Samsun, Savic Ali, dan Dongeng Cinta
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Samsun, Savic Ali, dan Dongeng Cinta

Jumat, 27 Jul 2018 15:52 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Samsun, Savic Ali, dan Dongeng Cinta
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Jika kau datang ke kota Solo, mungkin kau bisa bertemu dengannya. Namanya Samsun, saya tidak tahu nama lengkapnya. Kehidupannya seperti cerita rakyat yang diwariskan turun temurun secara lisan, dari generasi ke generasi. Konon, ia pernah menjadi mahasiswa pada jurusan seni rupa di sebuah perguruan tinggi negeri di kota itu, namun hanya pada tahun pertama saja.

Samsun tidak menemukan kesenian di bangku kuliah. Meskipun begitu, Samsun tidak pernah menteorikan alasan atau defensif pada kegagalan (jika itu disebut sebagai kegagalan) seperti manusia yang tak menemukan masa depan pada bangku kuliah. Samsun hanya berpendapat untuk dirinya sendiri bahwa ia tak melihat seni pada institusi formal itu.

Selanjutnya, ia tetap mengunjungi kampus, tepatnya kantin kampus. Ia mengobrol dengan orang-orang seperti biasa sambil setiap detik tak lepas dari bilah bambu dan cutter dalam genggamannya. Selama bertahun-tahun, ia bermain dengan batang bambu, mencari dan menciptakan keindahan bersamanya sambil berjalan, ngopi di warung atau sekadar melamun sendirian di bawah pohon sirsak di tepi jalan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, Samsun adalah salah satu arsitek Bamboo Biennale, sebuah pameran kreasi bambu yang digelar dua tahun sekali di Solo. Sudah bisa dipastikan jika Anda datang ke acara ini, seluas mata memandang adalah para remaja maupun orangtua yang penuh sesak untuk mengambil foto-foto cantik di senja dan malam hari dengan latar kreasi bambu. Satu bentuk aktivitas yang justru tidak mungkin dijalani Samsun.

Samsun bahkan tidak memiliki ponsel, sebab tangannya hanya mengenali bambu dan cutter. Ini bukan bualan, Samsun memang tidak pernah punya ponsel hingga hari ini. Ia hanya seorang seniman berjiwa tekun pada suatu hal yang ia cintai, tanpa jaringan komunikasi. Kehidupanlah yang mencarinya.

Termasuk ketekunannya saat tak bisa menghindar dari pesona seorang perempuan. Suatu hari, laki-laki gondrong itu jatuh cinta pada Nabila, seorang mahasiswi Jurusan Sastra Inggris yang terpaut jauh angkatan di bawahnya. Tentu saja sebentuk jatuh cinta yang tanpa alasan. Nabila sangat menarik hatinya, dan itu cukup menjadi dasar mengapa ia jatuh cinta. Kali ini, kebutuhan Samsun bertambah. Samsun punya dorongan yang meledak-ledak untuk selalu mengirim puisi pada Nabila.

Kadang-kadang, kebutuhan menyampaikan teks sentimentil itu berlipat ganda dalam satu hari. Maka, setiap hari Samsun meminjam ponsel teman-teman yang ia jumpai di jalan untuk mengirim puisi kepada Nabila. Kabar terakhir, Samsun telah membuat ratusan kalimat indah dari susunan huruf N-A-B-I-L-A, dan telah terkirim kepada Nabila lewat ratusan nomor yang berbeda-beda pula.

Kreasi bambu yang dibikin Samsun mengingatkan saya pada obrolan bersama seorang senior NU Online, Savic Ali. Saya terpingkal-pingkal menertawai H&M yang mengeluarkan produk tampah dan dunak seharga ratusan ribu.

"Sudah tak fungsional, mahal pula. Orang-orang kota yang membeli produk H&M ini sudah pasti orang kurang cerdas," saya berpendapat.

"Kebudayaan manusia yang luhur justru ditandai dengan produk-produk yang tidak fungsional. Lihat saja lukisan-lukisan paling mahal yang katanya medium olah rasa. Serba fungsional itu artinya tekstualis, konservatif."

Betul juga. Manusia-manusia yang tidak suka suatu keindahan yang tidak fungsional biasanya mudah marah. Tapi, kan tidak harus mahal.

Samsun menjawab dorongan perasaannya dengan cara yang barangkali liar dan menakutkan untuk Nabila, cara yang tak pernah dilakukan oleh Savic Ali. Usianya sudah tak muda lagi meskipun saya kerap ingin menganggapnya sebagai pemuda karena gaya bicara meledak-ledak khas aktivis 98. Nama aslinya Syafiq Alieha. Sebagai penerjemah buku bertema cinta eksistensialis pada masa mahasiswa, ia ternyata tak cukup sukses dengan cinta (jika definisi sukses harus disamakan dengan pencapaian pada sebuah hal yang material).

Sebuah malam di Diskusi Kopi, Jakarta Selatan tiba-tiba Savic Ali berkhotbah tentang cinta. Cinta adalah konstruksi sosial, ia mengawali pembicaraan.

"Mau buktinya? Dulu, kakek dan nenek buyutmu tidak mungkin mendapat jodoh dari tempat yang jauh. Jangankan luar negeri seperti masa sekarang, zaman dulu nikah antardesa saja kecil kemungkinan. Sekarang, ketika dunia telah menjadi desa global, manusia bisa menemukan jodoh dari belahan bumi mana saja. Ini bukti bahwa pola cinta sebetulnya mengikuti zaman."

"Begitu pun rindu," lanjutnya, "Rindu itu tak ubahnya seperti kebutuhan kita kepada makan dan minum. Ketika kita ingin makan mie aceh dan es jeruk, tetapi ternyata hanya ada nasi goreng dan es teh, bisa jadi kau sedikit kecewa, tapi bukan berarti rasa laparmu tidak mendapat solusi. Jika kebutuhanmu mengobrol, kau tetap bisa mencari teman-teman lain, meskipun tidak harus bertemu seseorang yang kau inginkan."

Dengan begitu, menurut Savic, istilah bahwa jodoh selalu misterius, jodoh selalu sakral dan tak dinyana-nyana tak sepenuhnya benar. Manusia merancang peradaban dan kebudayaan, dan jodoh adalah satu elemen yang terkonstruksi di dalamnya. Sebagai mantan pembelajar filsafat di STF Driyarkara, temuan ini tentu saja tak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun, temuannya sungguh paradoks dengan prinsip anti-fungsional pada paragraf sebelum ini.

Perasaan-perasaan rindu yang dilebih-lebihkan ini tidak fungsional, yang artinya klausul penting estetika kemanusiaan, bukan?

Linimasa penuh sesak dengan hasrat berkuasa, akting para koruptor yang menjijikkan, dan sumpah serapah para pendukung politik sehingga manusia-manusia pendongeng cinta seperti Samsun dan Savic Ali terkadang jadi momen eskapis. Mari membual dengan sepotong bambu, kata-kata, dan perasaan yang tak berhasil diselesaikan. Memilih menjadi Samsun atau Savic?

Dan, sudahkah kalian jatuh cinta hari ini?

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads