Oktar dituduh melakukan sejumlah kejahatan, seperti pemerasan, penculikan, hingga pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur. Benarkah? Itu tuduhan yang masih harus dibuktikan di pengadilan. Tapi, dalam konteks Indonesia,masalahnya bukan di situ. Kehidupan yang dijalankan oleh Oktar sama sekali tidak mencerminkan isi tulisan-tulisannya. Dalam berbagai foto maupun video tampak jelas bahwa Oktar menjalankan pola hidup hedonis, hidup mewah dikelilingi sejumlah perempuan yang dia sebut sebagai "kitten".
Cara hidup itu tentu saja bertolak belakang dengan sosok fiktif Harun Yahya. Dalam benak para penggemarnya di Indonesia, Harun Yahya adalah seorang intelektual (ilmuwan) muslim, yang dalam karya-karyanya banyak menggali kebenaran Quran dengan menghadirkan tautan ayat-ayat suci dengan fakta sains. Ia punya dua sisi intelektual, yaitu sains dan Quran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cukup lama orang-orang Indonesia terbuai dengan Harun Yahya. Seingat saya nama Harun Yahya mulai dikenal sekitar akhir dekade 1990-an. Artinya, setidaknya sudah 20 tahun Harun Yahya hadir dengan berbagai "pemikiran"-nya. Ia hadir dalam bentuk buku-buku, artikel di media online, juga video-video yang diedarkan dalam bentuk cakram padat. Tentu saja semua itu tidak gratis. Dengan menjual produk-produk itu Adnan Oktar menjadi kaya raya, karena penggemarnya meliputi seluruh dunia Islam.
Apakah gagasan-gagasan Harun Yahya soal Quran dan sains itu hal baru? Tidak. Salah satu tonggak penting gagasan ini bertumpu pada dua orang yang, uniknya, bukan muslim. Mereka adalah Maurice Bucaille dan Keith Moore. Bucaille menulis buku berjudul La Bible, le Coran et la Science: Les Γcritures Saintes examinΓ©es Γ la lumiΓ¨re des connaissances modernes, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Bible, Quran, dan Sains Modern.
Senada dengan Bucaille, Moore yang merupakan profesor dalam bidang embriologi menulis beberapa buku yang menunjukkan kecocokan Quran dengan bidang ilmu yang ia tekuni. Karena karya-karya itu keduanya sering dianggap sebagai orang yang telah tercerahkan, dan masuk Islam. Faktanya, keduanya tidak pernah masuk Islam.
Karya-karya itu mereka hasilkan sebagai "produk" saat bekerja atas undangan Kerajaan Saudi Arabia. Mereka diundang sebagai ilmuwan untuk bekerja dalam usaha menemukan kecocokan antara Quran dan sains. Ada satu lagi orang yang diundang, yaitu intelektual muslim berdarah Pakistan dan berkewarganegaraan Inggirs bernama Ziauddin Sardar. Uniknya, Sardar menolak untuk menulis hal senada dengan kedua orang tadi. Ia bahkan berkampanye melalui berbagai tulisan, menentang gagasan pencocokan itu.
Bagi Sardar, menganggap Quran cocok dengan sains sama halnya dengan menyerahkan Quran untuk dihakimi oleh sains. Seolah Quran baru dianggap benar bila isinya sesuai sains. Padahal sains itu berubah terus. Bagaimana kalau suatu saat ternyata sains berubah dan menjadi tidak cocok lagi dengan Quran?
Tapi, benarkah cocok? Menurut saya lebih tepat bila disebut "dicocokkan". Tentang manusia yang diciptakan dari tanah, misalnya, Bucaille mencarikan formula bahwa yang dimaksud adalah manusia diciptakan dari unsur-unsur yang ada di tanah, seperti hidrogen, nitrogen, oksigen, dan berbagai unsur lain. Kalau begitu adanya, yang disebut tercipta dari tanah seharusnya bukan hanya manusia, tapi juga hewan-hewan.
Keith Moore juga begitu. Ia menerjemahkan kata "alaq" yang merupakan asal pembentukan janin menurut Quran dengan kata "lintah". "Alaq" menurut terjemahan tradisional adalah "segumpal darah". Tentu saja kalau diterjemahkan begitu tidak akan ditemukan kecocokannya dengan sains. Keith Moore mengubahnya menjadi "lintah", atau "sesuatu yang bersifat seperti lintah". Ia menggambarkan bentuk janin pada masa awal memang mirip dengan lintah, dan ia menempel di dinding rahim laksana lintah.
Cara pencocokan seperti itu kemudian diikuti oleh sejumlah intelektual Indonesia. Beberapa contohnya adalah Ahmad Baiquni, Thomas Jamaluddin, dan Agus Purwanto. Cara pencocokan ini masih cukup populer hingga sekarang.
Dibandingkan dengan Keith Moore, Maurice Bucaille, hingga Agus Purwanto karya-karya Harun Yahya jauh lebih rendah derajatnya. Ia menuliskan pencocokan yang lebih konyol. Dalam sebuah artikel yang saya baca pada dekade 2000-an, ia menulis tentang DNA. Basa DNA hanya bisa berpasangan dengan pasangan tetapnya. Citosin berpasangan dengan guanin, adenin berpasangan dengan timin. Harun Yahya menyebut bahwa tidak mungkin basa itu bisa mengenali pasangannya, bila bukan karena petunjuk Allah. Padahal secara sains hal itu sangat mudah dijelaskan melalui mekanisme ikatan kimia.
Materi-materi Harun Yahya tidak banyak berkutat dengan penjelasan sains yang rumit. Dalam setiap bahasan ia segera meloncat ke kesimpulan bahwa Quran itu cocok dengan sains, dan diakhiri dengan kalimat-kalimat pemujaan terhadap Allah. Tidak sulit untuk menduga bahwa ia tidak berminat menjelaskan detail-detail sains yang justru membuat pembaca dan pemirsanya berhenti membaca dan menonton. Ia lebih tertarik untuk menghibur pembacanya dengan kalimat-kalimat penutup yang indah dan menghibur.
Tidak sulit untuk memetakan penggemarnya, yaitu orang-orang yang rendah literasi, khususnya soal sains. Peliknya, para penggemarnya juga berasal dari kalangan yang tampak terdidik, misalnya dosen. Dalam sebuah diskusi online dengan para dosen membahas kontribusi ilmuwan muslim dalam pengembangan sains, seorang dosen menyebut nama Harun Yahya sebagai seorang ilmuwan yang berkontribusi. Ketika saya katakan bahwa Harun Yahya bukan ilmuwan, kontan saya dicap anti-Islam. Padahal tokoh itu wujud di alam nyata saja pun tidak.
Apakah penangkapan Adnan Oktar akan berpengaruh pada perkembangan gagasan pencocokan? Tidak. Ini adalah gagasan hiburan yang tidak memerlukan bukti-bukti nyata. Orang tidak peduli pada bukti maupun rangkaian argumen. Mereka hanya peduli pada kesimpulan yang menghibur.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)