Ulama, Agama, dan Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ulama, Agama, dan Politik

Rabu, 08 Agu 2018 13:57 WIB
Muhamad Mustaqim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ulama, Agama, dan Politik
Foto: Istimewa
Jakarta -

Sampai hari ini (8/8) belum ada kubu petarung Pilpres 2019 yang mendaftarkan capres dan cawapresnya ke KPU. Jangankan mendaftarkan, mengumumkan calon cawapres pun mereka masih wait and see. Dari pihak petahana, meskipun dikabarkan sudah ada nama cawapres yang disepakati parpol koalisi, namun nama tersebut masih disimpan rapat-rapat dalam peti berkunci. Dari pihak penantang, tampaknya masih galau menentukan pasangan cawapresnya, berusaha mengakomodasi partai koalisi. Masalahnya, salah mengambil keputusan bisa bubar koalisi yang sudah terbangun.

Beberapa analisis mengatakan, tokoh agama menjadi "artis seksi" yang akan menjadi pertimbangan pasangan capres. Di pihak Jokowi misalnya, beberapa nama yang beredar merupakan representasi dari kalangan agama, seperti Cak Imin , TGB, Romy, Mahfud MD. Senada, Prabowo yang pada beberapa momen kontestasi diasumsikan mewakili kalangan Islam, dihadapkan pada pilihan "ulama": Salim Al Jufri dan Ustad Abdul Somad.

Entitas ulama dalam Pilpres 2019 akan menjadi komoditas politik yang berharga mahal. Hal ini kiranya karena beberapa hal. Pertama, isu agama terbukti memberi peran penting dalam kontestasi politik. Pilkada Jakarta adalah pelajaran paling berharga yang harus diingat. Elektabilitas Anies-Sandi yang awalnya relatif kecil, mampu didongkrak dengan membonceng salah satunya isu agama. Para capres tentunya tidak ingin diruntuhkan hanya dengan isu berbau agama. Apalagi kedua petarung โ€“Jokowi dan Probowoโ€“ bukan merupakan representasi kalangan agama. Betapa kita masih ingat, pada Pilpres 2014 ada fenomena uji "ngaji" al-Quran yang ditantangkan pada kedua kandidat, yang merupakan sebuah sarkasme bahwa ngaji mereka berdua sangat mengecewakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agama selalu menjadi isu seksi dalam sebuah kontestasi politik. Hal ini karena agama merupakan nilai keyakinan ilahiah yang sakral bagi setiap orang. Umat beragama akan mudah digerakkan untuk melakukan sebuah tindakan atas nama agama. Apalagi jika menyentuh istilah-istilah ritus-dogma yang transenden seperti jihad, kafir, musyrik dan sejenisnya. Ada semacam kesadaran primordial bagi setiap pemeluk agama, dan ini sangat sensitif untuk digerakkan jika dibungkus dengan label agama. Dan, dalam politik selalu berlaku prinsip machavellian: semua sah dan halal untuk mencapai tujuan. Sekali lagi, Pilkada DKI telah membuktikan dogma dan adagium ini.

Kedua, dengan menggandeng ulama maka legitimasi rilijius akan mudah didapatkan. Apalagi jika lawan politik menggandeng kalangan agamawan, maka hukumnya menjadi fardhu ain untuk melakukan hal yang sama. Di tengah arus religious trend di kalangan milenial, maka berduet dengan kaum agamawan adalah sebuah keniscayaan strategi. Secara filosofis, kepemimpinan merupakan wakil Tuhan di muka bumi, demikian dalil filsafat teokrasi. Dengan dwitunggal nasionalis-ulama akan memberi legitimasi kepemimpinan yang berbasis agama. Atau, setidaknya menjawab logika terbalik, pihak lawan tidak akan mudah menjegal melalui isu agama.

Ketiga, dalam Islam ada konsep ulama-umara. Dia entitas ini diyakini menjadi penopang pilar negara, apalagi di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim. Menyatunya ulama (tokoh agama) dan umara (pemimpin/presiden) maka akan mampu membangkitkan kesadaran relijiusitas para pemilih yang merupakan mayoritas muslim. Dengan menggandeng ulama, maka akan mampu membawa konsep dwitunggal ulama-umara. Dan, hal ini secara marketing politik sangat menjual.

Kita nantikan saja detik-detik menegangkan ini dengan santai. Sesekali menonton tingkah polah politikus yang selalu dinamis โ€“untuk tidak mengatakan tidak konsisten atau plin plan. Sebagai penonton, tentunya hanya komentar dan harapan yang bisa kita berikan. Harapan, mungkin tampaknya sangat absurd dalam kontestasi politik. Namun, doa atau harapan ini dalam konsepsi politik Islam sangat berperan penting. Dalam pilar negara, sebagaimana yang disinggung sebelumnya, ada empat penyangganya.

Selain dua pilar ulama dan umara, ada dua pilar yang juga penting untuk diperhatikan. Pertama, aghniya', para hartawan-dermawan, kaum pemodal, pengusaha, atau bahasa ekstremnya para kapitalis. Mereka ini dalam kontestasi politik terbukti sangat menentukan. Tidak ada politisi yang tidak berkolaborasi dengan para pemodal, demikian pula para capres kita. Kedua, para fakir miskin (rakyat) seperti kita ini yang dalam redaksi hadis nabi tentang empat pilar ini disebutkan bi du'ai alfuqara' (doanya para fakir-miskin).

Dalam teori negara demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Rakyat yang notabene hanya penonton ini akan mampu menentukan hasil akhir kontestasi. Betapapun hebat strategi politik, lincahnya manuver, lihainya akrobat yang dimainkan, rakyatlah yang akan menentukannya. Wahai para capres-cawapres, silakan beri kami pertunjukan yang menarik!

Muhamad Mustaqim dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, mahasiswa Program Doktor UIN Walisongo Semarang

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads