Perempuan, Islamisme, dan Imajinasi Kebangsaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Perempuan, Islamisme, dan Imajinasi Kebangsaan

Selasa, 04 Sep 2018 15:04 WIB
Ibnu Burdah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Neno Warisman dalam sebuah ceramah di Depok (Foto: Matius Alfons/detikcom)
Jakarta - Luas diwartakan perempuan artis sangat senior terlibat begitu intens dalam gerakan '2019 ganti presiden'. Apakah itu cermin menguatnya peran perempuan dalam ruang publik kita, khususnya dalam politik yang menentukan arah bangsa ini?

Tesis bahwa "kebangkitan" Islam telah memberi fasilitas bagi kiprah dan peningkatan agensi perempuan di ruang publik Indonesia sehingga perempuan semakin berperan dalam mengimajinasikan masa depan kebangsaan kita, patut dikritisi ulang.

Rachel Rinaldo lewat artikelnya di Jurnal Social Forces sejak satu dekade lalu memang telah mendeteksi peran besar organisasi-organisasi Islam perempuan sebagai instrumen peningkatan peran perempuan di Tanah Air. Organisasi-organisasi itu menjadi inkubator (mesin penetas) bagi lahirnya para aktivis politik perempuan yang terlibat dalam pelbagai debat publik untuk menentukan arah kebangsaan Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di samping itu, secara alamiah hal itu juga didukung oleh modal unik perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki yaitu kapasitas reproduksinya. Perempuan memainkan peran sangat penting bagi pewarisan nilai-nilai. Mereka secara alamiah memiliki peluang besar untuk mentransmisikan nilai-nilai dan pandangan yang dianutnya ke generasi berikutnya termasuk dalam imaginasi kebangsaan. Namun, semua pandangan itu patut dicermati ulang secara lebih teliti.

Tidak Tunggal

Meluasnya simbol-simbol perempuan muslimah seperti pemakaian jilbab di ruang publik telah membuat kita salah menilai dan menjelaskan peran kebangkitan Islam dalam penguatan agensi perempuan. Kesalahan paling besar adalah melihat arus gerakan dan organisasi perempuan Muslim di Indonesia seolah-olah tunggal yakni berkomitmen secara sungguh-sungguh pada perjuangan kesetaraan. Generalisasi ini bagaimanapun tak mudah diterima.

Gerakan dan organisasi perempuan muslim sangat beragam termasuk dalam komitmen terhadap perjuangan untuk kesetaraan dan komitmen terhadap negara-bangsa. Keragaman itu hampir sejajar dengan keragaman varian gerakan Islam di Tanah Air, mulai yang sangat nasionalis hingga kelompok yang hampir tak memiliki komitmen kebangsaan sedikit pun meskipun mereka hidup di Tanah Air, bahkan ingin membongkar pondasi kebangsaan ini dengan yang lainnya. Mulai dari yang memang memiliki komitmen substansial untuk perjuangan kesetaraan hingga yang meletakkan perempuan sebagai warga negara kedua, kendati organisasi-organisasi itu dalam konteks tertentu terpaksa menyesuaikan tuntutan legal formal memenuhi kuota minimal perempuan.

Tak ada jaminan keterkaitan antara besarnya penampakan para perempuan dengan jilbab dalam berbagai gerakan jalanan di ruang publik kita dengan peningkatan peran mereka dalam pengambilan keputusan dan penentuan arah masa depan bangsa. Mereka terutama dalam konteks tahun politik seperti sekarang ini tidak jarang hanya menjadi alat, bukan penggagas dan pengusung gagasan. Hal itu akan semakin terbukti jika kita mencermati secara seksama aspek internal dari organisasi-organisasi Islam atau organisasi Islam perempuan di Tanah Air. Siapa otoritas pengambil keputusan? Apakah perempuan memiliki peran untuk menentukan arah perjuangan, dan pertanyaan-pertanyaan lain semacamnya?

Saya termasuk yang kurang setuju dengan kesimpulan bahwa Islamisme baru telah membuka jalan lebar bagi penguatan agensi perempuan dalam peranannya di ruang publik termasuk di Tanah Air. "Keberhasilan" Turki dan Tunisia yang memberi jalan lempang bagi upaya pembangunan kesetaraan memang harus dijelaskan secara berbeda. Bukan Islamisme baru yang mengerek agensi perempuan di dua negara itu tapi kultur "progresif" yang memang telah berkembang lebih awal di kedua negara itu jika dibandingkan dengan negeri-negeri mayoritas muslim yang lain. Islamisme baru yang menjadi arus kuat di kedua negara itu justru menyesuaikan dengan lingkungan kultural yang sudah ada tersebut.

Lebih dari itu, saya memandang bahwa kendati perempuan Islamis sering tampil menonjol di ruang publik kita terutama dalam aksi-aksi massa, Islamisme baru sebetulnya masih menegaskan inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki dengan alasan-alasan teologis. Dalam kelompok-kelompok itu ada kecenderungan sangat kuat, agama masih menjadi penyangga dan basis legitimasi tak terbantahkan bagi superioritas laki-laki, bukan sebaliknya sebagai spirit untuk kesetaraan. Sepengetahuan saya, gagasan pemikir-pemikir Islamis baru di Tunisia misalnya, yang cenderung progresif, tak banyak dikonsumsi di lingkungan Islamis di Tanah Air.

Agama atau tepatnya cara pemahaman terhadap keislaman meletakkan keterlibatan perempuan-perempuan Islamis masih dalam aras pinggiran. Faktor ini membuat saya sangat pesimistis tentang peran perempuan Islamis baik dalam perjuangan kesetaraan maupun dalam meneguhkan komitmen kebangsaan. Saya justru mengkhawatirkan peran mereka sebagai transmisator "ideologi" yang menjauhkan anak-anaknya dari komitmen pada kebangsaan Indonesia baik dalam peran pengasuhan anak maupun di lembaga-lembaga pendidikan dini.

Banyak di antara mereka juga bisa dikatakan agresif dalam pergaulan di media sosial untuk menebarkan keyakinan-keyakinannya yang kadang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan semangat kebangsaan. Beberapa di antaranya sempat menjadi berita besar karena menjadi kasus hukum terkait isu SARA kendati konten seperti itu tampaknya sudah biasa di lingkungan internal mereka.

Beberapa pernyataan kritis di atas tentu tidak menafikan beberapa organisasi perempuan Islam di Tanah Air yang memiliki komitmen sungguh-sungguh peneguhan keislaman moderat dan kebangsaan Indonesia, serta perjuangan untuk kesetaraan. Organisasi-organisasi ini memiliki pengaruh kuat dalam menetaskan aktivis-aktivis politik perempuan yang sesungguhnya, yang juga turut serta menegaskan komitmen kebangsaan di tengah lingkungan dan tantangan baru yang mengepung saat ini.

Ibnu Burdah pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam, dosen UIN Sunan Kalijaga

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads