Meninggal dunia karena kelaparan sebetulnya hanya kita dengar ceritanya di Zaman perang atau di reportase televisi yang melaporkan kondisi kronis negara-negara yang menjadi simbol kemiskinan, seperti Ethiopia, Bangladesh, atau negara di kawasan Benua Afrika yang terkenal langka sumber daya alam. Tetapi, kali ini cerita miris tentang kematian yang disebabkan karena kelaparan dan kemiskinan ternyata terjadi di Tanah Air. Sebagai negara sedang berkembang yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi di atas 5%, dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah, rasa-rasanya muskil mendengar kasus kematian warga masyarakat akibat kelaparan.
Sedikitnya tiga warga yang mendiami pedalaman Pulau Seram di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dilaporkan meninggal dunia akibat busung lapar. Sementara, ratusan jiwa penduduk yang lain mengalami kelaparan parah sejak sebulan terakhir. Bencana kelaparan menyebabkan sejumlah warga terserang busung lapar hingga sebagian akhirnya tewas. Di Pulau Seram ini, sebanyak 170 jiwa yang terdiri dari 75 orang dewasa, 60 orang usia lanjut, dan 35 balita saat ini dalam kondisi tengah menghadapi ancaman kelaparan akibat gagal panen.
Kasus kematian sejumlah warga akibat kelaparan seperti terjadi di Pulau Seram ini sebetulnya bukan hal baru. Sebelumnya kasus yang lebih parah juga pernah terjadi di Kabupaten Asmat, Papua. Di Kabupaten Asmat dilaporkan sedikitnya 60 warga meninggal gara-gara kekurangan gizi kronis dan serangan penyakit campak. Kondisi kelaparan menyebabkan daya tahan menurun, sehingga sedikit saja penyakit menyerang, maka akibatnya bisa sangat fatal βtermasuk meninggal dunia.
Berbagai Faktor
Di daerah daratan, apalagi di wilayah urban di mana masyarakat sangat mudah mengakses layanan kesehatan, kasus kematian warga akibat kemiskinan dan kelaparan umumnya tidak sering terjadi. Tetapi, untuk wilayah kepulauan atau di wilayah yang sulit dijangkau, kasus kematian karena kelaparan cenderung lebih terbuka terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sejumlah wilayah yang terisolasi, warga yang sakit biasanya harus menggunakan transportasi air, yang membutuhkan waktu berjam-jam. Itu pun tidak selalu tersedia setiap waktu, sehingga akhirnya warga yang bersangkutan meninggal di tengah jalan sebelum sempat menjalani perawatan. Tarif transportasi menggunakan kapal boat yang mahal, bahkan hingga jutaan rupiah sering menyebabkan warga masyarakat yang sakit akhirnya tidak memiliki banyak pilihan kecuali berusaha bertahan di tengah segala keterbatasan.
Di desa-desa yang terisolasi, sudah menjadi pengetahuan umum di sana biasanya minim atau bahkan tidak ada petugas kesehatan yang berjaga. Jangankan mencari puskesmas atau rumah sakit, dedikasi petugas kesehatan acapkali juga rendah. Meski sudah memperoleh SK ditempatkan di desa tertentu, tetapi tidak sedikit petugas kesehatan yang memilih tinggal di desa yang lebih desa kota dan hanya sesekali menjalankan tugas berdinas di desa yang terpencil.
Akibat minim tenaga medis, di berbagai desa yang terisolasi kerap terjadi masyarakat yang sakit lambat tertangani, sehingga berujung kematian korban. Respons petugas kesehatan acapkali lambat karena harus menghadapi medan yang sulit. Ini belum termasuk persediaan obat yang acapkali kurang, peralatan medis yang terbatas, dan tidak adanya transportasi yang mendukung mobilitas petugas.
Berbicara soal pengabdian dan kesediaan untuk menebar kebaikan serta memberikan layanan kepada masyarakat desa terpencil, di era sekarang ini tampaknya makin memudar. Empati untuk menolong warga masyarakat miskin di desa-desa terisolasi alih-alih makin meningkat, justru yang terjadi umumnya adalah memudarnya tanggung jawab dan solidaritas sosial.
Di desa-desa terpencil terkadang ada rohaniawan, aktivis LSM, dan orang-orang yang peduli memberikan layanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Tetapi, berharap stamina moral orang-orang yang peduli itu tetap tinggi harus diakui bukanlah hal yang mudah. Berbagai faktor seperti dipaparkan di atas ketika terakumulasi dan saling bertemali, akhirnya yang terjadi adalah sebuah tragedi yang sulit dinalar: meninggal karena kelaparan!
Terlambat
Kasus kematian sejumlah warga karena kelaparan sesungguhnya adalah kejadian luar biasa (KLB) yang tidak diharapkan pemerintah. Di usia bangsa Indonesia yang sudah 73 tahun merdeka, sebetulnya agak sulit dinalar jika bangsa ini masih harus menghadapi kasus kematian warga masyarakat karena kelaparan. Tetapi, fakta yang terjadi tidak dapat dibantah. Persoalannya di sini bukan pada berapa jumlah penduduk yang meninggal gara-gara kelaparan, namun lebih pada pertanyaan kenapa hal ini masih bisa terjadi? Di mana sebetulnya letak kesalahan yang terjadi?
Kita mungkin bisa berkilah bahwa kasus kematian beberapa atau belasan orang karena sakit atau karena kelaparan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan di sebuah bangsa yang jumlahnya 270 juta jiwa lebih. Dibandingkan negara-negara miskin lain, dari segi jumlah barangkali kasus yang terjadi di Papua atau di Pulau Seram bukanlah isu yang terlampau merisaukan.
Tetapi, masalahnya adalah kenapa bangsa ini tidak mau belajar dari pengalaman sebelumnya? Ketika kasus kematian sejumlah penduduk karena kelaparan terjadi di Papua, sejak itu seharusnya tidak lagi terjadi kasus yang sama. Ketika energi bangsa ini lebih banyak terserap untuk menyikapi konflik SARA, pemilihan presiden dan wakil presiden, penanganan kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan di lembaga pemasyarakatan, dan lain sebagainya, maka isu kemiskinan dan kelaparan sepertinya agak terabaikan. Begitu kasusnya terjadi, biasanya baru kita tersentak dan berusaha responsif, namun nasi sudah telanjur menjadi bubur. Korban telah berjatuhan, dan kita terlambat untuk menanganinya.
Bagong Suyanto Guru Besar dan Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di FISIP Universitas Airlangga