Di tengah suasana keramaian Taman Sriwedari, Hidjo dan Biroe memadu kasih dan berbagi resah. Malam itu menjadi awal perpisahan mereka berdua. Hidjo bakal pergi ke Belanda. Biroe akan ditinggalkan dalam jangka waktu yang lama. Tentu, Hidjo sadar pertemuan untuk mengabarkan perpisahan adalah hal yang paling menyebalkan baginya. Namun, ia tidak bisa mengelak. Sang ayah telah memilihkan Delf sebagai kota tempat tinggal selanjutnya.
Di sana Hidjo akan sekolah insinyur. Agar, kelak ketika sudah pulang kembali ke kampung halaman a bisa mendapat pekerjaan terhormat, dan gengsi keluarga terangkat. Bapak dan ibunya akan merasa percaya diri ketika bergaul dengan keluarga sesama priyayi. Sebab, kehadiran satu anak yang bersekolah ke luar negeri bisa menaikan derajat orangtua di pergaulan sosial.
Di sana Hidjo akan sekolah insinyur. Agar, kelak ketika sudah pulang kembali ke kampung halaman a bisa mendapat pekerjaan terhormat, dan gengsi keluarga terangkat. Bapak dan ibunya akan merasa percaya diri ketika bergaul dengan keluarga sesama priyayi. Sebab, kehadiran satu anak yang bersekolah ke luar negeri bisa menaikan derajat orangtua di pergaulan sosial.
Beberapa hari sebelum keberangkatan Hidjo, orangtua dan calon mertua sibuk mengadakan aneka hiburan di rumah. Hidjo dan Biroe tidak lupa mendatangi rumah keluarga, saudara, dan teman untuk berpamitan. Mereka akan berpisah untuk waktu yang tidak sebentar. Hidjo meminta restu hendak melanjutkan sekolah insinyur di negeri seberang demi membanggakan orang ua.
Kisah keberangkatan Hidjo ke kampus ditulis secara apik oleh Marco Kartodikromo dalam novelnya Student Hidjo (1919). Pada masa itu, hari-hari menjelang keberangkatan anak ke universitas menyibukkan keluarga besar. Mereka perlu mengadakan acara syukuran bertabur hiburan. Dua acara itu diselenggarakan agar doa restu mengalir deras dari para tetangga dan keluarga. Acara pamitan pun dikemas secara meriah dan kolosal.
Kisah Hidjo semakin meyakinkan kita bahwa pamitan menentukan kelancaran kita menjadi mahasiswa. Pamitan mungkin bisa dituduh sekadar formalitas. Namun, di dalamnya terdapat doa yang tulus dari dari orang-orang yang dipamiti. Pamitan menjadi kabar dan tanda awal perpisahan. Maka, seringkali narasi perpisahan itu selalu berbarengan dengan keharuan dan kesedihan berpisah.
Di Indonesia, narasi pamitan tercatat dalam biografi orang-orang yang hendak melanjutkan sekolah ke universitas. Kita bisa membaca kalimat-kalimat pamitan itu yang ditulis secara tersirat dan tersurat. Lacakan bisa dilakukan dalam buku biografi, novel, dan lagu. Ketiga media itu barangkali bisa mengisahkan pada kita bagaimana cara orang-orang berpamitan menuju universitas.
Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi (2006) tidak secara gamblang menuliskan kalimat pamitannya saat hendak naik ke kapal menuju Jakarta. Ia hanya menggambarkan detik-detik mengharukan saat berpamitan dengan sahabat, guru, dan orangtuanya. Pamitan ke Jakarta atas pertimbangan ingin meraih cita-cita "menginjakkan kaki di altas suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai Afrika."
Kampus dituju dengan niat berpetualang ke luar benua. Jakarta menjadi pintu masuk untuk membuka pintu negara-negara di dunia. Pamitan melanjutkan pendidikan ke universitas demi memuaskan dahaga berpetualang ke benua seberang. Ini yang membedakan dengan pamitan Hidjo. Sebab, Hidjo berkuliah demi mendapat pekerjaan. Sedangkan Ikal demi bisa berpetualang.
Perbedaan itu menjelaskan dua tokoh tesebut pamitannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan keilmuan. Kampus melulu dinarasikan secara ekonomis. Bahwa menjadi mahasiswa bisa berdampak pada status pekerjaan, atau bisa berpelesiran ke luar Indonesia. Suguhan kisah pamitan berkuliah yang dimaksudkan demi belajar atau keilmuan masih langka. Pemaknaan diri sebagai mahasiswa menyempit hanya untuk urusan kebanggaan diri dan keluarga lewat capaian pekerjaan, atau prestasi menjelajahi pelbagai negara.
Anggapan-anggapan bahwa kampus bisa memberi pekerjaan bisa diketahui sejak dari pamitan. Mereka sulit menghindar dari kondisi sosial yang selalu menggoda untuk menjadi manusia yang berhasil secara karier. Kisah-kisah dramatis menuju kampus sekadar keharuan berpisah dengan keluarga, teman, dan kekasih. Ketegangan itu hanya bersifat persoalan teknis, terpisah oleh jarak dan waktu.
Kisah yang berbeda disuguhkan Koesalah Soebagyo Toer dalam bukunya Kampus Kabelnaya (2003). Ia menceritakan detik dramatis berpamitan dengan istri. Ada dua pilihan yang diberikan padanya sebelum berangkat ke Rusia. Pertama, tetap di Indonesia dan meningalkan studi di Rusia. Kedua, tetap studi Rusia dan meninggalkan keluarga (bercerai). Menghadapi dua pilihan itu, Koesalah dengan berat hati memilih yang kedua. Alasannya, ia ingin mencari ilmu selagi muda sebelum menyesal di hari tua. Ia bercerai dengan istri demi melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Koesalah tentu adalah kisah lain. Adegan ia berpamitan menggambarkan ada nafsu keilmuan yang meluap-luap. Ia menghindar dari godaan berkuliah demi bisa tampil parlente di depan publik. Bagi Koesalah, berkuliah itu mesti berilmu. Risiko pencarian ilmu di masa muda yang sangat pedih terbayar dengan abadinya nama Koesalah sebagai penerjemah karya sastra Rusia dan salah satu orang yang fasih membicarkan sastra Rusia. Hingga sampai kini ketika beliau telah tiada, karya keilmuannya masih terus terbaca dan berguna bagi manusia-manusia yang lahir setelahnya.
Kisah Koesalah mirip lagunya Alika. Bahwa, berkuliah harus meninggalkan istri (kekasih): Aku pergi bukan berarti tak setia/ Aku pergi demi untuk cita-cita.
Kini, orang-orang yang telah menunaikan pendidikannya di SMA menyiapkan diri menjadi warga universitas. Ribuan orang bakal meninggalkan kampung halaman untuk menuju kota-kota tempat mereka berkuliah. Kalimat pamitan terucap dengan janji bakal menuntaskan studi tepat waktu agar tidak memberi sesal kepada orangtua. Mereka berhak mengikuti jejak Hidjo atau Ikal dalam melakoni peran sebagai mahasiswa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, orang-orang yang telah menunaikan pendidikannya di SMA menyiapkan diri menjadi warga universitas. Ribuan orang bakal meninggalkan kampung halaman untuk menuju kota-kota tempat mereka berkuliah. Kalimat pamitan terucap dengan janji bakal menuntaskan studi tepat waktu agar tidak memberi sesal kepada orangtua. Mereka berhak mengikuti jejak Hidjo atau Ikal dalam melakoni peran sebagai mahasiswa.
Kisah Koesalah adalah tandingan terhadap dua kisah tersebut agar peran sebagai mahasiswa tidak terlewati tanpa meninggalkan jejak keilmuan di kampus. Sebab, kita tahu pamitan atas dasar menggapai segunung ilmu itu mulia meski pamornya terus meredup dan tenggelam di balik arus deras orang-orang berpamitan demi pekerjaan dan pelesiran. Beruntung kita bertemu Koesalah. Darinya kita belajar berpamitan menuju kampus itu mesti atas dasar keilmuan.
Muhammad Yunan Setiawan mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Semarang (USM), santri di Rumah Kegiatan Singosari Sembilan (RKSS)
(mmu/mmu)
Muhammad Yunan Setiawan mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Semarang (USM), santri di Rumah Kegiatan Singosari Sembilan (RKSS)