Mimbar-Mimbar yang Beradab
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mimbar-Mimbar yang Beradab

Jumat, 20 Jul 2018 11:32 WIB
Nurul Huda
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -

Ini memang cerita yang sudah lama, sekitar tujuh tahun lalu, ketika bangku Aliyah masih menjadi masa yang menyenangkan. Berseragam putih abu-abu, tak lupa dengan peci yang selalu menempel di rambut legam. Saat itu, malam bulan Ramadan. Pengajian bersama Pak Yai pun dimulai. Ya, "ngaji pasan" kalau kami menyebutnya. Kajian bersama beliau sehabis Tarawih di pondok pesantren yang berada di pertengahan Jawa Timur sana.

Pada kajian itu, ada satu hadis menarik yang diurai secara panjang lebar oleh Pak Yai. Hadis yang cukup terkenal untuk saat ini. Periwayatan dari Imam Ahmad yang membahas tentang penghormatan kepada yang lebih muda, menyayangi yang lebih tua, dan mengetahui hak-hak para ulama.

Untuk poin ketiga, yakni memahami hak-hak para ulama, Pak Yai menjelaskan dengan sangat hati-hati. Dan, sampailah pada pernyataan itu, sontak hati saya terkaget-kaget dengan pernyataan yang diungkapkan (dengan bahasa Jawa) oleh Pak Yai. "Ada banyak hal yang sesungguhnya bisa meruntuhkan muru'ah para ulama. Namun, ada dua hal penting yang paling besar. Yaitu, harta dan bertemu dengan orang yang pandai."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pandangan kaum santri, termasuk saya pada saat itu, ulama adalah sosok kharismatik, yang mungkin akan nihil dari dosa dan kesalahan. Karena itulah, kami selalu tunduk dan takzim pada orang-orang yang berderajat seperti beliau. Bahkan saking takzimnya para santri pada para ulama—dalam tradisi kepesantrenan—para santri seperti kami akan tetap berdiri terpaku, merunduk dengan wajah penuh takzim, menunggu beliau berlalu tatkala sedang berjalan atau apalah yang sedang beliau kerjakan ketika tepat di hadapan kami.

Lebih dalam lagi, bahkan mungkin di saat orangtua kami menyuruh sesuatu, terkadang sekali dua kali kami enggan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan. Dan, sangat berbeda bila itu diperintah oleh kiai. Konsep "sami'naa wa 'atha'naa" sudah tertanam di benak kami. Sehingga apapun perintah—yang menjurus ke kebaikan—dari ulama adalah sebuah pantangan untuk dilanggar.

Namun, saat penjelasan tentang hadis itu melingkar di benak kami, lewat tutur bahasanya yang lembut, tanpa sengaja makna itu menggugurkan pemahaman kami yang dulu. Sebab, ulama atau yang sederajat dengannya juga manusia. Yang tentu tidak akan pernah nihil dari khilaf dan dosa. Ia hanya pewaris para Nabi,. bukan Nabi itu sendiri, yang maksum atas segala dosa. Karena itulah, orang-orang yang sederajat dengan beliau juga berpotensi memiliki kesalahan yang sama, tak berbeda dengan manusia lainnya.

Belakangan ini publik digegerkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Dari hasil penelitian itu, setidaknya ada 41 masjid yang berada di bawah naungan pemerintah terindikasi menyebarkan pesan-pesan radikal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh P3M itu, setidaknya konfrontasi yang digunakan sebagai acuan ialah kotbah Jumat yang disampaikan oleh para penceramah. Melalui mimbar-mimbar Jumat itulah, P3M secara leluasa merekam, kemudian menganalisis tentang materi-materi kotbah yang disampaikan, apakah itu mengandung unsur radikalisme atau tidak.

Kepercayaan Publik


Beranjak dari kenyataan pahit itulah, harus diakui bahwa orang-orang awam seperti kita juga tidak mengetahui ukuran pasti tentang rujukan justifikasi dalam penelitian yang dilakukan. Bisa jadi, pesan-pesan yang telah diwartakan lewat mimbar-mimbar itu, bagi sebagian golongan dianggap radikal, namun sebagian lagi menganggapnya tidak. Kendati demikian, apabila pesan-pesan radikalis yang diusung lewat mimbar-mimbar itu benar adanya, maka ini adalah bencana bagi masyarakat Indonesia.

Tokoh masyarakat adalah bagian dari masyarakat yang tanpa sengaja memiliki kepemimpinan kultural. Artinya, tokoh masyarakat yang senapas dengan para ulama, kiai, ustaz, dan lain sebagainya sesungguhnya memiliki potensi yang sangat penting dalam mempengaruhi pemikiran banyak orang. Terlebih jika hal demikian dieksplorasikan ke arah para santri seperti kami dulu. Maka, kelindan sami'naa wa atha'naa akan terbuka secara lebar dan menyebabkan tindakan radikalisme juga semakin menyebar.

Karena itulah, diperlukan gerakan yang solutif guna menanggulangi ironi demikan. Terlepas dari pengaruh para ulama yang seperti demikian, tentu saja kesadaran masyarakat tentang adanya mimbar-mimbar radikalis disebabkan karena tersebarnya hasil penelitian P3M yang telah menyebar ke area publik. Lewat penelitian yang menyebar itulah, yang sesungguhnya perlu kita benahi area informasi dan komunikasi kita.

Dengan kata lain, seharusnya ada sebagian permasalahan-permasalahan tertentu, yang cukup diketahui oleh segelintir orang saja. Dan, orang-orang itulah yang bertanggung jawab untuk mengurai problematika demikian. Artinya, sedikit banyak bisa tergambarkan pada kisah pertengkaran antara suami dan istri. Ketika terjadi konflik antara suami dan istri, dengan beragam seninya, pertengkaran antara istri dan suami itu tak pernah diketahui oleh anak-anaknya. Bahkan bisa dikatakan tak terjadi apa-apa di hadapan anak-anaknya.

Bukan bertujuan untuk menutup-nutupi sebuah kesalahan. Hanya saja, hal demikian perlu diperhatikan, sebab dampak yang ditimbulkan dari beragam konflik itu akan membawa masalah-masalah yang lebih serius. Termasuk hal demikian akan menghadirkan "sindrom gajah" terhadap kepercayaan masyarakat untuk mampu memahami hakikat keislaman secara utuh. Apalagi jika melihat kondisi umat Islam yang sedikit banyak telah mengalami disorientasi. Maka, hal demikian tentu sangat berpotensi terhadap ketaatan umat Islam untuk menyejahterakan masjid.

Lebih jauh dari itu, bahkan kenyataan demikian tidak menutup kemungkinan akan menghadirkan fobia Islam kepada khalayak luas. Karena itulah, diperlukan usaha-usaha yang memadai agar kritik-kritik yang membangun hanya bisa didengar oleh orang-orang yang sepantasnya dikritik. Pun demikian, sepenggal kisah yang terpampang di muka sedikit banyak mengajarkan untuk saling memahami antarsesama. Setiap orang termasuk para ulama adalah manusia yang sudah sepantasnya tak pernah alpa dari kesalahan dan kelalaian.

Maka dari itu, usaha untuk saling mengingatkan dan tak pernah menghujat adalah upaya yang perlu kita wujudkan. Kita masih membutuhkan para ulama untuk mengisi mimbar-mimbar yang beradab. Karena itu adalah wujud rekonsiliasi agar pemahaman keislaman masyarakat semakin maju. Dan, tentu tak tercampur dengan pesan-pesan radikalis seperti beberapa waktu lalu. Sebab, dakwah yang dilaksanakan dengan tidak selaras --kata Kiai Hasyim Asy'ari-- ibarat orang yang memangun kota namun merobohkan istananya.

Moh Nurul Huda pengajar di Ponpes Daar al-Qalaam dan Alumnus Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads