Keterwakilan Perempuan dalam Politik

ADVERTISEMENT

Kolom

Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Siti Nurul Hidayah - detikNews
Senin, 20 Agu 2018 14:40 WIB
Foto: Elza Astari Retaduari
Jakarta - Pendaftaran bakal calon legislatif untuk pemilu nasional 2019 sudah berlangsung 4 hingga 17 Juli lalu. Salah satu yang patut diapresiasi adalah upaya parpol untuk memaksimalkan kuota 30 persen caleg perempuan. Di tingkat pusat, 16 parpol peserta pemilu berhasil memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan.

Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009.

UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.

Meski representasi perempuan di ranah politik praktis sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Seturut data Inter Parliamentary Union (IPU), seperti dikutip Scholastica Gerintya (2017) di level ASEAN Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara di level dunia internasional, posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.

Kultur Patriarki

Kehadiran perempuan di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan di parlemen dalam jumlah yang memadai, kecenderungan untuk menempatkan kepentingan laki-laki sebagai pusat dari pengambilan kebijakan akan sulit dibendung.

Rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik dapat dijelaskan ke dalam setidaknya dua pembacaan. Pertama, masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik.

Praktik politik patriarkis ini tumbuh subur dan cenderung ditanggapi secara permisif lantaran dilatari oleh sejumlah hal. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, patriarkisme kadung menjadi tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun, lalu dianggap sebagai sesuatu yang wajar belaka. Bahkan, perempuan yang nyaris selalu menjadi pihak pesakitan alias korban atas budaya patriarki tersebut pun lebih sering hanya menerimanya sebagai kodrat.Budaya patriarki kian mendapat pembenarannya ketika penafsiran ajaran agama pun dalam banyak hal lebih berpihak pada kepentingan laki-laki.

Kelindan antara tradisi-budaya dan penafsiran agama inilah yang memungkinkan patriarkisme langgeng dan mewarnai hampir seluruh ranah kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali ranah politik.

Kedua, institusi politik pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan. Misalnya, dalam hal pengajuan bakal calon legislatif perempuan oleh parpol yang kerapkali hanya dilakukan demi memenuhi persyaratan pemilu. Selama ini, nyaris tidak ada langkah berarti yang menunjukkan komitmen parpol pada pemberdayaan politik perempuan.

Di level rekrutmen anggota dan kaderisasi, perempuan tetap masih menjadi pilihan kedua bagi parpol. Pada umumnya, parpol masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas parpol. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.
Rantai marjinalisasi yang terus berulang inilah yang menjadikan perempuan cenderung tidak memiliki kemandirian politik. Dalam panggung politik baik nasional maupun lokal, perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek, alih-alih subjek. Alhasil, partisipasi politik perempuan pun cenderung rendah.

Menurut Siti Musdah Mulia (2010), rendahnya partisipasi politik perempuan juga dilatari oleh adanya pemahaman dikotomistik tentang ruang publik dan ruang domestik. Bagi sebagian besar perempuan, terutama di level akar rumput dan pedesaan di mana mayoritas perempuan hidup, politik kerap dipersepsikan sebagai ruang publik yang tabu bagi perempuan. Politik juga kerap diidentikkan dengan kemandirian, kebebasan berpendapat dan agresivitas yang umumnya lekat dengan citra maskulin.

Lebih dari itu, perempuan desa pada umumnya juga belum sepenuhnya memahami esensi demokrasi dan pentingnya pemilu sebagai salah satu sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang adil, sejahtera dan demokratis.

Kemandirian Politik

Secara statistik, jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 juta jiwa, dan sekitar 50 persen di antaranya merupakan penduduk perempuan. Namun, dari pemilu ke pemilu, peta kekuasaan terkait keterwakilan perempuan cenderung tidak tampak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan tren negatif.

Pada Pemilu 2004 sebanyak 65 perempuan berhasil mendapatkan kursi di parlemen. Jumlah itu hanya menyumbang 11, 82 persen keterwakilan perempuan di DPR. Pada Pemilu 2009 jumlah keterwakilan perempuan di parlemen naik menjadi 17, 86 persen. Sayangnya, jumlah itu turun sedikit menjadi 17, 32 persen di Pemilu 2014. Saat ini, dari total 560 anggota DPR RI, 97 di antaranya adalah perempuan. Angka-angka itu sekaligus menunjukkan bahwa kuota 30 persen perwakilan perempuan di parlemen belum sepenuhnya termaksimalkan.

Peminggiran peran perempuan dalam kontestasi perempuan pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan. Deklarasi New Delhi 1997 menegaskan bahwa hak politik perempuan harus dipandang sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Ini artinya, jika kita mengakui hak asasi manusia, tidak ada alasan untuk kita tidak mengakui dan memfasilitasi hak politik perempuan.

Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local Politics menyebutkan bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi laki-laki dalam perpolitikan nasional adalah membentuk sebuah jejaring gerakan perempuan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat selama ini gerakan perempuan cenderung terpecah-pecah oleh perbedaan isu dan wacana yang diangkat.

Dalam lingkup yang lebih luas, diperlukan pula sebuah gerakan yang membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis keadilan gender. Persepsi publik bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tidak cocok dengan dunia politik mutlak harus diakhiri. Begitu pula tafsir keagamaan yang cenderung mengidentikkan kepemimpinan dengan maskulinitas idealnya harus digeser ke perspektif yang lebih sensitif gender.

Siti Nurul Hidayah peneliti, alumnus UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT