Status Azra itu telah memicu adanya tanggapan dari warganet, salah satunya Safar Banggai di Facebook. Safar mengomentari status Azra dan mengklarifikasi dengan nada tak terima. "HMI, PMII dan IMM masih di kampus, Prof. Mereka masih mengkader mahasiswa. Mahasiswa itu masih berada di Perguruan Tinggi. Seharusnya seperti begini: kembalikan HMI ke dalam masjid kampus sehingga mengurangi dominasi organisasi Islam kanan."
Menurut penafsiran saya, status Azra itu merupakan bentuk kritik atas keprihatinan terhadap para kader organisasi ekstra. Pernyataan Azra itu tampaknya adalah bentuk sindiran atas kerja kader organisasi agar menyadari apa semestinya peran organisasi. Bisa pula peran organisasi yang Azra sebutkan, kini memang tidak lagi menonjolkan orientasi kajian pemikiran Islam sebagai basis intelektual dalam berdakwah.
Kita memang sulit melihat gelagat keilmuan organisasi mahasiswa mutakhir untuk meniru pemikiran aktivis mahasiswa muslim masa 1980-an. Dahulu, di HMI, PMII, dan IMM memang terdapat beberapa cendekiawan muslim yang sering kali menebar kritik atas kebijakan akademik, isu-isu kajian keislaman, dan sering kali mempermasalahkan kinerja pemerintah.
Di antara aktivis mahasiswa yang mengikuti organisasi ekstra di atas, kita mengenal Nurcholis Madjid, Fachry Ali, Jalaluddin Rakhmat, Muhammad Imaduddin Abdulrahim, Dawam Rahardjo, Haidar Bagir, Mahbub Junaidi, dan Kuntowijoyo. Pemikiran serta gagasan ide mereka semasa kuliah terbentuk melalui kerja literer dan selalu menyibukkan diri untuk membentuk forum diskusi.
Merekalah yang mengembangkan kajian pemikiran pembaharuan Islam di Indonesia menjadi beragam. Pemikiran tentang nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan isu sosial, budaya, ekonomi, dan politik mereka tuliskan di berbagai artikel yang berserakan di majalah Prisma, Tempo, Editor, buku, dan karya ilmiah.
Kita bisa membuka kembali majalah lawas seperti Prisma, Tempo, atau Editor itu sebagai ingatan bahwa tulisan-tulisan mereka telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan keilmuan kajian keislaman semasa menjadi aktivis mahasiswa. Nurcholis dkk, tidak menjadikan organisasi sebagai ruang berpolitik, tapi sebagai ruang diskusi gagasan pemikiran keagamaan.
Hal itu yang membedakan orientasi kerja organisasi mahasiswa mutakhir. Organisasi ekstra kini menjadi sarana ruang berpolitik, sering umbar aksi demonstrasi, yang dilakukan oleh para kader dan mahasiswa senior.
Kuntowijoyo melihat fenomena ambiguitas organisasi demi misi politik itu sejak dekade 1960-an telah dialami sebagian para aktivis. Kuntowijoyo lantas tak segan mengkritik peran HMI yang belakangan ini memang lebih menonjolkan organisasi politik ketimbang sebagai organisasi yang berorientasi keagamaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perubahan orientasi dan peran itulah yang kini membuat HMI, PMII, dan IMM tak mampu lagi membendung laju gerakan Islam revivalis sebagai organisasi dakwah di kampus. Sejak masa Reformasi, gerakan Islam revivalis (Islam kanan) telah menebarkan pemahaman doktrin Islam ala Timur Tengah di Perguruan Tinggi demi misi organisasi dan ideologi. Doktrin itu mulai menebar ancaman untuk sulit menjunjung sikap toleransi dan sering kali menimbulkan tindakan radikalisasi.
Mengingatkan Kembali
Status Azra di media sosialnya mengingatkan kita untuk kembali melihat historisitas organisasi ekstra masa 1980-an. Peran organisasi itu mampu mendominasi organisasi Islam "kanan" dengan cara berliterasi dan berdiskusi. Majalah Editor edisi 14 Mei 1988 telah merekam jejak pembaharuan para aktivis mahasiswa dengan melahirkan penerbitan buku-buku berbasis pemikiran Islam. Tiga penerbit yang lahir dari gagasan dan ide mahasiswa itu adalah Pustaka Salman (Bandung), Mizan (Bandung), dan Shalahuddin Press (Yogya).
Gagasan menerbitkan buku itu lahir dari perkumpulan mahasiswa secara rutin di Masjid Salman ITB dan masjid UGM. Salah satu aktivis dan pendirinya adalah Ammar Haryono. Ia menjelaskan, meskipun buku-buku itu condong kepada pemikiran Islam, gagasan dari buku-buku terjemahan itu tidak melepaskan sikap plural, toleran, dan membuka peluang dialog bagi para pembaca.
Kelahiran ketiga penerbit Islam itu telah berhasil menyebarluaskan pemahaman keislaman serta gagasan pembaharuan pemikiran Islam. Buku keislaman tersebut selain terbaca oleh masyarakat, juga sebagai buku pedoman bagi pembelajaran pemikiran Islam di Perguruan Tinggi Islam dan Negeri. Hal itu yang menyebabkan mahasiswa pada masa lalu tidak mudah terserang doktrin politik berbasis agama. Mereka cenderung memilih memikirkan konsep teologi secara rasional ketimbang taqlid terhadap hasil pemikiran para ulama.
Memang, semestinya usaha memberikan pemahaman agama melalui forum diskusi dan kajian literatur inilah yang perlu dikembangkan dan diteruskan oleh para aktivis mahasiswa. Hal itu seharusnya sebagai langkah mendominasi gerakan fundamentalis yang kian berkembang di kampus.
Namun, kita pun mafhum kini peran organisasi ekstra lebih mementingkan masalah politik dan demonstrasi ketimbang berliterasi. Kegiatan itu yang menjadikan organisasi kini tak mampu lagi mengajarkan dakwah agama dengan mengkaji pemikiran Islam untuk saling menghargai dan menjunjung nilai toleransi. Haduh!
M. Taufik Kustiawan mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam IAIN Surakarta, bergiat Tadarus Buku di Serambi Kata
(mmu/mmu)