Akhir-akhir ini, headline berita terasa penuh riuh membahas aturan terbaru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tanpa diduga sebelumnya, BPJS kembali mengeluarkan aturan terbaru yang mulai berlaku pada akhir 25 Juli lalu. Dikutip dari laman Bpjs-kesehatan.go.id, BPJS Kesehatan lagi-lagi memperbarui peraturannya melalui Peraturan Direktur BPJS Kesehatan pada 25 Juli 2018.
BPJS Kesehatan menerapkan implementasi baru yaitu, (1) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
Adapun dasar yang digunakan BPJS Kesehatan dalam mengeluarkan aturan tersebut adalah ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Khususnya, Pasal 24 ayat 3 yang menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan. Peraturan baru tersebut tentu menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran di masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjelasan tersebut memiliki arti bahwa tidak seluruh pasien katarak yang ikut serta dalam jaminan BPJS kesehatan akan mendapatkan tindakan operasi. Harus ada kriteria tertentu agar pasien tersebut dapat dioperasi. Hal ini tentu saja sangat berpotensi merugikan beberapa pasien katarak lainnya. Dikhawatirkan BPJS Kesehatan menerapkan indikator yang terlalu tinggi kepada pasien katarak yang layak untuk dioperasi. Karena, sangat mungkin terjadi meskipun tingkat penyakit katarak seseorang pasien menurut BPJS Kesehatan belum layak untuk dioperasi, namun bisa jadi sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien tersebut.
Jangan dilupakan juga hak pasien. Mereka yang dianggap belum layak dioperasi menurut standar BPJS Kesehatan juga turut serta membayar iuran sebagai bentuk kewajiban terhadap BPJS Kesehatan. Artinya, mereka memiliki hak yang sama dengan pasien lainnya ketika kondisi kesehatan matanya dirasa sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kedua, terkait dengan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat. BPJS Kesehatan tetap menjamin semua jenis persalinan baik normal dan caesar. Namun, jika bayi membutuhkan pelayanan atau sumber daya khusus, misalnya bayi prematur yang baru lahir perlu penanganan melalui Neonatal Intensive Care Unit (NICU), maka tidak akan dijamin oleh BPJS Kesehatan. Perlu digarisbawahi, layanan bayi dengan menggunakan fasilitas NICU dijamin oleh BPJS Kesehatan pada aturan yang terdahulu. Artinya bahwa, dengan kewajiban iuran yang sama bahkan cenderung naik, ternyata pelayanan persalinan bagi ibu hamil justru berkurang secara kuantitas.
Ketiga, terkait rehabilitasi medik dan fisioterapi. BPJS Kesehatan mengklaim akan tetap menjamin pelayanan rehabilitasi medik dan fisioterapi, namun dengan kriteria frekuensi maksimal dua kali seminggu atau 8 kali sebulan. Pembatasan ini tentu akan berpotensi menyulitkan pasien rehabilitasi medik. Ketika intensitas pelayanan dikurangi, tentu akan memperlambat proses penyembuhan pasien.
Dapat disimpulkan bahwa tiga aturan baru yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan tidak berarti menghilangkan atau menghapuskan tiga layanan secara keseluruhan. Tiga aturan tersebut lebih menekankan pada peningkatan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan katarak, persalinan, dan rehabilitasi medik/fisioterapi dengan menambahkan kriteria atau indikator yang lebih ketat supaya pasien mendapatkan tindakan yang sesuai kondisinya.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang etika dan kepatutan, apakah bisa dikatakan patut dan adil ketika masyarakat peserta jaminan selalu dituntut untuk membayar iuran tepat waktu, dan ditambah beban iuran yang semakin besar, di saat bersamaan pihak BPJS Kesehatan justru terus menerus mengubah aturan dengan tempo yang sangat singkat, serta orientasinya mengurangi kuantitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat?
Jika alasan perubahan peraturan dan pengurangan jenis pelayanan kesehatan disebabkan oleh defisit yang selalu dialami oleh BPJS Kesehatan, justru hal ini akan menjadi pertanyaan baru, bagaimana mereka mengelola jaminan sosial tersebut? Perlu diingat bahwa para sumber daya manusia (SDM) yang mengelola BPJS Kesehatan merupakan SDM pilihan dengan gaji yang sangat besar. Artinya, secara kompetensi mereka mestinya sudah tidak diragukan lagi, tapi kenapa BPJS Kesehatan selalu mengklaim merugi (defisit), dan masyarakat peserta jaminan kesehatan yang selalu menjadi korbannya?
Dengan pola peraturan yang selalu berubah seperti ini, mungkin sudah saatnya masyarakat peserta BPJS Kesehatan mendapatkan kepastian melalui perjanjian asuransi atau pertanggungan bersifat konsensual (adanya kesepakatan). Harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta antara pihak yang mengadakan perjanjian (polis) agar masyarakat lebih tenang dan aman ketika ikut serta dalam BPJS Kesehatan.
Alternatif lain, BPJS Kesehatan bersama pemerintah harus berani membuat kontrak peraturan, setidaknya berani menjamin peraturan tidak akan berubah dalam jangka 5 atau 10 tahun ke depan. Hal itu agar menjadi warning bagi BPJS Kesehatan untuk dapat semakin serius mengelola jaminan kesehatan tersebut, dan para stakeholders mulai dari dokter, rumah sakit, hingga masyarakat dapat patuh dan nyaman menjalankan peraturan tersebut.
Gerry Mahendra dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (mmu/mmu)











































