Pilpres 2019 dan Fanatisme Politik (yang Tak Perlu)
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pilpres 2019 dan Fanatisme Politik (yang Tak Perlu)

Rabu, 15 Agu 2018 16:50 WIB
Fitraya Ramadhanny
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Fitraya Ramadhanny
Jakarta - Bukan salah Jokowi dan Prabowo. Yang salah adalah rasa ketakutan yang ada di hati kecil kita semua. Itulah awal dari suasana gerah politik kita sekarang.

Sejak sekitar satu dekade lalu, obrolan politik bukan lagi barang mewah milik elite parpol, pemerintah, akademisi, dan mahasiswa. Public sphere yang digagas Juergen Habermas, tempat di mana orang bisa saling berargumen tentang politik, sudah 'going digital'. Semua orang bisa ikutan dari anak nongkrong sampai emak-emak.

Namun, berbeda dengan ruang publik sungguhan, ruang publik di dunia maya susah dikontrol. Anda mau tampil anonim atau menjadi alter ego tidak ada yang melarang. Ruang diskusi bercampur antara fakta dan fiksi, antara argumen dan sentimen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disadari atau tidak, media sosial menjadi "fear factory" yang terasa betul menebarkan ketakutan kita sejak hingar bingar Pilpres 2014, berlanjut ke Pilkada DKI 2017, dan pasti akan berlanjut ke Pilpres 2019. Alih-alih mencerdaskan, media sosial dikuasai pasukan cyber yang menebarkan ketakutan ke semua orang, mengganggu kenyamanan kita.

Kita ditakut-takuti di media sosial, dan takutlah kita secara sungguhan. Takut kalah, takut menderita, takut ditindas, takut sengsara. Kalau sudah takut, maka sia-sialah pendidikan tinggi yang kita tempuh. Sia-sialah sederet gelar sarjana itu. Otak kita mengalami gagal fungsi untuk mengolah informasi. Kalah dengan emosi.

Kita kembali ke insting manusia purba: insting mencari rasa nyaman, walau harus percaya kebohongan. Kita melahap apapun yang membuat kita merasa aman dan merasa menang. Perlahan-lahan, gaya masyarakat berpolitik jadi tak ada bedanya seperti suporter bola. Kita menjadi fanatik. Tim sepakbola lawan pasti salah, titik.

Urusannya jadi sekadar menang atau kalah. Mereka pikir menang adalah segalanya. Mereka ada di dimensi yang jauh berbeda dengan elite politik. Konflik, konsensus, dan kompromi adalah barang yang masih asing untuk masyarakat.

Padahal, persaingan elite politik kita dari dulu begitu-begitu aja. Tidak ada kawan dan lawan abadi. Konflik biasa, konsensus dan kompromi pun cair-cair saja. Mendadak cari wapres ulama atau mendadak cari wapres yang langsung auto santri ya santai saja. Bermain di dua kaki ya biasa. Pindah kubu politik pun adalah praktik-praktik lama.

Makanya, berhentilah 'menikmati' ketakutan dari media sosial. Berhentilah kecanduan dengan rasa ketakutan! Ayo, cari informasi yang benar dari kedua kubu politik. Tonton semua saluran TV, baca semua artikel dari media online dan cetak. Jangan mau dibodohi lewat media sosial! Nikmati dramanya dengan santai bersama segelas kopi dan camilan, tapi jangan mau ikut diadu. Menang cuma jadi arang, kalah jadi abu.

Tugas media massa yang benar dan bertanggung jawa adalah menjadi jembatan yang baik agar rakyat bisa lebih cepat memahami makhluk yang namanya politisi. Hari ini mereka masih bisa membakar-bakar emosi kita. Tapi, satu saat di masa depan sudah tidak bisa lagi kalau rakyat lebih cerdas.

Memilih Jokowi atau Prabowo itu perkara bubur ayam diaduk atau nggak diaduk. Sederhana saja, itu urusan selera. Kumpulkan informasi yang valid, lalu pilih sesuai nurani. Tidak perlu jadi bubur ayam rasa memperalat ulama pro cina komunis syiah liberal. Atau, bubur ayam rasa kardus mahar post islamis. Nggak usah dibikin ribet!

Fitraya Ramadhanny Redaktur Pelaksana di detikcom, tulisan ini pendapat pribadi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads