Aristoteles mengatakan bahwa kebajikan (virtue) merupakan titik tengah di antara dua titik yang baik, tidak berat ke kanan atau ke kiri. Jika diumpamakan dengan sebuah penggaris dengan panjang tiga puluh sentimeter, maka mutu berpredikat bajik terletak pada angka kelima belas; angka ini membelah dua penggaris tersebut dengan seimbang. Definisi itu dapat dijadikan dasar untuk membedakan kebaikan dari kebajikan. Kebaikan memiliki bentangan, dan kebajikan terletak tepat di tengah bentangan tersebut.
Baru-baru ini, ada sebuah topik yang ramai diperbincangkan di media sosial Twitter terkait dengan penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), khususnya yang sedang menempuh studi di luar negeri. Tagarnya bertuliskan #ShitLPDPAwardeesSay. Tagar ini mengecam tingkah polah tertentu para penerima beasiswa LPDP di seluruh dunia. Topik yang paling dikomentari terkait dengan kebiasaan para penerima beasiswa tersebut mengunggah foto-foto pribadi di laman media sosial mereka.
Foto-foto tersebut biasanya diambil dengan pemandangan atau objek wisata terkenal di dunia sebagai latarnya. Paling tidak, foto tersebut berlatar belakang universitas tempat si mahasiswa di dalam foto tersebut sedang studi. Sayangnya, foto-foto tersebut membuat "gerah" sebagian pihak, dan memicu munculnya tagar bernada sinis tadi.
Salah satu pengguna Twitter berkisah bahwa ia punya seorang teman yang kuliah di luar negeri dengan dana beasiswa LPDP. Menurutnya, sebelum berangkat kuliah, teman tersebut tidak biasa mengunggah foto; sekarang, yang bersangkutan sering sekali membagi foto-foto di laman media sosialnya, hampir setiap hari. Kritik yang lain bahkan menuduh penerima beasiswa LPDP hanya belajar paruh waktu, tetapi berwisata penuh waktu.
Tak pelak, penerima beasiswa LPDP menolak tuduhan itu. Sebagian membantahnya dengan mengumumkan berbagai prestasi akademik mereka. Intinya, mereka tidak seperti yang dituduhkan. Mereka kuliah dengan baik, menghadiri konferensi, menulis artikel jurnal dan buku, dan sebagainya. Mereka tidak menyia-nyiakan uang pajak rakyat.
LPDP bukan satu-satunya lembaga yang mengelola beasiswa pemerintah Indonesia. Kementerian lain, seperti Kemenristekdikti dan Kemenag, juga menyalurkan beasiswa bagi pegawai di bawah naungannya untuk menempuh pendidikan tinggi di dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, kritik dalam tagar tersebut juga berlaku bagi para penerima beasiswanya.
Munculnya pro dan kontra seperti dalam tagar tersebut dapat dimaklumi. Salah satu alasannya karena foto-foto tersebut disangkakan berbanding terbalik dengan pencapaian akademik. Foto-foto yang diunggah tersebut seolah-olah merupakan cerminan keseharian para penerima beasiswa. Mereka seolah-olah dikirim ke sana untuk liburan, bukan untuk belajar. Pertanyaannya tentu apakah demikian halnya?
Kecurigaan
Perjalanan ke luar negeri masih merupakan pengalaman luar biasa bagi mayoritas rakyat Indonesia baik untuk liburan atau kepentingan yang lain. Penyebabnya tidak jauh dari faktor kemampuan ekonomi. Bagi banyak rakyat Indonesia, jangankan menjadi wisatawan mancanegara, menjadi wisatawan Nusantara saja belum merupakan pengalaman yang biasa. Lagi-lagi, alasannya karena faktor kemampuan ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, perdebatan dalam tagar itu perlu didudukkan dalam perspektif. Dalam hemat saya, penerima beasiswa yang belajar di universitas di luar negeri dilabeli dengan status mahasiswa penuh waktu. Di Australia, misalnya, semua mahasiswa internasional belajar secara penuh waktu untuk membedakannya dengan mahasiswa domestik yang belajar secara paruh waktu. Konsekuensi dari perbedaan label tersebut berdampak pada alokasi durasi studi di mana mahasiswa penuh waktu dituntut untuk menyelesaikan studinya dalam waktu yang lebih pendek, biasanya setengah dari alokasi waktu yang dituntut pada mahasiswa paruh waktu.
Distingsi tersebut tidak atau belum diterapkan dalam kampus-kampus di Indonesia. Secara umum, mahasiswa reguler di universitas-universitas di Indonesia, pada praktiknya, tergolong kelompok penuh waktu. Oleh karena itu, terminologi mahasiswa penuh waktu perlu untuk diperdebatkan. Istilah penuh waktu akan lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan jam kerja. Dari segi jumlah jam atau lama kerja, mahasiswa penuh waktu sejatinya sama dengan pekerja penuh waktu.
Jika seorang pekerja penuh waktu bekerja dari Senin hingga Jumat, maka seorang mahasiswa penuh waktu juga belajar dari Senin hingga Jumat. Jika yang satu menikmati libur di akhir pekan, maka yang lain juga demikian. Pendeknya, secara teori, belajar (penuh waktu) sama dengan bekerja. Dengan demikian, penerima beasiswa pun berhak untuk menikmati libur.
Jika seorang pekerja penuh waktu bekerja dari Senin hingga Jumat, maka seorang mahasiswa penuh waktu juga belajar dari Senin hingga Jumat. Jika yang satu menikmati libur di akhir pekan, maka yang lain juga demikian. Pendeknya, secara teori, belajar (penuh waktu) sama dengan bekerja. Dengan demikian, penerima beasiswa pun berhak untuk menikmati libur.
Saya berprasangka baik bahwa penerima beasiswa tidak menyalahgunakan statusnya sebagai mahasiswa penuh waktu. Foto-foto luar kampus yang diunggah tersebut mereka ambil di luar jadwal belajar mereka dan, oleh sebab itu, dapat dimaklumi.
Meskipun demikian, tentu ada pesan lain yang dapat diambil dari pro dan kontra dalam tagar tersebut. Tagar itu secara tersirat bermaksud untuk membangkitkan empati para penerima beasiswa agar berhenti mengunggah foto-foto mereka di media sosial, paling tidak sepanjang mereka disponsori. Permintaan ini mudah dan bijaksana untuk dipenuhi oleh penerima beasiswa, apalagi ternyata pengunggahan foto-foto tersebut menuai perdebatan.
Saya melihat perdebatan di Twitter ini tepat jika dikaitkan dengan konsep kebajikan Aristoteles di awal dalam hal menggambarkan posisi penerima beasiswa. Dalam satu hal, pengunggah foto-foto itu tidak salah; apa yang mereka lakukan masih berada di antara dua titik yang baik meskipun tidak tepat di tengahnya (titik bajik). Posisinya barangkali hanya bergeser ke kiri dari titik bajik. Jika dengan berhenti mengunggah foto di media sosial dapat mendorong posisi mereka kembali ke titik bajik, penerima beasiswa sejatinya berkenan melakukannya.
Dalam hal lain, penerima beasiswa memikul beban moral yang tinggi; barangkali salah satunya karena pendidikan mereka dibiayai oleh pihak ketiga. Mereka dituntut untuk senantiasa berperilaku bajik, bertengger di titik tengah garis kebaikan atau bahkan bertengger lebih jauh ke sebelah kanan dari titik bajik. Oleh sebab itu, para penerima beasiswa yang merasa berhasil pun karena telah memenuhi harapan pemberi beasiswa tidaklah pantas berbangga hati dengan pencapaian akademik mereka.
Mereka hanya pantas berbahagia karena pihak lain punya andil dalam pencapaian tersebut. Dituntut bersikap bahagia saja pun, saya yakin, bukan sesuatu yang sulit untuk para penerima beasiswa itu.
Zulprianto dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. Saat ini sedang menempuh studi S3 di Deakin University Melbourne Australia
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini