Menjadi putri Megawati --yang pernah menjadi Wakil Presiden kemudian menjadi Presiden kelima RI dan saat ini masih menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan-- menjadi salah satu yang menambah nilai lebih bagi sosok Puan. Pun demikian, ayah Puan, Taufiq Kiemas paripurnanya sebagai politisi adalah Ketua MPR.
Putri dari pasangan yang ibunya pernah menjadi presiden dan ayahnya pernah menjadi Ketua MPR memang melekat pada sosok Puan. Bahkan, dari sisi silsilah keluarga, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) itu juga teristimewa karena kakeknya adalah Sang Proklamator bangsa ini, yakni Presiden pertama Indonesia Ir Sukarno.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas pertanyaan itu, tentu publik tidak sedikit yang mengiyakan. Tetapi, pasti banyak juga yang menyangkalnya, dan berargumen bahwa Puan memang sudah merasakan gemblengan politik sejak remaja, dan sudah terlibat dalam kontestasi politik yang menjadikannya semakin matang di usia mudanya.
Penuh Tantangan
Lahir pada September 1973, Puan baru berusia 20 tahun saat terjadi peristiwa bersejarah yang paling menentukan bagi ibunya, yakni Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya pada 1993. Ketika terjadi peristiwa mencekam dan penuh ketegangan dalam peristiwa politik itu, Puan bersama sang ayah tidak hanya menjadi saksi mata, tetapi sekaligus merasakan atmosfer politiknya. Puan juga tidak jarang diajak keliling oleh ibunya dalam konsolidasi politik yang penuh tantangan, karena berseberangan dengan kehendak politik rezim otoriter Orde Baru kala itu.
Mengacu sekelumit dari sekian banyak contoh itu, tentu tidak adil --atau bahkan terlalu sinis-- jika menilai sosok Puan yang sekarang ini hanya karena faktor kebetulan saja, yakni kebetulan sebagai cucu dan putri Presiden Indonesia, yang juga ayahnya adalah Ketua MPR. Sebab, faktanya ibarat buah ia telah belajar secara langsung dari pohonnya, dan terlibat secara langsung dalam peristiwa dan dinamika di lingkungan politiknya.
Dengan rangkaian keterlibatan langsung di kancah politik dan dinamikanya sejak partai masih bernama PDI hingga kini namanya PDI Perjuangan (PDIP), maka susah untuk digugat ketika dalam dua periode Ketua Umum PDIP Megawati mempercayakan posisi Ketua DPP Bidang Politik. Pun demikian ketika Presiden Jokowi menunjuknya sebagai Menko PMK, karena selain kapasitasnya, Puan adalah politisi muda yang sudah keliling ke pelosok Nusantara, dan menjadi "komandan" pemenangan PDI Perjuangan di Pemilu 2014 sekaligus memimpin Tim Pemenangan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014.
Bekerja Keras
Ia memang dididik oleh pasangan keluarga politik untuk terus teguh dan selalu bekerja keras. Saya ingat ketika pada 2013 Puan dipercaya sang ibu untuk "mengomandani" pasukan tempur di Pilkada Jawa Tengah dengan tanpa pilihan selain harus memenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Mengawali pertarungan politik di mana pasangan Ganjar-Heru elektabilitasnya masih di bawah angka 7%, dan harus melawan calon incumbent Bibit Waluyo, tentu bukan hal yang mudah. Tetapi, Megawati tidak mau tahu, selain hanya keberhasilan sang putri untuk membuktikan bahwa Jawa Tengah adalah Kandang Banteng.
Kala itu, dengan nada guyon tetapi maknanya sangat dalam, Megawati menyampaikan ancaman di hadapan kader-kader PDIP di Jawa Tengah, "Awas ya, Pu, kamu meskipun satu-satunya anak perempuan mamah, tetapi kalau di Pilkada Jateng tidak menang, kamu saya 'sembelih'." Dan, benar saja, kerja keras Puan dalam memimpin tim pemenangan di Jateng berhasil mengantarkan pasangan Ganjar-Heru sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng periode 2013-2018. Bahkan, dalam Pilkada 2018, Ganjar yang berpasangan dengan Taj Yasin Maemoen juga kembali memenangkan kontestasi. Contoh itu tentu sedikit dari bagaimana sosok Puan telah membuktikan bisa belajar dari keteguhan dan kerja keras politik dari ibunya.
Jembatan Komunikasi
Menyimak dinamika politik terkini, banyak yang merindukan sosok almarhum Taufiq Kiemas (TK). Dalam berbagai obrolan warung kopi, ada semacam kesimpulan yang yang hampir seragam bahwa: "Jika ada Pak Taufiq Kiemas, dinamika pembelahan seperti sekarang ini tidak terjadi, pasti beliau bisa menjadi jembatan sehingga suasana tetap asyik dan politik menunjukkan wajah kegembiraan."
Memang tidak berlebihan jika banyak yang merindukan sosok almarhum TK, yang dengan kelenturannya mau bertemu dengan siapapun dan diposisikannya sebagai kawan. Saya masih ingat betul karena menjadi saksi mata atas upaya Pak TK dalam menjalin persaudaraan dan semangat persatuan yang penuh keragaman. Sebagai beberapa contoh, TK begitu luwes ketika bertemu Habib Rizieq dan menunjukkan kekompakan ketika berbicara mengenai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan kebhinekaan. Pun demikian ketika untuk agenda sama rombongan Pak TK selaku Ketua MPR menyambangi pondok pesantren di Ngruki yang diasuh Abu Bakar Ba'asyir, juga suasananya sangat akrab dan beberapa kali ada ledakan tawa.
Dari yang dalam opini publik dinilai sangat kontras, TK kala itu juga pasang badan untuk bisa mempertemukannya. Ia gagas Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang mempertemukan putra-putri korban politik masa lalu, seperti anak dari tokoh DI/TII, anak tokoh PKI, anak dari (mantan) Presiden Soeharto, dan anak-anak dari Pahlawan Revolusi. Mereka sepakat bahwa saling memaafkan atas yang terjadi di masa lalu, sebagai pembelajaran untuk melangkah ke depan yang lebih baik demi bangsa ini adalah yang terbaik.
Kini, ketegangan politik bisa dirasakan. Memang lambat laun ada yang mereda, tetapi ada juga yang justru meningkat. Di tengah kerinduan terhadap sosok TK itu, tampil putrinya yang bernama Puan Maharani. Di usianya yang memasuki 45 tahun, ia ternyata begitu luwes ketika harus berkomunikasi dengan tokoh politik sekaliber Prabowo Subianto --sosok yang dalam empat tahun belakangan diposisikan sebagai tokoh oposan. Tak mengagetkan juga ketika dalam waktu ke depan misalkan Puan juga berkomunikasi dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang digadang sebagai penerus trah politik Susilo Bambang Yudhoyono.
Pertemuan Puan dengan Prabowo, dan di kesempatan berikutnya dengan AHY, tentu sedikit banyaknya menurunkan tensi politik, dan bisa meredakan pembelahan dukungan di kalangan akar rumput. Akan muncul pesan politik bahwa beda pilihan politik tidak seharusnya bermusuhan dalam kehidupan bernegara dan terlebih kehidupan sosial bermasyarakat.
Sebagai contoh atau gambaran lain agar pembelahan di masyarakat tidak perlu terjadi, apalagi secara ekstrem, juga bisa berkaca pada pertemuan politikus PDIP Erwin Moeslimin Singajuru dengan Habib Rizieq pada April 2018 lalu di Mekah, Arab Saudi. Jika menelisik waktu terjadinya pertemuan, maka saat itu Puan Maharani dalam posisinya sebagai Menko PMK sedang dalam kunjungan kerja ke Arab Saudi untuk memastikan persiapan penyelenggaraan haji 2018. Bahkan, Erwin yang merupakan Anggota Komis VIII DPR memang turut dalam rombongan Puan dalam beberapa kesempatan.
Itu artinya, inisiatif Erwin menemui Habib Rizieq sudah tentu "atas sepengetahuan Puan". Bahasa "atas sepengetahuan Puan" ini saya gunakan untuk kata ganti karena tidak berani menulis "atas perintah Puan", atau "atas izin Puan", meskipun saya menganalisis bahwa dengan fatsoen politik "tegak lurus" di PDIP, rasanya kok tidak mungkin pertemuan Erwin dengan Habib Rizieq tanpa andil sosok Puan Maharani.
Dan, apapun itu, memang terbukti bahwa pertemuan itu menjadi gambaran yang positif di kalangan publik, bahwa ternyata yang dalam opini dipersepsikan ada pertentangan, juga nyatanya tetap menjaga silaturahmi. Di saat merindukan sosok politikus yang bisa menjadi jembatan komunikasi, lambat laun kita bisa merasakan kerinduan itu terobati dengan intensitas kehadiran komunikasi Puan Maharani dalam kancah dan dinamika politik di masa ini, yang penuh keragaman.
Rahmat Sahid eks wartawan politik, Pembina Yayasan Ngaji Yasin
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini