Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Senin, 06 Agu 2018 14:53 WIB
Barid Hardiyanto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
Foto: Jordan
Jakarta - Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) merupakan salah satu agenda kerja pemerintahan Jokowi-JK. Dengan berbagai jalan, pemerintah bersama para pihak telah bekerja keras untuk mencapai target yang ditetapkan.

Di Jawa, terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 39 tahun 2017 tentang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) merupakan terobosan baru praktik perhutanan sosial. Peraturan menteri ini pada awalnya menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Bahkan pro-kontra tersebut hingga saat ini dapat dikatakan masih terus berlangsung.

Seperti yang kita saksikan bersama, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi didampingi Menteri LHK telah menyerahkan Izin Perhutanan Sosial kepada sejumlah kelompok masyarakat di Jawa mulai dari Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain itu beberapa usulan masyarakat yang lain saat ini sedang menunggu proses verifikasi. Pemikiran untuk memperkuat implementasi RAPS juga terus berkembang. Salah satunya adalah gagasan untuk melibatkan atau menjadikan institusi desa sebagai aktor utama dalam implementasi RAPS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi para penggagasnya, ide tersebut dipandang cukup realistis karena beberapa alasan. Pertama, desa merupakan institusi yang bersifat permanen yang akan terus ada untuk mengurus dan melayani kehidupan masyarakatnya. Berbeda dengan kelembagaan lain seperti kelompok tani, ataupun koperasi yang dari berbagai pengalaman masa lalu cenderung akan bubar atau tidak aktif mana kala program sudah berakhir atau karena tidak adanya sumber daya untuk mengelola kelompok tersebut.

Kedua, desa merupakan manifestasi representasi masyarakat yang dari waktu ke waktu pengelolaannya khususnya dalam bidang demokratisasi desa. Dengan demikian, diasumsikan Desa akan mampu menjadi agen untuk mendistribusikan pemanfaatan pengelolaan sumber daya di wilayahnya termasuk hutan.

Ketiga, desa adalah institusi yang memiliki sumber daya pendanaan untuk mendukung implementasi RAPS. Meskipun terkesan pragmatis, alasan ini cukup masuk akal mengingat berbagai kegiatan persiapan Perhutanan Sosial membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 19 tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2018 yang menyebutkan Perhutanan Sosial sebagai salah satu kegiatan prioritas dari anggaran desa.

Realitas di Lapangan

Pada desa-desa di Jawa, berdasarkan riset yang dilakukan para pegiat di Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa ditemukan adanya keragaman konflik agraria kehutanan pada masing-masing desa tersebut. Sebagai contoh di Desa Kedungasri, Banyuwangi. Di desa ini, setidaknya terdapat empat tipe konflik agraria kehutanan yang tentu saja membutuhkan tipologi reforma yang berbeda-beda.

Tipe pertama, berdasar buku Letter C milik Pemerintah Desa Kedungasri, seluruh wilayah Pondokasem yang mencapai 70 ha adalah tanah milik masyarakat yang dihuni 2.000an jiwa. Selain itu, telah terbit SPPT atas tanah tersebut sejak beberapa tahun yang lalu. Di sisi lain, Perum Perhutani selalu mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi Hutan Produksi. Kondisi wilayah tersebut saat ini adalah berupa pemukiman permanen, pekarangan, tegalan dan persawahan. Dalam hal ini, masyarakat mengajukan agar lahan tersebut masuk dalam skema tanah objek reforma agraria.

Kedua, tanah ini berada di pinggir hutan mangrove. Awalnya dipenuhi dengan tanaman kehutanan jati. Namun, "penjarahan" tahun 2000-an membuat hutan gundul. Masyarakat sejak saat itu mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut untuk pertanian sawah dan palawija. Oleh masyarakat, tanah ini akan diajukan Izin IPHPS

Ketiga, tanah hutan yang tak luput dari "penjarahan" hutan jati tahun 2000-an. Penanaman kembali cenderung berhasil di beberapa tempat, masyarakat mengolah dan memanfaatkan hasil dari penanaman tanaman pangan dan palawija di sela-sela tanaman kehutanan. Oleh masyarakat, tanah ini akan diajukan Izin Kemitraan.

Keempat, berada pada kawasan hutan lindung. Sebelum 1980, mangrove alam ini kondisinya bagus. Lambat laun rusak dan semakin rusak. Pada 2000-2004 masyarakat berupaya merehabilitasi 170 ha. Pada 2010, pemerintah desa, masyarakat, DKP dan berbagai pihak merehabilitasi 16.000 ha mangrove. Saat ini, Pemerintah Desa Kedungasri dan kelompok masyarakat mempromosikan wisata mangrove dan mengajukan areal itu untuk dikelola sebagai hutan lindung dan wisata desa.

Selain contoh di atas, dalam riset ini juga ditemukan bahwa pada 7 (tujuh) desa di 5 (lima) kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga mempunyai tipe-tipe konflik agraria kehutanan yang beragam dan dalam hal ini masing-masing desa merumuskan model reforma yang harus dilakukan dan hasilnya masing-masing desa berbeda-beda. Desa Sabrang, Jember memiliki tipologi konflik yang menghasilkan empat skema sekaligus yaitu TOR, Hutan Desa, IPHPS, dan Kemitraan.

Besuki dan Tenggangrejo (Tulungagung) mengajukan IPHPS dan Kemitraan. Ngrandu (Trenggalek) mengajukan TORA, IPHPS dan Kemitraan. Sedangkan, Timahan (Trenggalek) hanya mengajukan TORA. Agak berbeda dengan lainnya, Desa Grugu (Cilacap) yang konfliknya murni menuntut adanya pengembalian lahan kembali ke desa yang dulu dihilangkan karena kasus DI/TII pada dekade 1950-an dan PKI pada sekitar 1965.

Berdasarkan hal di atas, maka terdapat beberapa rekomendasi dalam penyelenggaraan implementasi RAPS di Jawa. Pertama, pemerintah seharusnya memperhatikan usulan masyarakat sesuai dengan tipologi sosial/sejarah dan fisik dalam kelola hutan. Kedua, pemerintah pusat membuat regulasi yang memungkinkan adanya skema Hutan Desa di Jawa untuk percepatan RAPS.

Akhirnya, dengan adanya kebijakan menjadikan desa sebagai subjek hukum implementasi RAPS di Jawa, maka bukanlah hal yang mustahil target RAPS dapat tercapai bahkan sangat mungkin melebihi target yang diinginkan.

Barid Hardiyanto Tim Riset RAPS Jawa, sedang menempuh program Doktoral di Ilmu Administrasi Publik UGM dengan pembiayaan beasiswa LPDP
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads