Namun, dasar nasib jadi seleb di negeri "lambe turah", ada saja netizen yang nyelonong dengan komentar nyinyir. "Tobat makanya, Mbak Dena!" kata seorang netizen. "Yah, mungkin ini juga bisa sebagai teguran buat Bu Dena biar jadi lebih baik lagi, enggak umbar-umbar aurat lagi," kata netizen yang lain.
Sedap, bukan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam epos Mahabharata, ada tokoh yang nyinyir sejak lahir. Namanya Sisupala. Oleh ayah angkatnya, sejak kecil ia dididik untuk membenci Kresna. Saat ia mengincar seorang putri raja untuk dijadikan istri, putri itu dilarikan oleh Kresna. Geram betul Sisupala, dan makin bencilah ia kepada Kresna.
Suatu ketika ia mendapatkan undangan dari Yudistira untuk menghadiri upacara Rajasuya. Dalam upacara itu, Kresna diangkat sebagai tamu kehormatan untuk mengenakan makhota ke atas kepala Yudistira. Ketika mengetahui hal itu, darah Sisupala mendidih.
Lupa tata krama, Sisupala bangkit dari kursi undangan dan mencela keputusan Yudistira. Tak berhenti di situ, ia menghina anggota Pandawa lainnya: Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ia juga merendahkan Drupadi, istri Pandawa. Tentu saja, dengan penuh dengki ia pun memaki Kresna. Ia menghina seluruh Kerajaan Indraprasta yang telah mengundangnya dengan hormat.
Hinaan dan makian itu bagaikan bahan bakar bagi api kebenciannya: makin mengobarkannya. Kata-kata hujatan semakin menjadi-jadi, semakin tak terkendali, keluar dari mulutnya. Sampai, ketika kelakuannya telah melampaui batas, Sisupala tewas dilibas Cakra, senjata milik Kresna.
Kelakuan Sisupala, dalam taraf yang tidak persis sama, mirip dengan kenyinyiran sebagian netizen. Digerakkan oleh benci dan dengki. Dibungkus oleh sikap sok suci. Orang sana menyebutnya holier-than-thou attitude. Orang Jawa menyebutnya semuci-suci.
Dalam ranah psikologi sosial, ada kajian yang disebut efek holier-than-thou. Kajian ini berangkat dari pengamatan bahwa orang biasanya terlalu optimistis atas keunggulan diri mereka. Bias ini cenderung semakin menguat dalam tataran moral dan kesalehan beragama. Orang menganggap diri mereka lebih bermoral, lebih saleh, lebih baik karakternya, dan hal itu dijadikan pembenaran untuk menghakimi pihak lain.
Menurut sebuah penelitian, berbagai jenis perilaku sebenarnya lebih digerakkan oleh situasi daripada oleh kekuatan kepribadian seseorang. Karenanya, pelanggaran yang dilakukan orang lain seharusnya menjadi sarana bagi kita untuk bercermin, mewaspadai kerentanan pribadi kita.
Ketika berada di luar arena, kita gampang mencela pelanggaran orang lain. Namun, saat berada dalam situasi dan kondisi serupa, menghadapi dilema serupa, bisa jadi kita tergoda untuk mengambil langkah kompromi yang serupa pula.
Alih-alih menjadikan rendah hati, efek semuci-suci ini lebih sering justru membuahkan dengki. Kita lalu menganggap pihak yang tidak atau belum memenuhi standar kesucian kita sebagai layak untuk diceramahi dan dicaci-maki.
Malangnya, di era media sosial ini, kenyinyiran semuci-suci ini ditengarai kian mencolok. Kita makin gampang terpapar oleh dampaknya, dan boleh jadi ikut terseret arusnya.
Dalam pertarungan politik, misalnya. Kubu sebelah sini merasa lebih Pancasilais dan berdiri di sisi yang benar (right side). Sebaliknya, kubu sebelah sana merasa lebih saleh dan lebih layak masuk surga. Sebenarnya keduanya sama-sama mau masuk surga, tetapi menginginkan kapling yang berbeda-beda.
Ada aktivis yang gencar menentang kasus A. Begitu juga dengan kasus B. Namun, ketika kasus C merebak, ia tidak bersuara. Komentar si nyinyir? "Aktivis kok tebang pilih!" Sebaliknya, aktivis lain gencar bersuara nyaris dalam setiap kasus. Komentar si nyinyir? "Dasar aktivis palugada!" Tidak ada yang benar di mata si nyinyir.
Yang cukup jamak dan berulang: mengaitkan bencana alam dengan kesalehan atau moralitas penduduk yang menjadi korban. Padahal, bencana alam bisa menimpa entah orang baik entah orang jahat. Tak pandang bulu.
Sikap semuci-suci juga dapat mengambil jalur yang lebih melingkar, lebih tersamar. Kita menganggap dosa dan pelanggaran kita lebih ringan. "Kita memang bukan wali atau santo, tetapi kita juga bukan diktator atau koruptor bejat, bukan penjahat kelas kakap. Wajarlah orang bikin kesalahan. Nobody's perfect."
Artinya, kita lunak terhadap diri sendiri, tetapi keras terhadap orang lain. Kita menilai orang lain berdasarkan perbuatan, dan menilai diri sendiri berdasarkan niat.
Pidato Presiden Jokowi di depan relawan yang menyebut, jangan takut kalau diajak berantem, membikin heboh. Kubu penentang Jokowi menganggapnya sebagai ungkapan yang mengarah kepada kekerasan, tetapi kubu Jokowi melihat ucapan itu sebagai kiasan.
"Intinya 'kan jangan mencari musuh, tetapi kalau ditantang berantem, ya berani dong! Masih mendinglah itu. Yang sebelah sana malah berulang-ulang menyerukan berperang! Gawat, kan?" begitu salah satu pembelaan yang muncul.
Namun, kegawalan atas pernyataan tersebut tidak lain karena meneguhkan dan --karena disampaikan dalam ajang persiapan kampanye pilpres mendatang-- meneruskan polarisasi "kita" versus "mereka" yang digoreng sejak Pilpres 2014 lalu.
Pada masa anak-anak pertama Adam dan Hawa, Kain, yang persembahannya ditolak Tuhan, membunuh saudaranya, Habel. Kini, kondisinya seakan berbalik. Orang-orang yang mengklaim dirinya dekat dengan Tuhan, yang menganggap dirinya berada di pihak yang benar, tak jarang malah "membunuh" saudaranya. Mungkin bukan dengan tikaman belati, melainkan dengan kenyinyiran yang semuci-suci.
Arie Saptaji penulis serabutan dan tukang nonton, tinggal di Yogyakarta
(mmu/mmu)