Mendiagnosis Potensi Kegagalan PSI
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mendiagnosis Potensi Kegagalan PSI

Selasa, 24 Jul 2018 11:46 WIB
Ikrama Masloman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mendiagnosis Potensi Kegagalan PSI
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Fenomena Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada mulanya dianggap mampu mewarnai bahkan menjadi kekuatan baru dalam jagat politik nasional. Dengan mengusung slogan "Parpol Generasi Milenial" yang merupakan segmen umur pemilih terbesar di Indonesia, yaitu 40% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT), ekspektasi ini bukan tidak beralasan. Apalagi menelisik kesuksesan Partai Demosisto di Hong Kong, partai besutan Nathan Law (24 tahun) dan Joshua Wong (21 tahun), yang berhasil menyabet kursi parlemen dan menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan, sekaligus untuk pertama kalinya politik Hong Kong memberikan tempat kepada aktivis milenial pro-demokrasi.

Tak hanya di Hong Kong, geliat Gen Milenial terbukti berhasil di daratan Eropa dan Amerika. Sebastian Kurz (31 tahun) dipastikan menjadi Kanselir Austria, dan Emmanuel Macron (39) terpilih sebagai Presiden Prancis --sebelumnya di umur 35 tahun ia adalah Menteri Perekonomian. Dan, yang juga muda adalah Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada. Dalam konteks Indonesia mungkin sulit membayangkan generasi ini merebut tampuk kekuasaan; remah-remah kekuasaan saja kerap gen ini tidak kebagian.

Berbeda dengan The Founding Fathers kita dulu, di usia yang sama dengan Gen Milenial hari ini, mereka adalah pembuat putusan (decision maker) penentu arah bangsa. Di umur 26 tahun Sukarno menahkodai Partai Nasional Indonesia (PNI), juga Sjahrir dan Hatta melakukan hal senada. Generasi muda waktu itu tidak hanya melek politik, mereka juga mewarnai dalam peta politik di zamannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari ini representasi 40% suara Gen Milenial tidak berbanding lurus bahkan jomplang jika kita melihat ke dalam struktur kabinet dan pemerintahan. Jika dulu "king maker" adalah mereka yang muda, hari ini identitas itu berganti; status quo berdiri tegak, dan wajah lama belum silih berganti. Wiranto contohnya, di zaman Orde Baru dia adalah "king maker", setelah puluhan tahun tongkat estafet masih juga di tangan itu-itu saja. Rini Soemarno dan Luhut Binsar Panjaitan, yang melingkupi kekuasaan juga potret di mana posisi "king maker" absen diisi oleh Gen Milenial dan masih dalam determinasi kaum tua.

Sukses Demosisto di Hong Kong sebagai representasi parpol milenial tidak terduplikasi di Indonesia. Data riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) men-tracking merosotnya suara PSI, dan konsisten sebagai partai "nol koma". Di survei pada Januari 2018 elektabilitas PSI sebesar 0,3%, dan merosot menjadi 0,1% di survei pada Mei 2018.

Terancam Gagal

Target 4% suara parliamentary threshold atau ambang batas parlemen agar bisa melenggang ke Senayan dengan waktu yang kurang dari setahun, jika melihat dari tracking survei yang menempatkan PSI selalu di posisi paling bontot, maka PSI belum aman bahkan terancam gagal. Potensi kegagalan ini menandakan dua hal; pertama, gagalnya mekanisme Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) dalam menyusun dan menjalankan agenda aksi parpol untuk pemilu. Kedua, PSI gagal men-declare atau meyakinkan narasi besar yang diusungnya untuk dikonversi menjadi asosiasi Gen Milenial terhadap partai tersebut.

PSI gagal merefleksikan persepsi dan kepentingan Gen Milenial agar tidak lagi apolitis. Apatisme Gen Milenial merupakan implikasi dari disfungsi parpol dan adanya sekat yang membatasi hubungan pemilih dengan isu, program, dan politisi partainya. Gen Milenial ini sebenarnya ingin terlibat aktif dalam politik, dan tidak mau semangat itu disimplifikasi sebatas aktualisasi hak memilih di ajang suksesi politik semata.

Berbeda dengan Demosisto, PSI belum mendapatkan momentum dan pemicu (trigger) untuk merefleksikan kepentingan Milenial. Umbrella Revolution adalah momentum Partai Demosisto, sebuah aksi organik yang menentang pemerintahan pro-demokrasi yang ingin menghapus pemilihan langsung. Secara organik Demosisto lahir dari defisit demokrasi akibat disfungsi institusi politik. Dengan berbekal idealisme kaum muda mereka protes dan menuntut perubahan fundamental.

Saya mendiagnosis setidaknya empat hal penyumbang kegagalan PSI. Pertama, inkonsisten dalam isu dan aktualisasi gerakan. Salah satu kasusnya ialah saat mengusung nama-nama calon wakil presiden dan kabinet untuk pemerintahan Jokowi dengan nama-nama yang menurut banyak kalangan tidak sepenuhnya merepresentasikan aktor-aktor milenial. Isu lain yang juga kontradiktif adalah di saat PSI ikut mendukung Perppu Ormas.

Kedua, PSI tidak memiliki basis aktivisme yang tumbuh dari bawah. Mitra gerakannya juga tidak beririsan dengan institusi-institusi kepemudaan (formal-nonformal) yang kuat. Terkesan PSI hanya bertumpu dengan cara berpolemik di media sosial untuk membangun popularitas, seperti ungkapan seorang teman yang juga seorang pengurus PSI di daerah di mana dengan enteng dia mengatakan "kita kan cuman modal klik".

Ketiga, PSI tidak lihai dalam mencari pengumpul suara (vote getter). Sering memuji GP Ansor, bahkan mengusulkan ketua umumnya Yaqut Cholil Qoumas sebagai figur yang dianggap layak mendampingi Jokowi mungkin terlalu klise jika berharap ada "efek ekor jas" atau asosiasi pemilih Nahdlatul Ulama terhadap PSI. Apalagi sejauh ini Ansor adalah pemasok suara bagi PKB dan PPP, yang tentu tidak otomatis berubah dengan sekadar pernyataan simpatik seperti itu.

Keempat, PSI lewat aktor dan isunya masih dipandang tidak membawa kebaruan di mana saya menduga PSI masih berkelindan dengan oligarki kekuasaan dan kelompok korporasi. Adanya kontradiksi antara slogan dan realitas ini tentu dipandang penuh kecurigaan dan melahirkan ketidakpercayaan. Misalnya, Sunny Tanuwidjaja yang merupakan Dewan Pembina PSI pernah masuk daftar cekal dan sempat diperiksa oleh KPK. Menurut laporan Tempo, Sunny adalah penghubung Ahok dengan pengembang reklamasi Teluk Jakarta. Artinya, hal ini menodai jargon "anti-korupsi" yang selama ini dikampanyekan PSI.

Begitu juga dengan slogan sebagai partai baru yang hanya mengisi orang-orang baru yang tidak memiliki dosa-dosa politik masa lalu. Slogan ini pun gugur dengan keberadaan nama Jeffrie yang merupakan politisi lama, bahkan sering disebut kutu loncat karena kerap berpindah-pindah partai politik. Slogan sebagai Partai Milenial juga tercederai dengan nama-nama seperti Christianto Wibisono yang berusia 70-an tahun. Tentu belum termasuk nama-nama usulan kabinet dan wapres yang berasal dari kaum tua. Fakta-fakta inilah yang menambah keraguan akan orientasi PSI terhadap kaum milenial. Inkonsistensi ini kemudian mendegradasi positioning partai.

Namun, kegagalan PSI tidak berarti Gen Milenial tidak lagi punya kanal dalam bersuara, lalu mengasingkan diri dari riuh politik. Upaya mendorong generasi ini agar melek politik harus terus diupayakan. Gen Milenial hanya perlu terorganisasi secara independen entah terlembaga seperti partai, ataupun secara organik dalam bentuk gerakan, menyuarakan tuntutan generasi ini agar ada representasi yang akan mengisi ceruk-ceruk kepemimpinan nantinya. Bukankah modal 40% suara dapat membuat generasi ini bicara lantang, seperti ungkapan Don Vito Corleon pada musuhnya dalam The Godfather, "Berikan mereka penawaran yang tidak bisa mereka tolak." Dan, 40% adalah penawaran itu.

Ikrama Masloman peniliti senior LSI, Manager Strategic KCI-LSI Network

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads