Mempertanyakan Komitmen Antikorupsi Bawaslu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mempertanyakan Komitmen Antikorupsi Bawaslu

Selasa, 04 Sep 2018 11:36 WIB
Gandha Prabowo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mempertanyakan Komitmen Antikorupsi Bawaslu
Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom
Jakarta -
Rekomendasi Bawaslu di sejumlah daerah yang meloloskan bakal caleg mantan napi korupsi memantik perseteruan dua lembaga penyelenggara pemilu. Konflik yang muncul dikarenakan sikap KPU yang berpegang teguh pada Peraturan KPU tentang pencalonan anggota dewan. Sementara, rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Keduanya bersikukuh sama-sama menjalankan kewenangan yang telah diberikan melalui undang-undang pemilu.

Euforia pegiat antikorupsi di negeri ini pun tidak berlangsung lama. Sempat bersorak-sorai menyambut langkah KPU menolak pendaftaran bakal calon anggota dewan mantan napi korupsi, kini mereka harus tertunduk lesu. Smash tajam dari Bawaslu mengakhiri perlawanan semangat antikorupsi yang digagas oleh KPU. Rekomendasi Bawaslu yang sifatnya wajib dilaksanakan, menganulir kebijakan KPU terkait larangan mantan napi korupsi menjadi wakil rakyat.

Bawaslu dan Panwaslu di daerah Toraja Utara, Aceh, Sulawesi Utara, Parepare, dan Rembang telah memberikan lampu hijau kepada mantan napi korupsi untuk menjadi bacaleg DPRD dan calon anggota DPD. Pengamat pemilu memprediksi, di daerah lain pun akan muncul rekomendasi serupa. Ibarat bola salju yang mengggelinding dari ketinggian, jumlah rekomendasi Bawaslu dan Panwaslu di daerah akan semakin bertambah karena sudah ada yurisprudensi yang mendasarinya. Dan, yang terbaru Bawaslu DKI mengabulkan gugatan M. Taufik, mantan napi korupsi yang telah dicoret KPU DKI sebagai bakal calon anggota dewan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara umum, alasan Bawaslu menolak klausul pelarangan mantan napi korupsi karena dasar hukumnya tidak diatur dalam undang-undang pemilu. Selain itu, membatasi hak orang untuk mencalonkan diri (hak dipilih) merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sehingga kemudian Bawaslu menganggap Peraturan KPU tidak sesuai dengan undang-undang.

Padahal pada saat pendaftaran bakal calon, pimpinan partai politik disyaratkan oleh Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 untuk menandatangani dokumen pakta integritas. Isinya adalah pernyataan tertulis dari pimpinan parpol untuk tidak mengajukan nama-nama bakal calon anggota dewan yang merupakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Pimpinan parpol secara tegas menyatakan kesediannya untuk dibatalkan pencalonan calegnya jika termasuk kategori ini.

Terhadap pakta integritas yang disyaratkan ini, Bawaslu juga memasukkannya dalam unsur pengawasan. Pada Peraturan Bawaslu Nomor 23 Tahun 2018, Bawaslu memerintahkan kepada Pengawas Pemilu untuk melaksanakan pengawasan terhadap persyaratan pengajuan bakal calon dengan memastikan Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota pada setiap Daerah Pemilihan (Dapil).

Dari kedua peraturan ini sebenarnya bisa dilihat bahwa telah ada sinkronisasi di antara kedua lembaga penyelenggara pemilu. Hanya saja, pada hasil akhirnya Bawaslu tetap meloloskan mantan napi korupsi. Dokumen pakta integritas hanya jadi macan kertas. Sekedar aksesoris untuk mempercantik tampilan, agar seolah-olah dianggap sudah berintegritas.

Anehnya, di masa tahapan pendaftaran bakal calon, Bawaslu pernah merilis hasil identifikasi potensi bakal calon terpidana korupsi yang diusung oleh parpol di seluruh wilayah Indonesia. Jumlahnya sebanyak 199 bakal calon dan tersebar di 11 Propinsi, 93 Kabupaten, dan 12 Kota. Tidak hanya jumlah, Bawaslu juga merilis nama bakal calon mantan napi korupsi berikut parpol pengusungnya. Lalu, untuk apa Bawaslu melakukan ini semua jika ujung-ujungnya tetap meloloskan mantan napi korupsi sebagai caleg?

Jika dirunut ke belakang, Bawaslu dari awal memang tidak sepakat dengan ketentuan Peraturan KPU ini. Toh pada akhirnya, meski mendapat penolakan dari beberapa pihak, KPU tetap jalan terus memasukkan pasal larangan terhadap mantan napi korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk jadi bakal calon wakil rakyat.

Apa yang dilakukan KPU didukung sepenuhnya oleh stakeholder yang peduli dengan isu ini. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengapresiasi langkah progresif KPU dalam merumuskan rule of law pemilu 2019. Para pelaku kejahatan ini tergolong extra ordinary crime, mengingat dampak kerusakan yang ditimbulkan atas aksi kejahatannya sungguh sangat luar biasa. Mereka mestinya tidak lagi diberikan akses untuk bersaing memperebutkan jabatan publik.

Sungguh ironis memang karena budaya malu belum terkristalisasi di negara kita. Mantan napi korupsi yang secara nyata pernah berbuat jahat terhadap bangsa dan negara, tanpa sungkan turut berkontestasi mengincar jabatan publik kembali. Padahal, mereka telah berkhianat terhadap negara dan sumpah jabatan yang diucapkannya. Tetapi, Bawaslu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan mereka berkontestasi menjadi pejabat publik.

Bandingkan dengan di negara Jepang. Ketika pejabat publik tersangkut skandal korupsi, mereka akan segera mengambil samurai untuk melakukan ritual harakiri (bunuh diri). Meski demikian, saya tidak hendak memberikan standing ovation atas apa yang terjadi di Jepang. Karena jika itu juga terjadi di Indonesia, berapa banyak pejabat yang hanya tinggal namanya saja.

Bunuh diri dilarang oleh ajaran agama. Begitupun dengan korupsi. Maka kita semestinya tidak perlu melakukan kedua tindakan tercela ini. Sama halnya, jika sudah pernah jadi napi korupsi mestinya tidak perlu lagi menjadi pejabat publik. Agar tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik bisa terjaga dengan baik.

Sayangnya, Bawaslu berbeda pandangan soal ini. Mazhab yang dianut Bawaslu mengharuskan aturan pelarangan itu tersurat dengan jelas di dalam undang-undang pemilu. Lantas, di mana komitmen Bawaslu terhadap dukungan pemberantasan korupsi di negeri ini? Padahal Indonesia sedang dalam keadaan darurat korupsi.

Gandha Widyo Prabowo Kepala Sub. Bagian Hukum Sekretariat KPU Kota Pasuruan, alumnus Magister Ilmu Politik Peminatan Tata Kelola Pemilu Universitas Airlangga Surabaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads