Menemukan sebuah permata bukanlah perjalanan singkat. Dimulai dari menyelidiki, menggali, mengasah, hingga menikmati kilaunya. Prinsip ini pun berlaku ketika kita mendidik anak kita. Saya menanyakan kepada beberapa orang dalam banyak kesempatan saya memberi seminar pendidikan atau dalam perkuliahan di FKIP UK Petra, "Bagi Anda, pekerjaan mendidik anak itu pengorbanan atau investasi?" Sebagian menjawab "pengorbanan" sebagian lagi menjawab "investasi".
Bagi saya, kedua jawaban itu tidak ada yang keliru, namun kita perlu kritisi bahwasanya akhir dari tujuan masing-masing adalah kepentingan orangtua atau pendidik. Bagi saya, mendidik anak adalah sebuah "privilege" atau hak istimewa. Dengan memahami hal ini, kita tidak akan mudah kecewa karena menganggap mendidik anak itu pengorbanan, atau kecewa karena investasi kita ternyata tidak berbuah. Namun, kita akan merasa terhormat untuk mengemban sebuah "hak istimewa", yakni membesarkan atau mendidik seseorang yang nantinya berpotensi untuk memberi dampak positif bagi masyarakat.
Memahami privilege sebagai pendidik, inilah prinsip pertama dalam perjalanan menemukan permata yang berharga dalam diri anak atau anak didik kita. Kejutan bagi para orangtua dan pendidik yang tengah mengerjakan hak istimewa pada masa sekarang adalah bahwa bombardir gadget dengan media sosial di dalamnya mengantar kita bergulir ke masa baru cutting edge of technology. Jika dulu pensil dan kertas menjadi teknologi mutakhir, maka saat muncul mesin cetak mereka tidak berdaya lagi.
Kini, ketika ponsel pintar membumi, mesin cetak pun harus rela ditinggalkan banyak orang. Saat ini percepatan dan keluasan komunikasi karena perkembangan teknologi sungguh membuat orangtua harus berpikir keras bagaimana "mengamankan" generasi ke depan dari bahaya gadget. Tetapi, benarkah bahwa kita harus "mengamankan" mereka?
Bagi saya, kedua jawaban itu tidak ada yang keliru, namun kita perlu kritisi bahwasanya akhir dari tujuan masing-masing adalah kepentingan orangtua atau pendidik. Bagi saya, mendidik anak adalah sebuah "privilege" atau hak istimewa. Dengan memahami hal ini, kita tidak akan mudah kecewa karena menganggap mendidik anak itu pengorbanan, atau kecewa karena investasi kita ternyata tidak berbuah. Namun, kita akan merasa terhormat untuk mengemban sebuah "hak istimewa", yakni membesarkan atau mendidik seseorang yang nantinya berpotensi untuk memberi dampak positif bagi masyarakat.
Memahami privilege sebagai pendidik, inilah prinsip pertama dalam perjalanan menemukan permata yang berharga dalam diri anak atau anak didik kita. Kejutan bagi para orangtua dan pendidik yang tengah mengerjakan hak istimewa pada masa sekarang adalah bahwa bombardir gadget dengan media sosial di dalamnya mengantar kita bergulir ke masa baru cutting edge of technology. Jika dulu pensil dan kertas menjadi teknologi mutakhir, maka saat muncul mesin cetak mereka tidak berdaya lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya setuju dengan pernyataan Howard Gardner bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda baik dalam ragam dan levelnya. Dan, mengenali kecerdasan setiap anak yang unik ini menjadi prinsip yang kedua untuk mendidik anak di masa digital ini. Ada anak yang memiliki kecerdasan intrapersonal, interpersonal, verbal, logika, mengamati alam, musik, gerak, maupun visual. Pada masa lalu, beragam kecerdasan ini tidak terekspos salah satunya karena tidak ada tools yang mendukung. Di titik inilah media digital menjadi penting untuk "dilirik" dan dipelajari para orangtua dan pendidik demi keberhasilan anak dalam menjalani proses kehidupannya.
Professor Anna Craft dari University of Exter dan The Open University, UK mengatakan bahwa ada dua pandangan mengenai anak dan media digital. Pertama, pandangan bahwa anak itu berisiko atau at risk children yakni mereka yang menganggap dunia digital ini hanya membahayakan bagi anak. Beberapa hasil riset yang saya catat menunjukkan bahwa interaksi anak dengan gadget menyebabkan anak asosial, budi pekerti tidak berkembang, kecanduan, bermasalah pada kesehatan, tidak produktif, sensorik dan motorik tidak berkembang, memori jangka panjang yang buruk, sulit konsentrasi, serta tidak mampu berpikir.
Di dalam pandangan at risk children ini, terdapat dua kategori, yakni berisiko dan sangat berisiko. Yang masuk dalam kategori anak berisiko adalah mereka yang memiliki akses yang baik terhadap media namun literasinya rendah. Sedangkan, anak yang dikategorikan sangat berisiko adalah mereka yang baik akses terhadap media dan literasinya sama-sama rendah. Artinya, jika dunia sudah berlari dengan media digital yang ada di sekitarnya, anak-anak pada kategori sangat berisiko ini masih merangkak dan berpotensi untuk jauh tertinggal.
Pandangan kedua, yakni memandang anak sebagai pihak yang "berdaya" atau empowered. Dengan adanya media digital, orang-orang dengan pandangan ini menganggap bahwa anak-anak akan menjadi jauh lebih berdaya. Mereka seperti mendapat perpanjangan tangan dan kaki untuk mengekspresikan kecerdasan mereka yang menurut Howard Gardner adalah kecerdasan majemuk itu. Pandangan ini pun melahirkan dua kategori, yakni anak-anak yang sedikit berdaya dan sangat berdaya.
Anak-anak yang dikatakan sedikit berdaya adalah mereka yang kemampuan literasi medianya tinggi, tetapi akses mereka terhadap media rendah. Sedangkan, kelompok anak yang dikatakan benar-benar berdaya adalah mereka yang akses terhadap medianya tinggi dan literasinya pun mengikuti. Misalnya, anak-anak yang memiliki gadget dengan orangtua yang sangat memperhatikan dan disiplin terhadap penggunaannya, serta memiliki wawasan yang luas mengenai dampak gadget sehingga dapat mengontrol penggunaan gadget tersebut.
Di dalam pandangan at risk children ini, terdapat dua kategori, yakni berisiko dan sangat berisiko. Yang masuk dalam kategori anak berisiko adalah mereka yang memiliki akses yang baik terhadap media namun literasinya rendah. Sedangkan, anak yang dikategorikan sangat berisiko adalah mereka yang baik akses terhadap media dan literasinya sama-sama rendah. Artinya, jika dunia sudah berlari dengan media digital yang ada di sekitarnya, anak-anak pada kategori sangat berisiko ini masih merangkak dan berpotensi untuk jauh tertinggal.
Pandangan kedua, yakni memandang anak sebagai pihak yang "berdaya" atau empowered. Dengan adanya media digital, orang-orang dengan pandangan ini menganggap bahwa anak-anak akan menjadi jauh lebih berdaya. Mereka seperti mendapat perpanjangan tangan dan kaki untuk mengekspresikan kecerdasan mereka yang menurut Howard Gardner adalah kecerdasan majemuk itu. Pandangan ini pun melahirkan dua kategori, yakni anak-anak yang sedikit berdaya dan sangat berdaya.
Anak-anak yang dikatakan sedikit berdaya adalah mereka yang kemampuan literasi medianya tinggi, tetapi akses mereka terhadap media rendah. Sedangkan, kelompok anak yang dikatakan benar-benar berdaya adalah mereka yang akses terhadap medianya tinggi dan literasinya pun mengikuti. Misalnya, anak-anak yang memiliki gadget dengan orangtua yang sangat memperhatikan dan disiplin terhadap penggunaannya, serta memiliki wawasan yang luas mengenai dampak gadget sehingga dapat mengontrol penggunaan gadget tersebut.
Dua pendekatan itu memberi gambaran bahwa sesungguhnya di era gadget ini anak-anak pun tetap bisa berdaya dengan cara yang unik. Justru, dengan pendekatan yang tepat mereka bisa mengekspresikan kecerdasan majemuk mereka dengan jauh lebih mudah daripada era sebelumnya. Melalui dua pendekatan ini, orangtua dan pendidik hendaknya dapat melakukan evaluasi terhadap masing-masing anak yang dididiknya, di manakah posisi mereka. Dengan demikian, kita bisa menentukan pendekatan yang tepat untuk mendorong yang berisiko menjadi berdaya.
Lalu, apa saja bentuk "keberdayaan" anak-anak di era digital media ini? Riset-riset yang sudah ada menunjukkan bahwa kemampuan kolaborasi, menciptakan informasi, dan berjejaring adalah karakter skill yang menonjol dari anak-anak yang lahir di era digital. Kemampuan kolaborasi diperoleh dari pengalaman dalam dunia digital yang merupakan integrasi dari berbagai jenis konten informasi, pemain (agen), fitur, serta dekorasi. Anak-anak yang terbiasa mengintegrasikan semua elemen ini akan terampil dalam menyelesaikan masalah dengan kreatif karena idenya tidak hanya berasal dari satu sumber saja, melainkan hasil kolaborasi dari berbagai bidang pengetahuan.
Kemampuan menciptakan informasi sebenarnya bukan hal baru, namun di era digital ini selain menciptakan informasi, anak-anak juga mendapat kesempatan untuk mendiseminasikan informasi tersebut dengan kecepatan tinggi. Misalnya, membuat video yang di-upload di Youtube dan dalam hitungan detik sudah ditonton oleh banyak mata. Akhirnya, kemampuan berjejaring membukakan pintu menuju desa global yang berpotensi untuk menjadi lahan sosial bagi anak di masa mendatang.
Ketiga kemampuan tersebut, beserta kecerdasan majemuk dari anak-anak menjadi modal bagi mereka untuk berkontribusi bagi masyarakat global. Lalu, bagaimana peran kita sebagai orangtua dan pendidik dalam mewujudkan hal itu?
Kemampuan menciptakan informasi sebenarnya bukan hal baru, namun di era digital ini selain menciptakan informasi, anak-anak juga mendapat kesempatan untuk mendiseminasikan informasi tersebut dengan kecepatan tinggi. Misalnya, membuat video yang di-upload di Youtube dan dalam hitungan detik sudah ditonton oleh banyak mata. Akhirnya, kemampuan berjejaring membukakan pintu menuju desa global yang berpotensi untuk menjadi lahan sosial bagi anak di masa mendatang.
Ketiga kemampuan tersebut, beserta kecerdasan majemuk dari anak-anak menjadi modal bagi mereka untuk berkontribusi bagi masyarakat global. Lalu, bagaimana peran kita sebagai orangtua dan pendidik dalam mewujudkan hal itu?
Pertama, orangtua dan para pendidik harus merangkul media digital. Di masa lalu, saat muncul mesin cetak, pasti ada juga banyak orang yang resisten terhadap keberadaannya. Sekarang, mesin cetak bukan hanya sudah akrab bagi orang-orang tetapi juga sudah mengalami perubahan ke bentuk yang jauh lebih canggil. Artinya, teknologi tidak dapat dihindari. Manusia harus merangkulnya dengan bijaksana.
Kedua, menjadi role model bagi anak-anak kita. Jika kita tidak ingin anak-anak menjadi at risk children maka kita sendiri yang harus menjadi model bagi mereka. Bagimana mereka bisa lepas dari gadget jika setiap hari melihat kedua orangtua atau guru-gurunya selalu memegang gadget seolah-olah tidak ada hal lain yang lebih penting dari gadget-nya?
Ketiga, terapkan aturan dan perjanjian untuk menggunakan gadget. Anak-anak di bawah dua tahun, menurut penelitian, tidak diperbolehkan sama sekali terkena dampak langsung layar gadget. Selain merusak mata, hal itu juga mengganggu proses imajinatif serta perkembangan bahasa yang sedang dalam pembentukannya. Untuk anak-anak usia sekolah dasar sebaiknya tidak memiliki gadget sendiri. Terapkan konsep "meminjam" gadget orangtua atau sekolah. Dengan mengetahui bahwa gadget itu bukan milik mereka, mereka akan lebih hati-hati dalam menggunakan.
Selain itu, tentu harus dengan supervisi orangtua serta aturan memakai yang sudah disepakati bersama. Jangan berikan gadget agar anak-anak tenang saat makan di restoran. Ajak mereka bercengerama dan menikmati makanan bersama. Jika pun mereka harus memegang gadget, kita harus tahu tujuannya dan berapa lama. Kita harus menempatkan diri sangat dekat dengan mereka saat mereka dekat dengan gadget-nya.
Keempat, tanamkan kepada anak konsep "menciptakan", bukan "mengkonsumsi". Kebanyakan dari kita menggunakan gadget untuk mendapatkan informasi. Padahal, media digital menyediakan kesempatan seluas-luasnya untuk mengekspresikan karya kita. Dorong anak-anak untuk berlatih menciptakan sesuatu dari media digital. Misalnya, meng-upload foto landscape yang mereka buat sendiri, membuat blog untuk menyimpan karya-karya mereka, dan lainnya.
Kelima, ajari anak-anak memahami bahwa di balik avatar, posting-an, dan akun di media digital adalah orang-orang yang juga memerlukan perhatian dan kasih sayang. Media digital bukan benda mati, media ini dijalankan oleh orang-orang di balik layar. Maka, karakter dan perilaku kita di dunia digital tidak boleh berbeda dengan di dunia nyata. Bahkan aplikasi dan game pun diciptakan oleh orang, bukan? Tidak ada istilah anonymous. Hal ini mengajar anak kita untuk sensitif terhadap hubungan dengan orang lain dan mereduksi kecenderungan menjadi asosial ketika sudah sangat menikmati interaksi dengan gadget.
Keenam, ingatkan kepada anak-anak bahwa data yang kita share di media digital akan bertahan selamanya. Artinya, akan sangat sulit menghapusnya. Maka, sikap hati-hati dan bijaksana pun perlu dikedepankan. Akhirnya, pastikan mereka memahami bahwa media digital hanyalah tools untuk mencapai tujuan hidup mereka. Anak-anak boleh menjadi bagian dari era digital, tetapi media digital bukan bagian dari diri mereka. Media digital adalah alat untuk membuat pekerjaan semakin efektif, sama seperti pisau, seterika, mobil, dan lainnya.
Kedua, menjadi role model bagi anak-anak kita. Jika kita tidak ingin anak-anak menjadi at risk children maka kita sendiri yang harus menjadi model bagi mereka. Bagimana mereka bisa lepas dari gadget jika setiap hari melihat kedua orangtua atau guru-gurunya selalu memegang gadget seolah-olah tidak ada hal lain yang lebih penting dari gadget-nya?
Ketiga, terapkan aturan dan perjanjian untuk menggunakan gadget. Anak-anak di bawah dua tahun, menurut penelitian, tidak diperbolehkan sama sekali terkena dampak langsung layar gadget. Selain merusak mata, hal itu juga mengganggu proses imajinatif serta perkembangan bahasa yang sedang dalam pembentukannya. Untuk anak-anak usia sekolah dasar sebaiknya tidak memiliki gadget sendiri. Terapkan konsep "meminjam" gadget orangtua atau sekolah. Dengan mengetahui bahwa gadget itu bukan milik mereka, mereka akan lebih hati-hati dalam menggunakan.
Selain itu, tentu harus dengan supervisi orangtua serta aturan memakai yang sudah disepakati bersama. Jangan berikan gadget agar anak-anak tenang saat makan di restoran. Ajak mereka bercengerama dan menikmati makanan bersama. Jika pun mereka harus memegang gadget, kita harus tahu tujuannya dan berapa lama. Kita harus menempatkan diri sangat dekat dengan mereka saat mereka dekat dengan gadget-nya.
Keempat, tanamkan kepada anak konsep "menciptakan", bukan "mengkonsumsi". Kebanyakan dari kita menggunakan gadget untuk mendapatkan informasi. Padahal, media digital menyediakan kesempatan seluas-luasnya untuk mengekspresikan karya kita. Dorong anak-anak untuk berlatih menciptakan sesuatu dari media digital. Misalnya, meng-upload foto landscape yang mereka buat sendiri, membuat blog untuk menyimpan karya-karya mereka, dan lainnya.
Kelima, ajari anak-anak memahami bahwa di balik avatar, posting-an, dan akun di media digital adalah orang-orang yang juga memerlukan perhatian dan kasih sayang. Media digital bukan benda mati, media ini dijalankan oleh orang-orang di balik layar. Maka, karakter dan perilaku kita di dunia digital tidak boleh berbeda dengan di dunia nyata. Bahkan aplikasi dan game pun diciptakan oleh orang, bukan? Tidak ada istilah anonymous. Hal ini mengajar anak kita untuk sensitif terhadap hubungan dengan orang lain dan mereduksi kecenderungan menjadi asosial ketika sudah sangat menikmati interaksi dengan gadget.
Keenam, ingatkan kepada anak-anak bahwa data yang kita share di media digital akan bertahan selamanya. Artinya, akan sangat sulit menghapusnya. Maka, sikap hati-hati dan bijaksana pun perlu dikedepankan. Akhirnya, pastikan mereka memahami bahwa media digital hanyalah tools untuk mencapai tujuan hidup mereka. Anak-anak boleh menjadi bagian dari era digital, tetapi media digital bukan bagian dari diri mereka. Media digital adalah alat untuk membuat pekerjaan semakin efektif, sama seperti pisau, seterika, mobil, dan lainnya.
Dari pengalaman terjun di dunia media praktis dan akademis, serta studi dalam bidang anak usia dini saya belajar bahwa orangtua dan pendidik pun harus bersekolah untuk bisa mendidik anak dengan tepat di era digital ini. Bagi para calon guru, saya selalu menekankan bahwa peran mereka sangat vital untuk memfasilitasi generasi muda menemukan pijakan yang benar serta menjalankan peran mereka, berkontribusi membangun masyarakat global.
Menemukan permata dalam diri anak kita di era digital ini adalah kolaborasi dari hak istimewa kita sebagai pendidik mereka, keunikan anak-anak yang telah dirancang oleh Sang Pencipta, pendekatan yang tepat, serta kelincahan media digital sebagai alatnya. Jika keempat elemen ini berjalan dan berjalin dengan baik, kita tengah menggeser posisi anak-anak di era digital ini dari kelompok "berbahaya" menjadi "berdaya".
Menemukan permata dalam diri anak kita di era digital ini adalah kolaborasi dari hak istimewa kita sebagai pendidik mereka, keunikan anak-anak yang telah dirancang oleh Sang Pencipta, pendekatan yang tepat, serta kelincahan media digital sebagai alatnya. Jika keempat elemen ini berjalan dan berjalin dengan baik, kita tengah menggeser posisi anak-anak di era digital ini dari kelompok "berbahaya" menjadi "berdaya".
Primasanti dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Petra Surabaya
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini