Menyemangati Guru di Tahun Ajaran Baru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menyemangati Guru di Tahun Ajaran Baru

Rabu, 01 Agu 2018 12:07 WIB
Liliana Muliastuti
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Nadia Permatasari
Jakarta - Pada permulaan Tahun Ajaran Baru 2018-2019 ini, baiklah kita beri semangat guru-guru yang mengajar anak-anak kita di sekolah. Kita dorong mereka untuk terus melakukan aktualisasi diri—bukan hanya menyangkut "perkara teknis" meningkatkan kemampuan sebagai guru, tetapi juga pada berkembangnya kesadaran dalam melihat profesi mereka sebagai panggilan jiwa, "laku hidup".

Kebetulan, dengan cara berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mencoba membangkitkan semangat para guru dengan cara "menyentil" mereka. Dari pemberitaan yang muncul, Sri Mulyani menyampaikan kritiknya kepada para guru saat memenuhi undangan "Dialog Pendidikan Nasional" Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta pada 10 Juli lalu.

Sri Mulyani mengkritisi guru yang telah mengikuti program sertifikasi guru, tetapi tidak serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dia senang karena guru sekarang harus disertifikasi, tetapi sekaligus mempertanyakan sikap guru yang sekadar prosedural mengejar sertifikasi agar bisa mendapatkan tunjangan profesi. Sementara, hasil sertifikasinya tidak mencerminkan apa-apa dan tidak berdampak pada kualitas profesionalnya sebagai guru. Akibatnya, di kawasan ASEAN saja, mutu pendidikan Indonesia mulai disalip oleh Vietnam yang semula berada di belakang Indonesia.

Menurut Sri Mulyani, kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru yang berinteraksi lebih lama dengan anak-anak dibandingkan dengan orangtua mereka sendiri. Dia merujuk studi Bank Dunia yang menyebutkan bahwa pencapaian peningkatan kualitas hasil sekolah bergantung sepenuhnya pada manajemen sekolah sampai kualitas tenaga pendidiknya.

Jangan "Baper"

Saya berharap para guru yang saya hormati tidak "baper" dengan kritik tersebut, dan justru terlecut semangatnya. Kritik menteri keuangan itu harus dilihat sebagai kritik dari sesama "keluarga besar pendidik". Sri Mulyani sendiri berlatar belakang dosen. Orangtuanya juga berlatar pendidik --dosen dan guru besar Universitas Negeri Semarang (dulu, IKIP Semarang).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuai amanah undang-undang, para guru memang harus bertanggung jawab dalam ikhtiar meningkatkan kemampuan profesionalnya. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Saya justru melihat, di balik kritiknya itu, Sri Mulyani ingin melecut "kesadaran" para guru terhadap kemuliaan profesinya. Apalagi pendidikan di Indonesia memiliki sejarah khas yang lahir dari tangan para guru yang bukan hanya pendidik, tetapi juga "agen perubahan". Mereka memainkan peranan penting dalam dinamika sejarah bangsanya—khususnya pada masa-masa kolonial pra-kemerdekaan.

Almarhum Daoed Joesoef, mantan Menteri pendidikan yang juga intelektual mumpuni, benar adanya. Dia pernah menegaskan, sejarah pendidikan nasional kita adalah sejarah yang patut dibanggakan. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang sewaktu masih dijajah sudah berani mendirikan sistem pendidikan nasional, berhadapan dengan sistem pendidikan kolonial (Belanda) yang berlaku.

Guru bangsa dan guru kalbu seperti Ki Hadjar Dewantara dan Moh. Syafei mempertaruhkan segalanya untuk menegakkan sistem pendidikan nasional yang bisa kita nikmati saat ini. Mereka meyakini, hanya dengan pendidikan bangsa Indonesia bisa lepas dari penjajahan. Pendidikan yang diinginkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar adalah pendidikan yang mencerminkan budaya bangsanya sendiri dan melahirkan manusia Indonesia yang mandiri.

Pada masa kemerdekaan, pemerintah juga terus berusaha meningkatkan mutu guru. Sekarang lulusan S-1 universitas/Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) pun tetap harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) setahun untuk mendapatkan sertifikat profesi guru SMP dan SMA/SMK, dan enam bulan untuk guru TK/SD. Pemerintah juga menerapkan tunjangan sertifikasi guru yang bertujuan memotivasi guru meningkatkan kualifikasi profesionalnya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bahkan "menaikkan status" penanganan guru dengan melakukan proses reorganisasi Direktorat Jenderal (Ditjen) baru di lingkungan Kemendikbud, yaitu Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan. Jadi, jika dirunut sebenarnya ikhtiar meningkatkan mutu guru—lewat berbagai perubahan kebijakan dan dukungan besaran anggaran—sudah berulang kali dilakukan.

Persoalannya, kenapa sampai hari ini kita masih berhadapan dengan masalah klasik mutu guru? Berbagai penilaian yang dilakukan Kemendikbud menunjukkan kompetensi pedagogi dan profesional guru rata-rata masih rendah. Bahkan keluhan soal mutu guru juga terjadi di Jakarta yang memberikan tunjangan kesejahteraan paling besar di Indonesia pada guru aparatur sipil negara (ASN). Guru di Jakarta juga paling berpeluang meningkatkan kompetensi karena kemudahan akses teknologi komunikasi dan informasi.

Persoalan mutu guru ini pada akhirnya juga merembet pada sorotan terhadap kinerja universitas/LPTK yang mempersiapkan calon guru. Ujung-ujungnya, kualitas LPTK pun dipertanyakan. Mantan Mendikbud Mohammad Nuh pernah mengkritik guru-guru lulusan LPTK hingga saat ini belum siap pakai. Mereka harus mendapat berbagai pelatihan lagi untuk memenuhi syarat kompetensi pedagogi, personal, dan profesional. Nuh menegaskan, LPTK mendesak untuk dibenahi mulai dari segi standar kelembagaan, sistem pendidikan, hingga pola perekrutan calon peserta agar dapat menghasilkan guru-guru berkualitas yang memenuhi ketiga syarat kompetensi tersebut.

Sebagai dosen LPTK, saya harus berbesar hati menerima kritik itu. Sejujurnya, LPTK memang masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah, mulai dari pembenahan tata kelola sampai peningkatan budaya akademis yang sejalan dengan Tri Darma Perguruan Tinggi. Salah satu yang juga harus serius dipikirkan kembali adalah soal perluasan mandat bagi universitas/LPTK yang sejak akhir 1990-an boleh membuka jurusan non-kependidikan.

Tampaknya universitas negeri yang dulunya berasal dari IKIP harus merumuskan "khittah"-nya kembali. Harus ada evaluasi yang kritis dan reflektif: seberapa jauh perluasan mandat itu berpengaruh terhadap tugas utama LPTK sebelumnya dalam mendidik calon guru?

Satu hal yang dapat saya usulkan buat LPTK adalah memperkuat kembali bekal wawasan sejarah pendidikan nasional, jati diri bangsa, dan kebanggaan mahasiswa calon guru. Menjadi guru adalah pilihan terhormat. Dulu, di Sekolah Pendidikan Guru saya tersentuh dengan cerita sejarah kaum pendidik kita yang luar biasa, yang disampaikan guru saya. Akibatnya tumbuh keyakinan, profesi guru bukanlah pekerjaan biasa. Ini pekerjaan luar biasa yang harus digeluti sepenuh hati.

Bapak dan ibu guru yang saya hormati, kehormatan kita tidak ditentukan oleh penilaian orang lain terhadap profesi kita. Kehormatan kita sebagai guru ditentukan oleh kita sendiri, dan apa yang kita lakukan untuk memuliakan profesi kita tersebut. Tegakkan kepala, tersenyumlah pada dunia. Mulailah menjadi guru kalbu, guru yang mengajar dari hati.

Liliana Muliastuti pendidik, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads