat menguntungkan. Karena cara itu, PSI bisa dikenal oleh masyarakat luas. Bukan karena gagasan dan perjuangan riil partai, tapi lebih pada jualan kecantikan kader semata. Alhasil, pandangan ideasional dalam membawa perubahan politik Indonesia gagal dipraksiskan.
Di situs resmi PSI menyebut "tidak lagi tersandera dengan kepentingan politik lama". Entah disadari atau tidak, tindakan PSI sejak beberapa bulan terakhir malah mempraktikkan cara politik lama. Di mana ikut membentuk kartelisasi partai dan membangun relasi klientelisme.
Meskipun PSI sendiri selalu menyuarakan jargon-jargon politik millenial, tapi yang jelas esensi politik yang dimainkan tidak mencerminkan milenial itu sendiri. Dengan mengadopsi cara-cara lama dalam berpolitik, meskipun memakai sampul milenial, artinya PSI juga memiliki relasi patronase dengan kelompok oligarki.
Rudi Hartono mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Maliki Malang
(mmu/mmu)











































