Hirup pikuk di masa pendaftaran capres dan cawapres sudah tercium aromanya. Perang kata-kata di dunia publik sudah mulai. Bahkan, ketegangan juga terjadi di antara partai pendukung kandidat presiden berhubung wapres posisinya masih belum ditentukan. Bagaimana posisi PSI sendiri soal wapres yang akan mendampingi Jokowi? Dalam kolom pendek ini, saya hendak mengemukakan pendapat pribadi --bukan sebagai Sekjen PSI-- tentang posisi wapres.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di negara-negara penganut demokrasi, wapres memiliki jabatan tertinggi kedua setelah presiden di ranah eksekutif, meskipun dia secara konstitusi diikutkan untuk dipilih oleh dalam peristiwa pilpres. Di Amerika Serikat, posisi wapres lebih terkonsentrasi untuk hal-hal yang terkait dengan urusan domestik dan juga urusan politik luar negeri. Kantor wapres adalah bagian dari kantor presiden. Di Prancis, meskipun sistem politiknya ada presidensialnya namun posisi wapres tidak diadakan. Presiden terpilih akan memiliki perdana menteri. Jika presiden berhalangan tetap, maka yang menggantikan adalah kepala senat untuk sementara menuju pemilu.
Sudah barang tentu, beda negara beda sistem politiknya. Di Indonesia, jabatan wapres dikatakan di dalam aturan kita sebagai pembantu presiden yang bertindak sebagai kepala pemerintahan dan juga kepala negara. Banyak kalangan awam yang masih belum bisa membedakan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan dan presiden sebagai kepala negara. Hal ini adalah tantangan tersendiri bagi kita karena ketidakpahaman sering menimbulkan judgment yang tidak adil pada presiden.
Sebagai pembantu presiden, apa yang dilakukan oleh wapres memiliki kualitas yang setara baik dalam konteks pemerintahan maupun kenegaraan. Kualitas bantuan wapres terhadap presiden di atas para menteri, kepala badan, dan lain-lain. Juga hal yang paling penting di sini adalah wapres bersama presiden untuk bersama-sama maju dalam pemilihan umum. Kalangan kita di Indonesia menyebutnya sistem paket.
***
Karena di Indonesia jabatan wapres begitu pentingnya, maka seorang calon presiden harus sangat ekstra hati-hati untuk menentukan siapa yang akan jadi pasangannya. Kalau saya menjadi capres, maka pertama-pertama yang akan menjadi pertimbangan saya dalam menentukan cawapres saya adalah soal kecocokan (chemistry). Soal kecocokan ini sangat penting karena cawapres adalah pembantu dan pengganti presiden dalam menjalan tugas pemerintahan dan kenegaraan.
Jika cawapres ini tidak memiliki kecocokan dengan capres, maka itu akan mengganggu tugas-tugas yang diembankan kepada presiden. Saya menempatkan kecocokan ini dalam prioritas pertama karena masalah ini akan menjadi penyumbang terbesar bagi kesuksesan kepemimpinan seorang presiden.
Kedua, mempertimbangkan kualitas dan kapabilitas sang cawapres. Dengan kata lain, cawapres adalah orang yang profesional dalam menjalankan posisinya sebagai pembantu presiden. Ada beberapa ukuran dalam soal ini, antara lain kualitas dan kapabilitas baik keilmuan dan skil birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Kepahaman yang tinggi cawapres pada urusan kenegaraan --dalam pengertiannya yang luas-- itu penting karena isu ini tidak di-handle dengan baik.
Ketiga, mempertimbangkan keinginan masyarakat secara umum dan juga sudah barang tentu partai-partai politik. Dilihat dari antusiasme masyarakat, tampaknya mereka ingin memiliki cawapres yang bersih (tidak ada catatan korupsi), cakap bertugas, dan mewakili kepentingan mereka. Jika partai-partai koalisi memiliki pertimbangan lain, maka pertimbangan itu juga sangat layak untuk didengarkan, namun biasanya sikap partai-partai ini akan mempertimbangkan konstituen mereka dan konstituen mereka adalah rakyat umum juga.
Keempat, sebagaimana kita tahu bahwa kini adalah era milenial. Partai saya adalah partai yang diperuntukkan untuk generasi ini. Karenanya, saya berpikir bahwa cawapres Jokowi sebaiknya berasal dari kalangan yang mampu meresap kepentingan mereka dan diterima oleh mereka. Secara umum adalah mereka yang berada di sekitaran atas dan bawah sedikit dari usia Jokowi.
Kelima, pertimbangan soal politik identitas. Maraknya politik identitas yang dijadikan sebagai preferensi untuk memilih dalam pemilu, meskipun belum terbukti dalam pilpres, namun Jokowi tetap saja perlu memperhatikan masalah ini untuk memilih wakilnya. Sedang ramai di media sosial kita bahwa seorang pemimpin harus mampu membawa aspirasi umat Islam. Selama ini, oleh kalangan lawannya yang menggunakan kekuatan media sosial, Jokowi dicitrakan sebagai pemimpin yang tidak dekat dengan Islam. Pembangunan citra seperti ini tidaklah benar, namun dalam era pasca-kebenaran dan era proliferasi media sosial, hal yang tidak benar bisa dianggap benar.
Saya berharap Jokowi memikirkan masalah ini. Sedikit catatan yang bisa saya berikan, pilihlah tokoh yang secara historis memiliki track record baik dan adil dalam urusan agama dan politik di Indonesia. Saya tahu bahwa banyak tokoh Islam yang dipertimbangkan oleh Jokowi sebagai cawapres. Namun, janganlah tokoh yang memiliki jejak tidak begitu mengenakkan soal politisasi agama. Saya perlu tekankan sekali lagi di sini bahwa tokoh-tokoh agama yang berada di kubu Jokowi tidaklah semua orang yang memiliki garis yang ajek dalam memperjuangkan nilai-nilai keindonesian, kebhinekaan, pluralisme, dan menghargai minoritas.
***
Melalui catatan pribadi saya ini, saya ingin kepemimpinan Jokowi ke depan didampingi oleh tokoh yang energik, memiliki hubungan yang baik dengan partai, mewakili keinginan masyarakat secara umum, memiliki track record yang adil dan baik dalam soal kehidupan toleransi dan pluralisme di Indonesia, dan terbuka untuk dialog dan kritik, dan secara usia tidaklah terlalu tua.
Raja Juli Antoni Sekjen PSI, mendapat gelar PhD dari School of Political Science and International Studies pada University of Queensland, Australia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini