Saya ucapkan selamat untuk para pemenang Pilkada 2018 berdasarkan hasil Quick Count (hitung cepat). Selamat kepada Ridwan Kamil-Ruzhanul Ulum atas kemenangannya di Pilgub Jawa Barat dengan perolehan suara 32.26%, selamat juga kepada Ganjar Pranowo-Taj Yasin sang pemenang Pilgub Jawa Tengah dengan perolehan suara 58.58 %, juga kepada Khofifah Indar Parawansa-Emil E Dardak yang berhasil menang di Pilgub Jawat Timur dengan perolehan suara 52.28 % (SMRC), serta para pemenang lainnya di 171 daerah di Indonesia.
Pagelaran akbar pilkada serentak telah usai, tepuk tangan dan acungan jempol pantas kita berikan kepada pemerintah, KPU, aparat keamanan, serta seluruh pihak yang terlibat menyukseskan hajatan politik kali ini. Meskipun telah usai, panasnya politik pilkada dipastikan belum akan mendingin. Serangkaian agenda politik masih harus dilalui, KPU masih harus bekerja keras sampai akhirnya mengumumkan perhitungan resmi pilkada sebagai tiket bagi para pemenang menuju kursi orang nomor satu di daerahnya. Tak ketinggalan, Mahkamah Konstitusi pun akan segera disibukkan dengan banyak perkara yang diajukan oleh para kandidat yang merasa dicurangi.
Sekarang, telah dengan saksama masyarakat mengetahui gambaran sementara masa depan daerahnya di tangan para pemenang. Namun, sejatinya hasil hitung cepat tak memberikan garansi akan berbanding lurus dengan hasil yang sebenarnya. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tetap tenang sembari menunggu yang akan diumumkan oleh KPU nantinya. Pada dasarnya, hitung cepat hanya mengambil beberapa data sebagai sampel, itu pun ditambah dengan kemungkinan terjadinya kesalahan (margin of error), oleh karena itu segala kemungkinan masih dapat terjadi.
Selain itu, kita patut memberikan apresiasi bagi daerah yang tingkat partisipasinya meningkat, sebut saja Jawa Barat. Menurut Pejabat Gubernur (Pj) Jawa Barat M Iriawan, partisipasi masyarakat Jawa Barat meningkat dari 63% di pilkada sebelumnya, menjadi 72% pada pilkada kali ini. Kita juga berharap, banyak daerah yang ikut dalam kontestasi pilkada serentak kali ini mengalami peningkatan yang serupa dengan Jawa Barat, artinya ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi kian meningkat.
Di balik apresiasi tersebut, saya secara pribadi dan banyak orang-orang yang tidak sedang berada di daerah tempat pemilihannya, sesungguhnya sedih karena tak dapat memilih kandidat yang akan menentukan nasib kampung halaman. Terlintas di benak saya, seandainya saya bisa memilih walaupun saya tak berada di kampung halaman. Namun, apakah hal tersebut dapat terwujud?
Masa Depan Memilih
Sebenarnya ada perasaan pesimistis untuk impian saya tersebut, karena beberapa kali saya terlibat dalam evaluasi pemilihan umum yang diadakan KPU, saya selalu tak terpuaskan dalam setiap kali pembahasannya. Terutama karena ide-ide saya selalu terpental, dan seolah tak dihargai. Misal, ketika pembahasan terkait distribusi C-6 (undangan memilih) yang terlambat sampai ke tangan pemilih sehingga mengakibatkan pemilih enggan memilih.
Kemudian solusi yang disepakati dalam forum adalah petugas harus jauh-jauh hari melakukan pendistribusian surat tersebut agar tepat waktu. Saya rasa solusi ini benar-benar tak menarik, dan sebenarnya solusi ini sendiri tak memberikan solusi. Hemat saya, jika keberadaan C-6 menjadi sebuah masalah, maka C-6 tak perlu digunakan karena pada dasarnya C-6 hanya formalitas.
Untuk memilih, KPU menyediakan C-6 dan kartu pemilih, sedangkan penggunaan KTP hanya bisa digunakan di jam-jam akhir batas waktu pemilihan. Mengapa tidak KTP saja dimaksimalkan untuk memilih? Hemat saya, KPU perlu ide-ide kreatif untuk membuat sistem pemilihan yang efisien, menarik, dan tentunya hemat anggaran. Untuk itu, sudah saatnya sistem pemilihan beralih kepada sistem berbasis teknologi.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat nyatanya tak mampu mengubah gaya kuno bangsa ini dalam memilih. Secara kualitas, saya yakin negeri ini punya kemampuan untuk mengembangkan sistem pemilihan umum, toh begitu banyak sarjana maupun ahli teknologi di Tanah Air yang berkompeten. Buktinya, perusahaan rintisan (start up) tumbuh begitu pesat di Indonesia. Tak ada start up yang tak memanfaatkan teknologi. Tentu secara kemampuan Indonesia memiliki lebih dari kebutuhan. Lalu, apa yang menjadi penghambatnya?
Ketika sedang aksi berselancar di dunia digital, saya menemukan pembahasan terkait penerapan e-voting di Indonesia. Luar biasa, sistem e-voting ternyata telah diterapkan di beberapa daerah, sebut saja Kabupaten Agam (Sumatera Barat), Banyuasin (Sumatera Selatan), Bantaeng (Sulawesi Selatan) pada 2017. Bahkan, Sidoarjo (Jawa Timur) sudah melaksanakannya untuk pilkades serentak pada 2018 ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang, Indonesia hanya perlu membuat sebuah sistem nasional yang terintegrasi dengan seluruh data yang dimilki masyarakat sehingga kecurangan dapat diminimalisasi. Penerapatan sitem pemilihan berbasis teknologi pun tak perlu dipaksanakan langsung untuk semua daerah. Pemerintah dapat melaksanakan bertahap seusai dengan keadaan. Contohnya Amerika, sejak 1990-an telah melaksanakan pemilihan umum dengan sistem e-voting. Negeri Paman Sam ini menerapkannya dengan bertahap --sampai sekarang masih ada negara bagian yang menggunakan sistem pemilihan dengan metode surat suara dan perhitungan manual.
Masa depan yang gemerlap dengan kecanggihan teknologi sudah di depan mata. Teknologi dapat menjawab segala kebutuhan manusia. Karena teknologi dikembangkan sesuai dengan imajinasi, hemat saya tak ada yang tak dapat dilakukan dengannya. Sudah saatnya pemerintah mendorong penerapan pemilihan berbasis teknologi, atau lebih dikenal dengan e-voting. Mudah-mudahan, di masa yang akan datang, saya dan banyak orang yang mengadu nasib jauh dari kampung halaman dapat terlibat menentukan nasib kampung halaman sendiri. Saya yakin tingkat partisipasi masyarakat akan jauh terdongkrak dengan penerapan teknologi.
Jangan hanya karena persoalan prosedural, negara harus menghambur-hamburkan uang hanya untuk melaksanakan pemilihan umum. Ingat, demokrasi yang substansial tak habis hanya pada level pemilihan umum. Banyak yang harus dikerjakan bangsa ini untuk mencapai cita-cita yang telah diamanatkan para leluhur. Jangan hanya karena memikirkan pemilihan demi pemilihan, cita-cita bangsa harus dikorbankan. Jika demikian, sungguh kita menjadi bangsa yang merugi.
Delly Ferdian analis Indonesia Indicator











































