Selain itu pula, geliat pasar sebagai urat nadi ekonomi kerakyatan menyangkut kebutuhan pokok telah aktif kembali. Pasar-pasar telah buka dengan menjajakan sajian kebutuhan pokok seperti sembako, sayur-mayur, bahan lauk-pauk, serta sandang pangan lainnya. Ini menunjukkan, setidaknya memori "menegangkan" bahkan keadaan "mencekam" yang dirasakan dominan oleh para pengungsi terdampak gempa perlahan bisa terlupakan. Berganti aktivitas dengan geliat ekonomi, baik sebagai penjual maupun pembeli. Membaur ceria, saling tegur sapa di pasar, kemudian pulang ke pengungsian.
Hal lainnya, dari hari ke hari layanan empati sosial terhadap pengungsi yang kian reguler turut andil mengubah keadaan. Dari semula adanya kendala dan keluhan menjadi kian terkendali dan menimbulkan kelegaan. Keadaan kini seolah menjawab keadaan sebelumnya. Hampir di mana ada bencana, pada masa awal, kuldesak kebingungan dengan pengelolaan sebisanya. Penanganan kebencanaan baru bisa diterap optimal setelah adanya penyesuaian dan penyelarasan dengan manajemen kebencanaan yang terencana dan terukur.
Patut kita syukuri bahwa atensi empatik yang begitu masif dari banyak donatur terhadap gempa bumi Lombok (termasuk saat gempa di tempat lainnya) menunjukkan berpadunya hati, peduli antarsesama: lintas genre, lintas teritori, lintas sekat. Perasaan senasib kendati berbeda apa yang dialaminya; perasaan sepenanggungan, meskipun berbeda tanggung jawabnya. Seperti ungkapan global populer: pro bono publico, semuanya menabur kebajikan untuk kebaikan universal.
Bila diutarakan, penanganan bencana yang dilakukan terpola empat hal. Pertama, penanganan intensif. Penanganan yang dilakukan cepat, responsif, kendati dengan pengelolaan sebisa dan apa adanya. Dilakukan untuk penyelamatan atau tindakan pertama bagi korban dan warga terdampak gempa. Misalnya dengan melakukan pertolongan evakuasi terhadap korban, evakuasi ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, bahkan rujukan ke rumah sakit jenjang di atasnya.
Kedua, penanganan reguler. Tindakan yang dilakukan secara reguler untuk menjangkau spot pengungsi dengan menyalurkan logistik kebutuhan pengungsian. Dari posko ke spot pengungsian melalui koordinasi posko kecamatan dan desa. Sejak mengalirnya bantuan logistik yang terfokus pada posko (selain bantuan relawan yang langsung ke pengungsi), logistik reguler disampaikan. Adapun khusus tempat yang sulit terjangkau, penyaluran logistik dilakukan melalui jalur udara oleh pihak TNI dan Kepolisian, sehingga praktis dropping logistik bisa dijangkau.
Ketiga, penanganan partisipatif. Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan relawan memberikan andil dalam penanganan bencana. Adanya spot binaan yang dijadikan "medan pengabdian" melancarkan atensi kepada para pengungsi dan kebutuhannya selama di pengungsian. Tak sedikit relawan yang tergabung pada komunitas atau kelembagaan filantropi ikut andil memberi solusi, memudahkan yang sulit, dan mempercepat yang lambat. Pola penanganan partisipatif ini bisa dikatakan efektif menyasar titik-titik pengungsi yang relatif belum mendapatkan atensi secara reguler.
Keempat, penanganan stimulan. Pola ini merupakan mixing dari beberapa respons spontan yang diinisiasi oleh siapa saja yang dapat memberikan solusi saat keadaan krisis kebencanaan, saat pola intensif, reguler, dan partisipatif masih abai atau tertunda. Dominan penanganan diperoleh dari liputan berita akurat, informasi media sosial valid, dan inisiasi dari berbagai pihak yang secara simultan tergerak hati dan pikirannya untuk membantu sesama. Misalnya, liputan berita terkait beberapa warga Dusun Lendang Batu Kayangan yang mengkonsumsi jenis Kelapa Timun (bukan serabut kelapa), segera setelahnya pihak Dinas Sosial Kabupaten Lombok Utara (KLU) berangkat membawa logistik serta berkoordinasi dengan kepala dusun setempat.
Hari-hari ke depan (bila tak ada rundung bencana lagi), seusai masa tanggap darurat selesai, teresidu tugas kemanusiaan. Tugas-tugas kedaruratan berganti tugas pemulihan. Masa substansi pada masa stabil, bagaimana penerangan dan pengairan kembali ada bersama rumah tempat tinggal warga. Ada dan nyata sebagai tempatnya bernaung. Saat torehan ini ditera, Pemda KLU terus mencari format terbaik, dalam hal rekonstruksi rumah tempat tinggal, model Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) yang tahan gempa dan ramah lingkungan. Tahap awal rencananya dibangun 1000 unit rumah model RISHA, bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Saya teringat saat masa kanak-kanak, bohlam penerang dan atap yang kuat menopang kami menanti bulan terang datang bundar sempurna saat duduk mengaso. Turun dari atap, mengulanginya lagi pada teras halaman rumah, melihat gemintang berpadu mengerlip. Saya pun membayangkan, ada bohlam penerang dan atap yang futuristik pada tenda-tenda pengungsi, bukan hanya senter dan terpal peneduh. Seperti pada tempat tinggal warga pengungsi semula yang sesungguhnya. Ya, seperti di tempat tinggalnya masing-masing.
Listrik mengaliri bohlam rumahnya, arus air yang menyejukkan sekelilingnya, atap futuristik beserta bangunan "standar ketentuan bantuan" yang meneduhkannya adalah gambaran nyata yang dibutuhkan. Sebagaimana kini, pemerintah sedang dan terus melakukan enumerasi terhadap potensi rumah tempat tinggal dan fasilitas umum yang mengalami kerusakan dengan tiga kategori: rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan. Bertujuan secepatnya ada baseline kebijakan pemukiman layak bagi warga terdampak gempa.
Bohlam dan kesejukan atap futuristik, secuil harapan untuk bertahan melanjutkan perikehidupan, setelah dari tempat pengungsian. Bohlam yang terang, air yang mengalir, atap yang secara futuristik dapat menaungi bangunan yang tahan terhadap gempa. Terutama, rumah yang dapat meredakan rasa khawatir berkepanjangan lantaran trauma terhadap keadaan yang melanda. Bila dibandingkan dengan pengorbanan yang dialami warga pengungsi, harapan demikian tidaklah tertanding. Tak tersandingi. Mengapa? Takaran immaterial dan siklus keseharian komunalnya mesti ditata sedari awal kembali. Pranata lingkungan sosial mesti dimulai lagi. Kendati warga telah menerima bencana sebagai musibah bersama.
Sementara itu, tampak dari sebagian titik-titik pengungsian semarak Perayaan Kemerdekaan ke-73 tahun ini, warga pengungsi tetap bersemangat. Larut pada lomba-lomba, turut berupacara, dan sontak menyanyikan larik Indonesia Raya. Dalam keterbatasan keadaan, meneriak pekik "merdeka". Sekali merdeka tetap merdeka. Merdeka dari bencana yang melanda.
Mujaddid Muhas, M.A Pelaksana Tugas Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Utara
(mmu/mmu)