Caleg Pesohor dan Pragmatisme Parpol

Kolom

Caleg Pesohor dan Pragmatisme Parpol

Nurrochman - detikNews
Jumat, 27 Jul 2018 14:16 WIB
Ilustrasi: Mindra Purnomo/detikcom
Jakarta - Pendaftaran bakal calon legislatif resmi ditutup Selasa, 17 Juli lalu. Sebanyak 16 parpol peserta Pemilu Nasional 2019 telah mengajukan nama-nama bacaleg yang akan bertarung memperebutkan kursi anggota dewan legislatif tahun depan.

Dari nama-nama yang diajukan parpol, terselip sejumlah pesohor dunia hiburan yang tidak asing lagi bagi publik. Nasdem menjadi partai dengan jumlah bacaleg dari kalangan selebritis terbanyak, yakni 27 orang. Disusul kemudian PDIP 13 bacaleg, PKB 7 bacaleg, Berkarya 5 bacaleg, Demokrat, PAN dan Golkar masing-masing 4 bacaleg, Perindo dan Gerindra 3 bacaleg, dan PSI satu bacaleg.

Meski bukan fenomena baru, keterlibatan kalangan selebritis dalam kontestasi politik praktis tetap menarik untuk diperbincangkan. Setelah 20 tahun Reformasi berjalan, kondisi masyarakat sipil sudah mengalami banyak perubahan ke arah positif, terutama terkait kesadaran dalam berpolitik. Kesadaran itu dalam banyak hal tentu berpengaruh pada preferensi pemilih terhadap figur calon legislatif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkaca pada hasil Pilkada Serentak 2018, perilaku pemilih cenderung cair; tidak lagi terikat pada konsep politik aliran, ideologi, maupun sentimen identitas yang selama ini menjadi komoditas politik parpol. Boleh dibilang, perilaku politik masyarakat kian mengarah pada corak rasional-kritis.

Sayangnya, gejala meningkatnya kesadaran politik masyarakat itu tidak diimbangi dengan membaiknya kinerja parpol sebagai lembaga rekrutmen politik. Fenomena bacaleg selebritis membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa pola rekrutmen bacaleg nisbi tidak banyak mengalami perubahan. Parpol pada umumnya masih mengedepankan aspek persona dan popularitas alih-alih kemampuan intelektualitas, rekam jejak, serta integritas dalam menentukan bacaleg.

Secara statistik, jumlah anggota legislatif dari kalangan selebritis cenderung mengalami fluktuasi di setiap periode pemilu. Pada Pemilu 2004, 13 dari 48 parpol peserta pemilu tercatat mengajukan caleg dari kalangan selebritis. Pada Pemilu 2009, dari 38 parpol peserta pemilu, 11 di antaranya melibatkan selebritis sebagai calon legislatif. Sementara, pada Pemilu 2014 lalu, sebanyak 10 partai dari total 12 parpol mengajukan caleg dari kalangan selebritis.

Secara umum, jumlah partai yang mengusung selebritis sebagai caleg memang mengalami penurunan. Namun, jumlah caleg selebritis justru mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu. Sebagai gambaran, pada Pemilu 2004 terdapat 38 caleg dari kalangan selebritis. Jumlah itu naik menjadi 61 orang pada Pemilu 2009, dan melonjak ke angka 77 orang pada Pemilu 2014.

Memang tidak semua caleg berlatar belakang dunia hiburan berhasil menaklukkan ketatnya kontestasi politik elektoral nasional. Pada 2004, dari 38 caleg selebritis tercatat hanya 7 caleg yang berhasil melenggang ke DPR. Pada 2009, dari 61 caleg hanya 19 yang terpilih, dan pada 2014, dari 77 caleg hanya 22 yang berhasil melewati ambang batas suara.

Perubahan Mekanisme

Ikhsan Darmawan (2015) menyebut bahwa kemunculan fenomena caleg selebritis dilatari oleh adanya perubahan mekanisme pemilu dari sistem pemilu proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka yang dimulai pada Pemilu 2004.

Dalam sistem proporsional tertutup, masyarakat hanya memilih parpol. Raihan suara parpol itulah yang kemudian dikonversikan ke dalam jumlah kursi legislatif di DPR atau DPRD. Konsekuesinya, parpol sepenuhnya memegang kendali ihwal siapa yag akan menduduki kursi legislatif.

Sebaliknya, dalam sistem proporsional terbuka, masyarakat diberikan hak untuk memilih anggota legislatif secara langsung. Pada titik ini, parpol tidak lagi menjadi satu-satunya mesin pendulang suara paling efektif.

Preferensi pilihan politik masyarakat lebih banyak ditentukan oleh figur caleg yang diusung parpol. Menjadi tidak mengherankan jika parpol kemudian mengusung caleg dengan persona dan popularitas yang kuat yang diasumsikan akan menjadi pendulang suara (vote getter).

Pada saat yang sama, pergeseran sistem pemilu dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka juga mengubah model komunikasi politik. Cara-cara konvensional seperti kampanye terbuka atau pawai politik dianggap tidak lagi representatif untuk meraih simpati publik. Dalam konteks pemilu terbuka, komunikasi politik jauh lebih efektif dilakukan melalui media massa, salah satunya melalui televisi. Fenomena inilah yang diistilahkan oleh Michel Bauman (2007) sebagai telepolitics.

Komunikasi politik dalam semesta telepolitik meniscayakan adanya transformasi pesan melalui serangkaian citra (image) dan tanda (sign). Tampilan fisik, gaya bicara, gestur dan hal-hal sejenisnya menjadi faktor penting bagi keberhasilan komunikasi politik di media massa.

Hal ini tentu menguntungkan bagi kalangan selebritis yang sebelumnya memang terbiasa dengan dunia media massa. Status media darling yang disandang kalangan selebritis itu tentu memudahkan mereka dalam memaksimalkan potensi elektoral.

Tiga Persoalan

Secara konstitusional, setiap warganegara Indonesia terlepas dari latar belakangnya memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Klausul hukum itu tentu mustahil dibantah. Namun, harus diakui bahwa fenomena caleg selebritis dalam banyak hal telah mencederai proses demokrasi berbasis meritokrasi yang selama ini menjadi salah satu agenda Reformasi.

Sejumlah studi atas fenomena caleg selebritis umumnya menghasilkan kesimpulan yang cenderung negatif. Maulana Rifai (2015) dalam penelitiannya bertajuk Celebrities in Indonesian Politics misalnya, menyebut bahwa anggota legislatif dari kalangan selebritis umumnya gagal menjalankan perannya secara maksimal. Hal ini dilatari oleh minimnya pengetahuan tentang tugas dan wewenang legislatif.

Belum lagi banyak legislatif dari kalangan selebritis sama sekali tidak memiliki pengalaman dan latar belakang di dunia politik. Akibatnya, mereka mengalami semacam kegagapan ketika berhadapan dengan kerja-kerja legislasi; penyusunan UU, perencanaan anggaran, dan sejenisnya. Di atas itu semua, fenomena bacaleg dari kalangan selebritis mengindikasikan adanya setidaknya tiga persoalan di tubuh kebanyakan parpol.

Pertama, parpol terbilang gagal melakukan proses kaderisasi politik dan menyiapkan figur-figur mumpuni untuk ditawarkan pada publik. Kedua, parpol mengalami semacam sindrom ketidakpercayaan diri atas kualitas kadernya. Sikap tidak percaya diri itulah yang membuat parpol mengambil jalan pintas dengan merekrut selebritis yang sudah dikenal publik luas.

Ketiga, fenomena caleg artis kian mengukuhkan karakter parpol sebagai institusi politik yang bersifat pragmatis. Pragmatisme itu mewujud dalam pola pikir yang menganggap bahwa aktivitas politik adalah kerja meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bahkan, acapkali kekuasaan itu diraih dan dipertahankan melalui cara-cara di luar nalar dan nurani. Parpol seolah lupa bahwa esensi politik adalah perjuangan sosial.

Peran dewan legislatif dalam sistem politik demokrasi amatlah vital. Dalam konteks pembagian kewenangan trias politika, legislatif memiliki tugas mengawai kinerja eksekutif (pemerintah). Dalam konteks inilah, legislatif harus mampu mengamalkan filosofi check and balances sekaligus memastikan pemerintah bekerja sesuai konstitusi.

Di sisi lain, publik juga menaruh harap berlebih pada dewan legislatif sebagai penyambung aspirasi warganegara kepada pemerintah. Tugas mahaberat itu tentu selayaknya diampu oleh figur-figur yang tidak hanya memiliki kecakapan dan intelektualitas tinggi, namun juga memiliki rekam jejak yang bersih dan integritas yang meyakinkan. Ironis jika lembaga legislatif justru lebih banyak diisi oleh para pesohor yang hanya pandai mematut citra di depan kamera, namun gagap di meja kerja.

Nurrochman mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads