Mimikri Politik Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mimikri Politik Jokowi

Rabu, 25 Jul 2018 15:02 WIB
Anwar Saragih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Joko Widodo
Jakarta -

Karakter dan kepemimpinan adalah kesatuan utuh yang linier. Keduanya saling mengikat satu sama lain dan tak pernah bisa terpisahkan. Meski harus diakui seseorang bisa saja menjadi orang lain ketika sedang running dalam sebuah kampanye politik, namun pada satu titik karakter orang tersebut akan kembali ke pola sifat aslinya saat kontestasi pemilu dinyatakan selesai.

Siapa yang bisa memungkiri bahwa Sukarno adalah orator yang ulung? Di awal Kemerdekaan pada 1945, semua orang nyaris bersepakat bahwa Indonesia membutuhkan gaya kepemimpinan seperti Sukarno. Konseptor yang hebat, kaya akan diksi yang penuh metafor, dan memiliki jiwa yang revolusioner.

Kemudian 21 tahun sesudahnya, pada 1966 muncul Soeharto, sosok militer administrator yang andal pula di bidang ekonomi. Soeharto membawa kita dalam program-program pembangunan yang terpatron terhadap pemerintah pusat. Pun membuat rakyat tak punya banyak pilihan kecuali mentaati aturan yang dicanangkan rezim Orde Baru dengan pola piramida kekuasaan ABRI, Golkar, dan Birokrasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika zaman sudah berubah, pada 1998, setelah 32 tahun Soeharto berkuasa, masyarakat Indonesia seperti mendambakan kebaruan dalam kepemimpinan. Kepemimpinan yang sifatnya partisipatoris yang berporos langsung ke rakyat. Rakyat menginginkan untuk bebas berpendapat, bebas berbicara, bebas berekspresi, dan memiliki kesempatan langsung memilih pemimpinnya pula. Para demonstran yang ramai-ramai turun ke jalan untuk menumbangkan rezim Orde Baru saat itu kemudian menamainya Reformasi.

Tak Baru Lagi

Duapuluh tahun sudah Reformasi berjalan. Kepemimpinan yang dulunya mendapatkan sanjungan dari para demonstran itu pun kini sudah dianggap sudah tak baru lagi. Secara berurutan, kita pernah memiliki presiden yang sangat pintar seperti BJ Habibie (1999), dan presiden yang dikenal sangat pluralis seperti Gus Dur (1999-2001). Teristimewa, kita bahkan punya presiden perempuan pertama dan satu-satunya yaitu Megawati Soekarnoputri (2001-2004). Bahkan masih eksis menjadi ketua umum sebuah partai politik hingga hari ini.

Tidak sampai di situ, pada 2004, di tengah kejengahan kita dalam memilih presiden melalui DPR, kita bersepakat bahwa pemilihan presiden harus dilakukan secara langsung oleh rakyat. Hal ini pun bahkan berhasil kita wujudkan. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah produk pertama pilpres langsung itu. Dua kali pula SBY terpilih menjadi Presiden Indonesia yaitu 2004-2009 dan 2009-2014. Artinya, sepuluh tahun pula SBY menjadi presiden dengan segala kelebihan dan kekurangannya dalam memimpin Indonesia. Tak jauh dengan Megawati, saat purnatugas dalam memimpin Indonesia, SBY memilih karier politik dengan menjadi ketua umum partai.

Selanjutnya, Pilpres 2014 menghasilkan nama Joko Widodo atau kerap disapa Jokowi dalam estafet kepemimpinan Indonesia. Jokowi bisa dikatakan tipe pemimpin yang lahir dari solidarity-maker karena bukan berasal dari trah elite kekuatan politik, baik itu militer, ulama, atau keturunan pemimpin sebelumnya. Jokowi lahir dari proses panjang demokrasi dengan menaklukkan pilkada terlebih dahulu yaitu dengan menjadi Walikota Surakarta (2005-2012) dan Gubernur DKI Jakarta (2012-2014).

Mimikri

Jika Anda seorang penggemar sepak bola, mungkin Anda masih mengingat kala Cristiano Ronaldo pada 2013 mendapat komentar berbau kritik dari Presiden FIFA Sepp Blatter yang mengatakan bahwa Messi anak baik sementara Ronaldo layaknya komandan di lapangan. Tak lama sesudah kritik dari Blatter tersebut, di pertandingan melawan Sevilla, Ronaldo melakukan selebrasi saat mencetak gol seperti penghormatan layaknya tentara untuk menjawab kritik Blatter.

Pun saat Dani Alves mendapat perlakukan rasis ketika masih berseragam Barcelona. Saat dilempari pisang oleh suporter lawan, dengan sigap Alves berlari mengambil pisang tersebut lalu memakannya. Seisi stadion bergemuruh hari itu, dan tak sedikit yang tepuk tangan dengan cara Alves melawan rasis yang ditujukan kepadanya.

Apa yang dilakukan Ronaldo dan Alves adalah mimikri. Pada pemahaman yang lebih sederhana, mimikri adalah proses penyesuaian diri terhadap lingkungan untuk melindungi diri dari bahaya. Seperti bunglon yang menyesuaikan diri dan bisa berubah warna dengan tempat yang dihinggapinya. Selama empat tahun menjadi presiden, kita kerap menyaksikan mimikri politik Jokowi di banyak kesempatan dalam menjawab kritik maupun kala berhadapan dengan "lawan" politiknya.

Tiga tahun yang lalu, pada pertengahan Desember 2015 situasi politik Indonesia sedang panas-panasnya. Saat sidang etik putusan terhadap Setya Novanto berlangsung di Mahkamah Dewan Kehormatan (MKD) DPR terkait kasus "Papa Minta Saham". Secara bersamaan saat berlangsungnya sidang, Jokowi mengundang para pelawak Indonesia ke Istana. Apa yang dilakukan Jokowi dengan tertawa bersama pelawak seolah ingin menyindir dagelan di DPR. Pun Jokowi seperti mengamini apa yang pernah diucapkan Gus Dur beberapa waktu lalu, yang mengatakan "DPR tak ubahnya taman kanak-kanak."

Kemudian, jika kita ingat secara utuh, dua tahun yang lalu pada sekitaran Maret 2016, SBY seolah mempertanyakan kemampuan Jokowi dalam manajemen kepemimpinan dengan mengatakan bahwa pada masa pemerintahannya tidak ada kegaduhan antarmenteri. Jokowi pun langsung menjawab sindiran itu. Dengan cara? Saat SBY sedang melakukan aktivitas politiknya mengelilingi Jawa bertema "Tour de Java", Jokowi mengunjungi proyek mangkrak yang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat (saat itu) Nazaruddin, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Menpora Andi Mallarangeng.

Lalu hal tersahih adalah saat ratusan orang melakukan demo beratributkan kaos #2019GantiPresiden di depan Warung Martabak Markobar milik anaknya, Gibran di Solo pada awal Juli 2018 lalu. Tak lama sesudahnya, saat akhir pekan pula, Jokowi mengajak cucunya, Jan Ethes bermain dan berolahraga dalam rangka promosi Asian Games 2018. Pada video tersebut terlihat bagaimana Jokowi mengajarkan cucunya berolahraga secara fair. Artinya secara tersirat pula Jokowi ingin mengatakan, dalam pertarungan dan kompetisi (politik) jangan pernah libatkan anak-anak. Karena melibatkan anak-anak adalah panggung yang tidak adil.

Juga sekarang ini, saat situasi politik sedang sibuk-sibuknya soal cawapres yang akan mendampinginya. Mimikri politik Jokowi sangat menarik untuk disimak dan diperhatikan. Seperti kala Jokowi mengenakan kaos oblong berwarna kuning sebagai representasi warna Partai Golkar saat bertemu Airlangga Hartarto di Istana Negara.

Pun kala Jokowi berkali-kali mengajak jalan Ketua Umum PPP Romahurmuziy dalam banyak aktivitasnya, ketika Muhaimin Iskandar (Cak Imin) masih "jual mahal" soal dukungan PKB pada Jokowi dengan ragam posisi tawar politik. Hal ini menunjukkan pula, Jokowi sangat mahir dalam memainkan mimikri politik. Sebab, seperti yang kita ketahui baik PKB dan PPP memiliki basis konstituen yang hampir sama yaitu warga NU.

Satire

Tidak bisa dipungkiri, salah satu sifat mimikri politik yang dipanggungkan Jokowi adalah satire. Jokowi memainkan satire humor yang terkadang mengundang tawa dan decak kagum para penikmatnya. Hal ini terlihat dari ragam gestur, pidato, pamflet, video, dan foto yang ia bagikan dalam setiap aktivitasnya. Lebih lagi, simbol-simbol yang dikeluarkan Jokowi terkadang bisa ditafsirkan dengan beribu makna bentuknya dalam menjawab pertanyaan, menjawab kritikan, hingga membalas sindiran.

Mimikri politik ini pula yang membuat Jokowi berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Jokowi memang tidak terlihat sebagai orator yang ulung, yang berapi-api ketika pidato. Pun kita tidak pernah melihat Jokowi melakukan stage diving, meloncat dari panggung dalam lautan massa ketika bertemu rakyat. Jokowi juga tidak pernah menangis saat berpidato menanggapi isu yang berkaitan dengannya secara pribadi yang sifatnya privat attact, atau mengeluh di akun media sosial pribadi miliknya.

Jokowi selalu menjawabnya dengan cara yang unik dengan mimikri politik khasnya.

Anwar Saragih konsultan politik dan dosen di Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads