Sementara itu, pada sistem presidensial, dalam pemilu rakyat mencoblos tanda gambar orang. Artinya, yang dipercaya rakyat adalah orang, bukan partai. Karena legitimasi presiden dan anggota DPR datangnya langsung dari rakyat, maka mereka tidak bisa dicopot di tengah jalan, kecuali karena alasan pidana. Sementara itu kedudukan presiden di samping sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Di sisi lain, anggota DPR adalah sebagai wakil rakyat bukan wakil partai, maka di DPR tidak dikenal suara partai. Sudah barang tentu dalam pilpres dan juga dalam membentuk DPR juga tidak dikenal norma threshold. Dan, pilpres dilaksanakan lebih dahulu, baru disusul pileg
Prancis, belakangan menemukan model campuran, dimana kepala negara dengan sebutan presiden tidak lagi berdasarkan keturunan, tapi dipilih melalui pemilu dengan model presidensial. Dan, dalam pembentukan pemerintahan ditempuh melalui pemilu dengan model parlementer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari logika politik yang demikian itu, maka dalam sistem demokrasi campuran model Prancis dikenal norma presidensial maupun parliamentary threshold. Lantas, bagaimana dengan sistem kenegaraan kita?
Tidak Relevan
Demokrasi kita semrawut, tak terkecuali soal pemilu. Lihat saja Pemilu Legislatif 2004, 2009 dan 2014 dimana ada dua tahap, yaitu pileg dan pilpres. Apa dasar bagi rakyat untuk menjatuhkan pilihan dalam pileg? Bila alasannya adalah memilih program partai, sudah barang tentu itu bohong, karena yang dijadikan program kerja pemerintah program sang calon presiden pemenang pemilu, sama sekali bukan program partai.
Karena pileg dilaksanakan duluan, maka partai belum mempunyai calon presiden (capres) definitif. Pertanyaannya, siapa sosok capres yang akan diajukan oleh masing-masing partai? Artinya, rakyat disuruh tanda tangan cek kosong, kemudian diserahkan kepada partai untuk "dagang sapi" dalam mencari capres. Maka, wajar saja kalau partai-partai terlibat dalam "politik uang" untuk mendapatkan harga tawar yang tertinggi dari para capres.
Terhadap kejanggalan di atas, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah bertindak benar yaitu dengan putusan pemilu serentak, sehingga norma presidential threshold menjadi tidak relevan lagi. Sangat disayangkan terobosan tersebut menjadi sia-sia, ketika MK kembali menolak uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. Hal tersebut tidak bisa lepas dari kelemahan model MK di kita yang sumber hakimnya dibatasi hanya dari sarjana hukum.
Berbeda dengan MK di kebanyakan negara, sumber hakimnya diambil dari ahli dari semua cabang pokok disiplin ilmu. Sehingga validitas keahlian sebagai penguji yudicial review UU apapun dapat dipertanggungjawabkan.
Nasib Demokrasi
Dengan mengandai Presiden Jokowi akan kembali maju sebagai capres dan menang dalam Pilpres 2019, sangatlah tidak masuk akal kalau Presiden Jokowi berkepentingan melanjutkan norma presidential threshold. Karena, kemenangannya akan membuat dirinya kembali terbelenggu realitas politik dan terus akan menjadi bulan-bulanan pihak-pihak bermasalah. Sedangkan bicara kendaraan politik, selaku incumbent justru akan banyak partai peserta pemilu yang "meminang"-nya.
Sementara itu, alasan mengesampingkan sementara kebenaran, etika, dan moral demi kepentingan yang lebih besar juga tidak relevan, karena sejatinya yang tidak siap untuk berdemokrasi itu elite-nya, sama sekali bukan rakyatnya. Hal ini terbukti dalam pilkada serentak yang baru saja kita laksanakan, ternyata aman dan terkendali.
Dengan demikian MK semestinya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh bahwa norma presidential threshold tidak boleh digunakan sebagai alat filtering, karena otomatis akan mendistorsi dan menihilkan makna kedaulatan rakyat, sekaligus melanggar HAM. Sehingga kelak untuk Pemilu 2024, penyusun UU akan memilih "alat" yang sah menurut hukum, seperti memperberat persyaratan bagi partai untuk bisa ikut pemilu. Karena dengan syarat kepengurusan partai sebesar 100% di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan saja, maka jumlah peserta pemilu tidak akan lebih dari 3 (tiga) partai.
Dengan menghilangkan norma presidential threshold, maka kelak presiden terpilih tidak lagi terkooptasi "pemilik" partai, dan sekaligus praktik kartel dan oligarki kekuasaan juga akan berakhir.
Kini nasib demokrasi kita ada di tangan para hakim MK sebagai tonggak (referensi) tata negara yang rasional dan sistemik. Apakah MK akan konsisten dengan putusan "pemilu serentak" yang secara keilmuan berarti tanpa presidential threshold. Atau, sebaliknya malah mengesahkan upaya pendistorsian dan penyelewengan jiwa, semangat, dan amanat UUD 1945 melalui UU turunannya. Oleh karenanya maka MK jangan plin-plan.
Saurip Kadi Mayjen TNI (Purn), mantan anggota Komisi II DPR
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini