Secara kontras, Gubernur NTB, Zainul Majdi yang akrab dipanggil Tuan Guru Bajang (TGB) justru asyik berselancar dalam hiruk-pikuk politik nasional. Bahkan tak jarang ia berbicara tentang pentingnya hidup damai, memberi rasa aman, dan persatuan. Tapi, lain di mulut lain pula di kenyataan. Warga Ahmadiyah di Pulau Lombok terus menderita. Air mata mereka mengalir laksana banjir yang tak pernah surut.
Faktanya, dua periode kepemimpinan TGB tak mampu memberikan solusi konkret atas penderitaan warga Ahmadiyah di pulau seribu masjid itu. Bukannya memberikan penyelesaian, kepemimpinan TGB malah menambah catatan kelam karena masih ada persekusi terhadap warga Ahmadiyah, dan ironisnya pelaku kekerasan itu belum ditangkap sampai sekarang!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah satu setengah bulan sejak peristiwa itu terjadi, 26 orang warga Ahmadiyah masih berada dalam pengungsian. Mereka tidak diizinkan kembali ke rumahnya yang telah rata dengan tanah. Yang kini mereka bisa lakukan hanya menunggu. Menunggu berbagai macam ketidakpastian hukum. Bahkan, seperti kasus-kasus yang mendahuluinya: "pembiaran".
Akankah kasus persekusi di desa Greneng bernasib sama dengan apa yang terjadi di Ketapang, Lombok Barat? Belum lama beberapa intel dari Polda NTB datang ke pengungsian warga Ahmadiyah di Lombok Timur. Sepertinya, Pemda NTB berkeinginan agar para pengungsi di Lombok Timur direlokasi ke "wisma transito".
Opsi ini diberikan oleh utusan Polda yang bertujuan agar warga Ahmadiyah di Lombok Timur hidup dengan aman. Opsi ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita junjung tinggi. Aparat bukan menjamin korban untuk mendapatkan haknya, justru aparat kalah terhadap tekanan massa.
Pada 2015 kali pertama saya ke Lombok dan saat itu juga pertama kali saya melihat "wisma transito". Kata "wisma" terasa seperti sebuah penginapan layaknya di Senggigi. Tapi, tidak untuk "wisma transito". Pada 2006, bangunan itu beralih fungsi menjadi tempat penampungan para warga Ahmadiyah. Tahun itu adalah tahun yang paling "memprihatinkan" bagi para pengikut Ahmadiyah di Pulau Lombok.
Saya ke Lombok tidak sendirian. Ada ayah yang menemani walau kami tidak berbarengan berangkat ke sana. Ayah saya adalah pengikut "awalin" Ahmadiyah. Tak tahan dengan persekusi yang terus menerus terjadi, akhirnya memutuskan hijrah ke Ibukota.
Ayah mengajak saya untuk menemui kakak, lebih tepatnya kakak sepupu. Namanya Salehah. Saya kira usianya tak jauh beda. Nyatanya, kami terpaut puluhan tahun, mungkin 40 tahun. Kakak tinggal bersama suaminya di sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 4 meter. Bersekatkan triplek dan kain-kain bekas. Sumpek juga pengap. Situasi ini dirasakan oleh semua penghuni wisma transito.
Suami kakak bernama Sadarudin. Meninggal pada 2016, beberapa hari setelah kunjungan kedua saya ke Lombok. Saat meninggal usianya 90 tahun. Saat saya dan ayah menemuinya pada 2015, ia sudah tak mampu berjalan. Berucap pun hampir mustahil. Badannya kurus disebabkan sakit yang berkepanjangan. Saya hanya bisa berkata dalam diam, betapa sulitnya kehidupan mereka. Tak sanggup mulut ini mengucapkan satu kalimat simpati yang paling pahit sekalipun. Hanya keperihan yang berteriak dalam senyap yang mampu saya lakukan.
Pada 2006 adalah tahun yang mengubah kehidupan mereka. Rumah hancur, toko dijarah, tak menyisakan sedikit pun kekayaan untuk bisa dinikmati di hari tua. Dan, yang paling parah, suami kakak hampir kehilangan nyawanya.
Saat peristiwa penyerangan, suami kakak mendapat luka bacok di beberapa tempat. Melihat keadaannya yang begitu mengenaskan, banyak orang yang beranggapan bahwa nyawanya sudah tidak bisa tertolong. Entah mengapa, dia masih bisa hidup bahkan hingga 10 tahun ke depan dengan keadaan yang serapuh itu. Efek luka itu masih meninggalkan jejak sakit yang amat perih, baik itu di tubuhnya juga di kedalaman batinnya.
Saya tidak ingat persis obrolan apa yang sempat kami bicarakan antara saya, ayah, dan kakak Salehah. Saat itu, suami kakak hanya bisa duduk terdiam. Di matanya tersimpan banyak kenangan yang hendak diungkapkan. Kenangan tentang beratnya menjadi seorang Ahmadi (sebutan untuk anggota Jemaat Ahmadiyah) yang ikhlas menghadapi ujian. Pandangannya tertunduk lesu tapi sesekali menatap ke arah saya. Saya hanya bisa menerjemahkannya sebagai nasihat yang terucap dalam diam.
Panjang lebar kami bercerita dalam hening dan pilu, sampai juga pada titik akhirnya. Saya mengajak ayah, kakak dan suaminya berdoa. Saya sudah tak sanggup lagi. Saya ingin melapor kepada-Nya meski saya tahu Dia Maha Tahu. Saya ingin memohon kepada-Nya untuk perlindungan para pengungsi, meski saya juga tahu Dia selalu melindungi mereka jauh sebelum ini. Saya juga ingin memohon rahmat-Nya yang tak disangka-sangka untuk para pengungsi, meski saya juga tahu Dia selalu mengabulkan doa orang-orang yang teraniaya.
Air mata pun menetes. Tapi, apalah artinya air mata ini. Mereka sudah terlalu sering menangis. Untung Tuhan tidak pernah bosan mendengar rengekan mereka, di saat pemerintah sudah bosan sejak dulu. Itulah yang mereka pegang sebagai sebuah "jaminan keselamatan", di saat tidak ada lagi jaminan dunia yang bisa diandalkan.
Saya tidak tahu kapan penderitaan mereka sebagai pengungsi dapat berakhir. Yang saya tahu hanyalah, orang-orang ini sudah tidak punya rasa takut lagi untuk kehilangan. Sebab, semua hal yang sempat mereka miliki sudah mereka pasrahkan. Dan, menganggapnya sebagai ujian yang harus dilewati.
Apakah warga Ahmadiyah di desa Greneng harus bernasib sama dengan mereka yang berada di "wisma transito"? Hanya TGB dan jajarannya yang tahu. Jika pemerintah dan khususnya TGB masih punya hati nurani, bahkan sebesar biji sawi sekalipun, tentu pembiaran ini tak akan pernah terjadi.
Yang kita lihat sekarang ini, TGB tengah sibuk menjawab keberatan dan hujatan atas dukungannya untuk petahana. Padahal tidak ada yang perlu diselesaikan di situ. Tidak ada hak fundamental seorang anak Adam yang tercederai. Itu cuma soal politik. Anda tidak akan kelaparan jika membiarkannya berlalu.
Tapi, jika TGB tetap diam dan membiarkan masalah Ahmadiyah berlarut-larut tanpa solusi, juga menganggapnya selesai seiring dukungannya ke Jokowi, Anda sedang berhadapan dengan hak hidup banyak orang. Anda sedang berhadapan dengan masa depan anak-anak yang tak tahu menahu soal keyakinan. Bukankah orang yang melihat kezaliman, lalu ia diam, bahkan membiarkannya, maka kezaliman itu akan kembali kepada dirinya?
Muhammad Nurdin mubalig Ahmadiyah keturunan Lombok
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini