'Mindset' Sekolah Favorit dan Mentalitas Birokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

'Mindset' Sekolah Favorit dan Mentalitas Birokrasi

Senin, 16 Jul 2018 15:58 WIB
bagus mustakim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iustrasi: Tim Infografis
Jakarta -

Implementasi Permendikbud Nomor 14 tahun 2018 tentang sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) ternyata menimbulkan berbagai persoalan yang rumit. Banyak kejadian luar biasa yang belum pernah terjadi pada PPDB tahun-tahun sebelumnya. Kejadian-kejadian itu di antaranya siswa di Blitar bunuh diri karena khawatir tidak diterima di sekolah yang diinginkan, ratusan orang tua dan calon peserta didik baru menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur Jawa Barat, kepala dinas disandera dan sekolah disegel di Kota Tangerang, serta pemalsuan ribuan surat keterangan tidak mampu (SKTM) di Jawa tengah.

Sistem zonasi yang diinginkan dalam Permendikbud Nomor 14 tahun 2018 sebenarnya suatu sistem yang sederhana. Tidak ada yang rumit dalam sistem ini. Penerimaan peserta didik didasarkan pada kedekatan jarak dengan sekolah. Prinsipnya sekolah diwajibkan menerima peserta didik yang berdomisili dekat dengan sekolah. Pemerintah daerah bertugas memetakan zona sekolah. Sekolah wajib menerima calon peserta didik yang berada dalam zona yang telah ditetapkan.

Masyarakat tidak perlu khawatir tidak diterima di sekolah negeri. Selama ini, secara umum, tidak ada masalah dengan jumlah sekolah negeri. Sebaliknya, yang terjadi banyak sekolah negeri yang ditutup atau digabung karena kekurangan peserta didik. Kalaupun ada permasalahan belum meratanya sekolah negeri di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3 T), permasalahan ini bisa diselesaikan dengan penetapan zona yang lebih luas. Kewenangan penetapan zona ada di pemerintah daerah, sehingga memungkinkan menetapkan zona sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Seandainya pun tidak diterima dalam zona yang ada dikarenakan kuota sudah penuh, dinas pendidikan memiliki kewajiban untuk menyalurkannya ke sekolah lain sesuai zona yang telah ditetapkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika prinsip ini dijalankan sesuai dengan prosedur, maka kejadian-kejadian luar biasa tersebut tidak perlu terjadi. Terjadinya berbagai kejadian luar biasa itu lebih dominan dikarenakan mindset yang belum berubah. Banyak masyarakat yang masih menginginkan keistimewaan dalam model sekolah favorit. Banyak juga yang sekadar menginginkan gengsi dan prestise dengan bersekolah di sekolah favorit. Karena itu banyak masyarakat berebut untuk bersekolah di sekolah ini. Entah itu kemauan anak-anak mereka atau kemauan orangtuanya, terkadang juga tidak begitu jelas. Tidak jarang terjadi kasus jual beli kursi dan titipan oknum pejabat dalam proses PPDB demi bersekolah di sekolah favorit.

Ketika PPDB berubah menggunakan sistem zonasi ada semacam kekagetan dan kegamangan, baik bagi masyarakat pengguna layanan pendidikan, guru pengelola sekolah, maupun para birokrat pendidikan. Masyarakat yang masih memiliki mindset sekolah favorit khawatir tidak bisa lagi mendapatkan keistimewaan, gengsi, dan prestise. Sistem zonasi tidak memungkinkan masyarakat memilih sekolah negeri yang berada di luar zona yang ditetapkan. Hal ini bisa menjadi masalah bagi mereka yang tinggal di luar zona sekolah favorit yang diinginkan.

Guru-guru di sekolah favorit pun menghadapi persoalan personal yang tidak kalah rumit. Mereka yang terbiasa mengajar peserta didik pilihan dengan kemampuan di atas rata-rata harus siap beradaptasi dengan kemampuan yang lebih beragam. Guru juga akan berhadapan dengan wali murid dengan kelas sosial yang berbeda. Jika selama ini mereka berhadapan dengan wali murid kelas menengah ke atas, sistem zonasi mengharuskan mereka berinteraksi dengan kelas sosial wali murid yang lebih rendah.

Suatu tantangan yang tidak mudah. Apalagi, seperti yang sudah menjadi rahasia umum, sebagian guru-guru sekolah favorit berasal dari keluarga pejabat. Keberadaan mereka di sekolah favorit bukan karena prestasi dan kompetensi, melainkan karena adanya unsur nepotisme di antara mereka. Mereka terbiasa dengan perlakuan istimewa, baik dari para birokrat maupun dari masyarakat pengguna layanan pendidikan. Dalam hal ini, sistem zonasi menjadi ancaman bagi kenyamanan kerja mereka.

Demikian juga dengan birokrasi pendidikan. Selama ini birokrasi pendidikan sangat diuntungkan dengan keberadaan sekolah favorit. Sekolah favorit yang peserta didiknya rata-rata dari keluarga ekonomi menengah ke atas bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan finansial. Sudah menjadi rahasia umum juga kalau rabat buku, seragam, bimbingan belajar, dan lain-lain biasa dibagi rata mulai dari guru sampai para birokrat. Semua mendapat bagian sesuai dengan jabatannya masing-masing.

Masih kuatnya mindset sekolah favorit ini berpotensi bagi adanya modifikasi dalam sistem zonasi sehingga memungkinkan terciptanya zonasi semu. Pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam pemetaan zona bisa jadi menetapkan zona sekolah sedemikian rupa sehingga mampu melayani kebutuhan masyarakat yang masih memiliki mindset sekolah favorit, serta memenuhi kebutuhan guru dan birokrasi pendidikan dalam mendapatkan keuntungan dari sekolah favorit. Misalnya, dengan memperluas zona sehingga sekolah favorit mendapatkan zona yang lebih luas.

Pemerintah daerah juga berpeluang menetapkan zona semu berdasarkan peta sekolah favorit yang ada, sehingga di setiap zona terwakili oleh satu sekolah favorit. Potensi ini rawan terjadi di kota-kota besar yang memiliki jumlah sekolah yang cukup banyak, sekaligus memiliki banyak pilihan sekolah favorit. Jika ini terjadi, alih-alih mau menghapus sekat sekolah favorit, sistem zonasi justru cenderung memfasilitasi terbentuknya zona sekolah favorit. Sekolah favarit ada di setiap zona sekolah. Jika selama ini sekat sekolah favorit terbentuk secara alami, melalui zona sekolah favorit, sekat itu justru terjadi secara sistematis dan terlembagakan.

Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus ikut mengawasi proses ini. Pihak kementerian maupun ombudsmen bisa turun langsung untuk memantau dan mengevaluasi zona sekolah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Ke depan kewenangan pemerintah daerah dalam menentukan zona perlu diatur dan dibatasi sehingga implementasi sistem zona sesuai dengan tujuan awal dari sistem ini. Perlu ada batasan-batasan umum sebagai patokan penetapan zona sekolah. Jika tidak, maka pemerintah daerah bisa memetakan zona itu berdasarkan kepentingannya sendiri yang kadang tidak sesuai dengan visi kementerian.

Di luar berbagai persoalan yang muncul, sistem zonasi ini perlu didukung sebagai sebuah upaya reformasi pendidikan dalam rangka pemerataan kualitas pendidikan dan pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maju terus pendidikan Indonesia!

Bagus Mustakim Master Trainer Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan bagi Guru PAI (PPKB-GPAI) pada Direktorat PAI Dirjen Pendis Kemenag

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads