Anak Muda di Jalan Sunyi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Anak Muda di Jalan Sunyi

Senin, 30 Jul 2018 09:22 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sabtu petang saat saya sedang melihat Festival Indonesia di Hibiya Park, Tokyo, ada teman yang berkirim pesan, minta waktu bertemu. Festival Indonesia yang sedianya akan dimulai dari hari Sabtu itu boleh dibilang tidak bisa berlangsung, karena guyuran hujan lebat sebagai akibat adanya Taifu 12 yang sedang menghantam Jepang. Saya memutuskan untuk kembali ke hotel, tapi tidak bisa segera, karena terhalang hujan lebat.

Di lobi hotel saya temui teman saya tadi, yang rela menunggu satu jam untuk bertemu saya. Ia seorang anak muda berumur 32 tahun, doktor dalam bidang Fisika, dan sekarang sedang menjadi assistant professor di almamater saya, Tohoku University. Kami dua orang dari generasi yang berbeda, terhubung oleh dua hal itu, yaitu Fisika dan Tohoku University. Ia lulus doktor di usia 28 tahun, dan empat tahun terakhir bekerja di universitas itu.

Anak muda ini sedang dalam perjalanan ke Paris untuk menghadiri International Conference on Semiconductor Physics. Ini adalah konferensi semikonduktor paling besar, diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Anak muda ini meneliti quantum hall effect dalam galium arsenide, sebuah tema fundamental dalam riset semikonduktor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam perbincangan, sekilas saya sempat bernostalgia dengan suasana saat saya sendiri masih jadi peneliti di Tohoku University. Mengikuti konferensi internasional adalah salah satu bagian tugas yang harus dijalani. Di satu sisi itu bermakna kita harus kerja keras terus agar bisa mendapatkan hasil baru untuk dipresentasikan. Di sisi lain, itu semacam bonus berupa kesempatan melihat berbagai sudut dunia.

Ada beberapa anak muda lain, peneliti Fisika lulusan Tohoku University yang saya kenal. Mereka adalah orang-orang yang cemerlang karena kecerdasan mereka. Selain anak muda yang menemui saya tadi, di Sendai, tempat Tohoku University berada, masih ada satu lagi anak muda yang juga meneliti semikonduktor, tapi dari aspek teori. Lalu ada lagi yang sekarang bekerja di Riken, sebuah lembaga riset pemerintah Jepang. Satu lagi saya dengar kabarnya sudah kembali ke Indonesia.

Anak-anak muda ini mampu melakukan pekerjaan riset kelas dunia, dalam arti karya ilmiah yang mereka hasilkan dari riset-riset itu layak ditampilkan di jurnal-jurnal ilmiah terkemuka atau dipresentasikan di konferensi internasional besar. Hasil riset mereka dirujuk oleh banyak peneliti lain dari berbagai belahan dunia.

Apa pentingnya itu? Itulah fondasi dasar sains dan teknologi. Berbagai produk teknologi yang kita pakai sekarang dihasilkan dari kerja-kerja seperti itu. Ada jutaan peneliti di seluruh dunia menghasilkan temuan-temuan baru, bekerja bersama membangun teknologi baru. Kalau kita lihat sekilas, secara lokal, terhadap apa yang mereka kerjakan setiap hari, kita tidak akan menemukan hubungannya dengan keseharian kita. Itu karena bangunan riset tersebut memang sangat besar dan rumit, sehingga kita harus melihatnya dalam format zoom out, sehingga bangunan utuhnya bisa tampak lebih jelas.

Kalau mau dianalogikan, kerja membangun sebuah teknologi baru itu seperti membangun sebuah rumah. Ada ribuan orang yang terlibat di situ, masing-masing menyumbang. Ada yang menyumbang dua-tiga bata, ada pula yang menyumbang genteng, tegel, dan sebagainya. Setelah jadi rumah, baru terlihat bentuknya. Kalau hanya melihat dua-tiga bata tadi, kita tidak akan punya gambaran tentang wujud rumah yang sedang dibangun.

Hanya dua-tiga bata? Ya, begitulah cara kerja riset. Tidak ada sosok individu yang bisa membangun rumah sendiri. Artinya, tidak ada peneliti yang bisa membangun teknologi atau sains sendiri. Ia hanya meneruskan yang sudah dilakukan oleh orang lain. Bahkan peneliti sekelas penerima Hadiah Nobel pun seperti itu perannya.

Sengaja tak saya sebut nama anak-anak muda tadi, karena memang tidak perlu. Kalau saya sebut pun mungkin Anda tak pernah mendengarnya, karena mereka memang tidak suka publikasi selain di dunia mereka, yaitu dunia ilmiah. Mereka bukan orang-orang yang tampil di TV dengan klaim bombastis, misalnya telah menemukan Teknologi X. Juga tidak berdiri di samping politikus, lalu mendapat sorotan karena sudah berhasil membuat sesuatu. Mereka juga tidak heboh di koran dengan celaan-celaan kepada pemerintah yang tidak mendukung riset yang mereka lakukan.

Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan sunyi, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian keseharian kita. Begitulah umumnya para peneliti. Dalam keseharian, mereka hanya sibuk berkutat dengan eksperimen dan kalkulasi, seminar dan konferensi, serta menulis makalah untuk jurnal ilmiah.

Ada banyak anak muda seperti yang saya sebut tadi. Mereka bertebaran di berbagai penjuru dunia. Sebagian bekerja di Indonesia. Pertanyaan klise tentang mereka adalah, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Dalam diskusi ringan saya dengan anak muda tadi, kami menyinggung soal masa depan dia. Saya terang-terangan mengatakan, carilah tempat riset di mana kamu bisa berkarier dengan lancar, tidak harus di Indonesia. Itu nasihat yang paling realistis. Dengan segala keterbatasan fasilitas dan dana, orang cemerlang hanya akan jadi sia-sia kalau memaksakan diri untuk pulang.

Tentu saja ada yang bisa meneliti dan menghasilkan karya dari Indonesia. Tapi, itu hanya segelintir. Fakta bahwa Indonesia bukanlah rumah yang baik bagi peneliti adalah sesuatu yang sulit dibantah.

Masalahnya, sampai kapan situasi ini akan terus berlangsung? Itu pertanyaan yang sulit dijawab. Pemerintah kita dari masa ke masa tidak punya gambar yang jelas soal peta riset. Itu satu paket dengan tidak jelasnya arah pendidikan kita. Ada banyak suara tentang betapa kacaunya dunia pendidikan. Tapi, kita tidak mendengar jawaban yang menggembirakan soal itu. Pemerintah sekarang khususnya, sibuk dengan urusan membangun infrastruktur, serta jungkir balik mengejar target pertumbuhan ekonomi, di tengah gempuran naiknya kurs dolar. Urusan riset menjadi terlalu mewah untuk dipikirkan.

Meski gundah ketika memikirkan soal riset Indonesia, setidaknya saya sedikit terhibur saat bertemu anak muda tadi. Saya selalu senang melihat anak-anak muda cemerlang seperti itu.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads