Meski diuntungkan oleh posisinya sebagai petahana, namun pada laga kedua ini beban mental Jokowi diyakini lebih berat daripada laga pertama. Mengapa? Pertama, sudah lazim dalam sebuah pertandingan, beban mental sang juara bertahan lebih berat daripada sang penantang. Ada adagium, mempertahankan lebih sulit daripada merebut. Kecuali bila Jokowi berprinsip "nothing to lose".
Bila mau jujur, sesungguhnya beban mental yang sama juga menggelayuti Prabowo, mengingat ini kali ketiga mantan Komandan Jenderal Kopassus itu maju dalam pilpres. Pada Pilpres 2009, Prabowo menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri menantang Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan pada Pilpres 2014 menjadi capres penantang Jokowi. Bila kali ini tidak terpilih kembali, apa kata dunia? Ia akan dicap sebagai "capres abadi".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alkisah, karena dirinya hanya seorang pemburu binatang, bukan kesatria laksana Arjuna, niat Ekalaya untuk berguru memanah kepada Drona pun ditolak. Apalagi begawan itu sudah berjanji untuk menjadikan Arjuna sebagai pemanah nomor wahid di seantero jagat. Namun, Ekalaya tidak putus asa. Ia kemudian membuat patung Drona dan belajar memanah siang-malam di depan patung itu, seakan diawasi guru Drona. Ekalaya akhirnya berhasil menjadi pemanah ulung yang kemahirannya melebihi Arjuna.
Pada tim pemenangan Prabowo-Sandi, juga terdapat "Ekalaya-Ekalaya" lain. Mereka adalah mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, dan mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur. Rizal, Sudirman, dan Ferry dipecat Jokowi, sementara Asman mengundurkan diri.
Karena dipecat, bisa jadi mereka sakit hati, dan rasa sakit hati itu mereka transformasikan menjadi energi yang sangat dahsyat untuk mengalahkan Jokowi, sebagaimana Ekalaya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sudah membuktikan itu, dengan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang didukung Jokowi. Pasangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, Sandiaga Uno, kini menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo. Apa yang dilakukan Anies juga diyakini akan dilakukan Sandi untuk mengalahkan Jokowi.
Strategi
"Senjata paling ampuh dalam sebuah perang adalah strategi," kata Sun Tzu (544-470 SM), filsuf sekaligus ahli strategi perang asal Tiongkok kuno. Strategi yang tepat akan menentukan kemenangan. Strategi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti "rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus."
Langkah Jokowi memilih Kiai Maruf adalah bagian dari strategi tersebut. Belajar dari fenomena Pilpres 2014 di mana Jokowi banyak diserang dengan isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) bahkan hingga kini, pilihan pun ia jatuhkan kepada Kiai Maruf yang juga Rais Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Untuk menutup celah kekurangan Kiai Maruf yang sudah sepuh (usia 77 tahun), Jokowi mengimbanginya dengan berpenampilan bergaya anak muda, termasuk dalam acara Pembukaan Asian Games XVIII, Sabtu (18/8/), di Gelora Bung Karno, Jakarta. Keberadaan generasi milenial tak bisa disepelekan, karena mereka pemilik 40% suara pemilu.
Langkah Prabowo memilih Sandi sebagai cawapresnya juga merupakan bagian dari strategi. Selain milenial, Sandi memiliki kekayaan di atas Rp 5 triliun, dan ia sanggup menyediakan sebagian dana kampanye, termasuk isu mahar politik untuk Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masing-masing Rp 500 miliar yang sempat diakui Sandi namun akhirnya ia bantah. Hal ini terjadi karena pundi-pundi kekayaan Prabowo diduga sudah menipis, terbukti dengan digalangnya dana "saweran" dari publik, serta kasus dugaan mahar politik La Nyalla Mattalitti saat hendak mencalonkan diri sebagai cagub Jawa Timur.
Namun, Prabowo agaknya alpa akan strategi ke-18 dari 36 strategi perang ala Sun Tzu, yakni, "Jika tentara musuh kuat tetapi dipimpin oleh komandan yang mengandalkan uang dan ancaman, maka ambil pemimpinnya. Jika komandannya mati atau tertangkap, maka sisa pasukan akan terpecah-belah atau akan lari ke pihak Anda." Dengan kata lain, tim pemenangan Prabowo-Sandi tak akan solid apalagi militan.
Pembentukan tim pemenangan juga bagian dari strategi, termasuk merekrut barisan sakit hati karena dipecat. Bila tidak dipecat, belum tentu Rizal Ramli, Sudirman Said, dan Ferry Mursyidan mau bergabung ke kubu Prabowo. Mereka barangkali berprinsip, "musuh dari musuh adalah teman". Maka masuk akal bila kemudian Anies mau diajukan Prabowo menjadi calon Gubernur DKI, padahal pada Pilpres 2014 mantan Rektor Universitas Paramadina itu menjadi Juru Bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK. Tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Sudirman Said pun demikian. Dalam Pilkada Jawa Tengah 2018, ia bersama pasangannya, Ida Fauziyah yang dalam berbagai survei angkanya jauh di bawah Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang didukung PDIP, parpol pengusung Jokowi, dalam rekapitulasi suara KPU ternyata perolehan suaranya mencapai 41,22%. Sedangkan, Ganjar-Yasin 58,78%.
"Ekalaya" lain mungkin mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang sedang "dirayu" duo-Said, yakni Sudirman Said dan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, untuk berubah haluan dukungan. Mahfud yang kini duduk di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) nyaris dipilih Jokowi sebagai cawapresnya. Bibir boleh berucap tidak kecewa, tapi dalam hati siapa tahu?
Kwik Kian Gie, Menko Ekuin era Presiden Megawati Soekarnoputri, juga berada di tim pemenangan Prabowo-Sandi. Akankah ia membocorkan rahasia dapur Megawati dan PDIP dalam strategi pemenangan Jokowi pada 2014 lalu?
Sebaliknya, di tim pemenangan Jokowi-Maruf ada nama Ali Mochtar Ngabalin dari Kantor Staf Presiden (KSP), Menteri Sosial Idrus Marham, dan Gubernur NTB M Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang. Pada Pilpres 2014, ketiganya berada di kubu Prabowo. Akankah mereka membocorkan rahasia dapur Prabowo ke Jokowi? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, Ngabalin, Idrus dan TGB bukan "Ekalaya". Mereka bergabung ke kubu Jokowi bukan karena sakit hati pada Prabowo.
Baik Jokowi maupun Prabowo tampaknya sama-sama menerapkan strategi ke-30 ala Sun Tzu, yakni, "Buat tuan rumah dan tamu bertukar tempat. Kalahkan musuh dari dalam dengan menyusup ke benteng lawan di bawah muslihat kerja sama, penyerahan diri atau perjanjian damai. Dengan cara ini, Anda akan menemukan kelemahan lawan untuk kemudian menyerang langsung ke jantung pertahanannya."
Karyudi Sutajah Putra analis politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta
(mmu/mmu)