Menyegarkan Kembali Makna Haji

Kolom

Menyegarkan Kembali Makna Haji

Farid Fad - detikNews
Kamis, 09 Agu 2018 15:27 WIB
Foto: Fajar Pratama
Jakarta - Sejak 17 Juli lalu, para calon jamaah haji (calhaj) sudah banyak yang terbang meninggalkan Tanah Air. Mereka berduyun-duyun menuju Tanah Suci demi memenuhi panggilan Tuhannya. Menurut data Kementerian Agama, calhaj yang diberangkatkan tahun ini sejumlah 221.000 orang. Animo masyarakat yang sedemikian tinggi idealnya diimbangi dengan penyegaran pemaknaan terhadap ibadah penyempurna rukun Islam ini.

Haji merupakan ibadah simbolik, yang tak jarang "menggoda" orang untuk bolak-balik menunaikannya. Menurut Weissmahr (1983: 110), bahasa simbolik dipakai karena dalam simbol terdapat kesatuan erat antara pengetahuan inderawi, rasio, dan akal budi. Itulah alasan kenapa simbol adalah ungkapan yang paling tepat untuk membahasakan Yang Ilahi. Napak tilas perjuangan keluarga Ibrahim bukanlah sekedar artefak petilasan arkeologis, lebih dari itu, substansi haji bermakna menghidupkan kembali tugas kesejarahannya dalam mengisi ceruk peradaban kemanusiaan.

Memorabilia haji dimulai dengan balutan pakaian ihram, para jamaah mengambil miqat untuk memulai rangkaian haji. Batasan (miqat) spasial-temporal yang menghimpit manusia dalam menggoreskan narasi sejarah bukanlah sekadar untuk mementaskan lakon epik sekelas opera sabun, melainkan lebih dari itu, mengembalikan marwahnya dalam menunaikan misi profetik sebagai khalifah Tuhan.

Sekat-sekat identitas, jabatan, dan atribut keduniawian yang melekat pada diri manusia ditanggalkan untuk diganti dengan dua perca kain ihram sebagai simbol kebersahajaan. Melalui kesadaran eksistensialnya, semua jamaah melebur dalam citra manusia yang sesungguhnya, lelaku hamba (abid). Selain itu, mengingatkan kita bahwa hanya kafanlah yang akan membungkus jasad ini di penghujung dunia, selebihnya, pakaian ketakwaan (libasut takwa) yang akan langgeng menyelimuti kita di akhirat kelak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tawaf, memutari Ka'bah berlawanan arah jarum jam mengingatkan kita bahwa rotasi kehidupan menuntut manusia untuk senantiasa bergerak dinamis melawan arus waktu. Bila tidak berbuat dan bertindak, maka ia terlindas ganasnya roda zaman. Siklus hidup harus senantiasa ditasbihkan demi visi pengabdian terhadap peradaban dan kemanusiaan, bukan sebaliknya, digadaikan menjadi jongos kekuasaan dan kombatan nafsu.

Gerakan tawaf bila semakin mendekat pada pusat Ka'bah, maka akan terasa lebih gampang dan nyaman. Begitu pula dalam beragama, jika seseorang semakin mendekat pada inti ajaran agama, yang terasa adalah kedamaian dan rasa aman. Tidak ada kobaran kebencian, yang ada spirit welas asih. Pun, bukankah kata iman seakar dengan aman, hingga pancaran keimanan seseorang bisa memendarkan rasa kenyamanan bagi sekelilingnya?

Perjalanan (sa'i) hilir mudik tujuh kali antara Safa dan Marwa mengingatkan perjuangan Hajar mencari sumber air zamzam yang melimpah untuk puteranya, Ismail. Begitu pula dalam hidup, karya dan hasil yang melimpah (zamzam) amat ditentukan oleh seberapa besar pengorbanan dan tirakat yang diikhtiarkan. Sikap menyerah pada nasib tanpa cucuran keringat hanya akan membunyikan lonceng kematian menuju titik kepunahan.

Puncak haji adalah wukuf di padang Arafah. Betapa pentingnya ritual ini hingga Rasulullah SAW bersabda bahwa (inti) haji adalah Arafah. Wukuf mengandung makna berhenti sejenak dari hingar bingar duniawi, khusyu' membaca ulang, mengoreksi diri (arafa nafsah), kemudian merekonstruksi jalan hidupnya dalam meniti jalan mengenal Tuhan (arafa rabbah).

Wukuf mengisyaratkan bahwa segenap kegaduhan hidup harus dinolkan menuju jalan rohani. Aras kehidupan sepenuhnya dikalibrasi ulang demi ikhtiar merawat jiwa dan melampaui kebutuhan sukma. Keinsafan diri amatlah penting untuk meretas ekosistem berkeadaban yang penuh dengan nilai dan rasa kemanusiaan. Pendulum peradaban tak boleh tercemari oleh perilaku lupa diri (self-denial), apalagi sampai terseret dalam gempita panggung artifisial yang penuh kelancungan dan keculasan.

Haji mampu membuka selubung kesadaran kemanusiaan yang sebelumnya tenggelam oleh gelembung ego. Deraan-deraan kemanusiaan sehari-hari yang melumer dan membanjiri relung nurani menyebabkan hidup kita penuh pamrih, jauh dari rasa ikhlas. Nilai dasar ritual ini bisa menjadi dering pengingat untuk menyalakan kembali lentera keikhlasan yang cahayanya sempat redup oleh ampas kalabendu.

Melontar jumrah menjadi repertoar ingatan bahwa kita dituntut melakukan perlawanan total terhadap agresivitas hasrat-hasrat rendah (nafs al-syaithoniyyah). Konon, ritus ini bermula sewaktu Ibrahim diiming-iming Iblis untuk mengurungkan niat menyembelih Ismail, lalu Ibrahim tidak menyerah, ia melawan dengan melempari Iblis dengan batu.

Etosnya, titian cobaan dalam hidup sepatutnya dimaknai sebagai tantangan, bukan rintangan yang menghalangi langkah manusia. Pengorbanan, itulah spirit hidup yang diajarkan dalam kisah Ibrahim. Tanpa semangat berkorban, lanskap hidup akan terasa hambar dan malah menjerumuskan diri dalam kubangan lumpur sejarah.

Lebih dari kesemuanya, ritual haji yang menuntut kebersamaan bukanlah sekedar menemukan "aku" yang hilang, tetapi menghadirkan etos ke-kami-an yang hilang. Bisa dibilang ritus haji sebagai mekanisme katarsis yang merobohkan batas imajiner antara diri dan liyan, sekaligus kuali pelebur ragam di tengah pekatnya dengusan sektarianisme dan mengeruhnya ruang sosial. Tak heran bila Rasulullah menegaskan bahwa balasan haji yang mabrur tidak lain adalah surga, bukan? Wallahu a'lam.

Mohammad Farid Fad
esais, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang dan pengasuh Pondok Pesantren Raudlhatul Muta'alimin Kendal

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads